PEMBERONTAKAN
BATALYON 426
Sebagai tugas untuk mata kuliah Sistem Politik
Indonesia
Dosen Pengampu:
Dr. Rusnaini,.M.Si
Disusun oleh:
Amin
Nur Hidayah K6414006
Anggi
Yoga Pramanda K6414007
Endang
Wulandari K6414022
Mahendra
Aprilio I K6414037
Nurul
Hasanah K6414040
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang merdeka dan berdaulat, suatu usia yang cukup tua bagi sebuah
kemerdekaan, cita-cita luhur perjuangan kemerdekaan sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, yang
berkehidupan kebangsaan yang bebas, dengan mewujudkan suatu pemerintahan
Negara yang melindungi segenap bangsa dan tumpah dara Indonesia. Cita-cita
luhur didorong oleh keinginan yang luhur dan
bersumber pada keyakinan yang mendalam, bahwa kemerdekaan itu adalah hak
yang fundamental dan karena itu
setiap penjajahan apapun bentuk dan sifatnya
berarti perampasan kemerdekaan yang nyata-nyata bertentangan dengan kemerdekaan
kemanusiaan dan keadilan.
Berbagai macam peristiwa
dan kejadian telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia, selama
tiga ratus lima puluh tahun bangsa
Indonesia di jajah oleh bangsa asing (Belanda) dan di dalam masa penjajahan terselip pula
bangsa-bangsa lain yang ikut berusaha memiliki bangsa ini. Tercatatlah bangsa
Jepang dan Inggris, dan selama itu pula bangsa Indonesia berjuang
untuk mengusirnya yang akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno
dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia mengucapkan Proklamasi kemerdekaan
Indonesia.
Mengenai peristiwa dan
fakta-fakta yang pernah terjadi di Negara Republik Indonesia menunjukan bahwa
sejak kemerdekaan, masih terdapat musuh-musuh negara yang
selalu merongrong dan melemahkan sendi-sendi kehidupan Negara
Indonesia. Peristiwa ini menunjukan dan memperingatkan kepada kita bahwa
betapa besar bahaya yang selalu mengancam kehidupan negara dan harus di hadapi dengan penuh
pengorbanan baik harta benda dan jiwa
raga. Lebih-lebih bila kita resapi akibat, maksud dan tujuan dari tindak
pidana makar dan pemberontakan terutama yang dilakuk an oleh Batalyon 426,
ancaman dan pengaruhnya sangat besar buat bangsa Indonesia.
Suatu kenyataan bahwa
tindak pemberontakan atau yang sekarang lebih terkenal dengan istilah makar
adalah suatu tindak pidana yang membahayakan kepentingan masyarakat dan negara. Hal ini mengingat tindak pidana makar
adalah menyangkut soal keamanan masyarakat dan
Negara, padahal soal keamanan Negara adalah soal yang teramat
penting dan pengaruhnya bagi seluruh
rakyat. Hanya dalam susunan dan keadaan yang amanlah pemerintah dapat
menjalankan tugasnya dengan baik dan hanya dalam keadaan amanlah cita-cita negara dan rakyat itu dapat lekas
tercapai.
Tindak pidana Makar adalah suatu
bentuk tindak pidana yang
berhubungan dengan masalah keamanan negara. seseorang itu melakukan makar banyak faktor
yang mempengaruhi, tetapi umumnya adalah rasa ketidakpuasan terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan
tersebut pada umumnya dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai maksud dan
tujuan yang tidak baik terhadap bangsa dan negara ini.
Pemberontakan batalyon 426 pada hakeatnya
tidak lepas daripada perkembangan dan petualangan DI/TII di Jawa Tengah.
Batalyon 426 mulai dibentuk pada tahun 1945 bernama yon Sunan Bintoro dan
berkedudukan di Klaten. Pimpinan diserahkan kepada Mayor Munawar selaku
komandan batalyon. Batalyon 426 adalah merupakan suatu kesatuan hasil peleburan
dari laskar – las kar hisbullah, yakni suatu kesatuan yang terdiri dari pejuang
– pejuang islam. Akhirnya dalam perkembangannya menuju kefanatisme agama.
Bahkan kemudian gerombolan ini bergabung dengan gerombolan pemberontak DI/TII Amir
Fatah Jawa Tengah dikemudikan oleh Kartosuwiryo dari Jawa Barat.
Untuk menyesuaikan
perjuangan dengan DI/TII, maka setelah perang kemerdekaan ke 11, batalyon 426
telah mengadakan konsolidasi kedalam secara ketat mental maupun fisik, guna mempersiapkan
diri untuk mewujudkan cita – cita Negara islam Indonesia Kartosuwiryo untuk
daerah Jawa Tengah. Dalam usaha – usaha konsolidasi ini telah pula mengadakan
hubungan persatuan antara batalyon 426 sendiri dengan batalyon lemah lanang
dari AUI dan batalyon 423 ( Sunan M urio ) serta dengan DI ex batalyon V amir
fatah. Hal ini jelas dibuktikan dwngan rapat – rapat gelap yang sering mereka
lakukan. Ketika perang kemerdekaan ke 11 batalyon 426 ini masih berada di Klaten.
Pada waktu itu telah menunjukan tindakan – tindakan indisipliner. Tindakan –
tindakan ini dibuktikan dengan tikah laku mereka yang sering melanggar
peraturan – peraturan antara lain: pernah terjadi pasukan pimpinan Kapten Sofyan
mengadakan latihan didaerah muria dengan tidak meminta izin dan tidak memberitahukan
kepada atasan. Kapten Sofyan sendiri pernah memukuli guru sekolah hingga perlu
dirawat kerumah sakit, dan sebagainya. Bahkan pernah pula terjadi konflik
dengan mayor Sunitiyoso. Sampai meletusnya pemberontakan, batalyon ini masih
tetap berada di Kudus.
Sifat-sifat mulia warisan
para leluhur itu disirnakan oleh segelintir orang yang merepresentasikan Batalyon
426. Kondisi ini menyiratkan dua hal penting yang perlu dilakukan secara
ikhlas, jujur dan sungguh-sungguh, yaitu komitmen kuat lahir-batin bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah final,
harga mati. Tidak bisa ditawar lagi oleh siapa pun dan darimana pun. Semangat
inilah yang harus disampaikan, disosialiasikan dan ditanamkan dalam melakukan
pembinaan bagi masyarakat terutama generasi muda di wilayah rawan pemberontakan.
Inilah yang mendasari penulis untuk mengangkat hal ini, karena bagi para
penulis hal inilah yang paling harus
diselesaikan dulu ketimbang hal-hal yang lain meskipun semua hal harus
diselesaikan, namun ada yang lebih diproritaskan. Sesuai kata Bung Karno
“:musush yang paling besar adalah diri kita sendiri”.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kronologi pemberontakan Batalyon
426 di Jawa Tengah ?
2.
Bagaimana analisis pemberontakan Batalyon
426 ditinjau dari teori kelompok kepentingan?
3.
Bagaimana analisis pemberontakan Batalyon
426 ditinjau dari teori pemberontakan ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui kronologi pemberontakan
Batalyon 426 di Jawa Tengah
2.
Untuk mengetahui analisis pemberontakan
Batalyon 426 ditinjau dari teori kelompok kepentingan
3.
Untuk mengetahui analisis pemberontakan
Batalyon 426 ditinjau dari teori pemberontakan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kronologi
Kasus
Pemberontakan Batalyon
426 merupakan bagian dari Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah yang pada masa
itu dipimpin oleh Amir Fatah. Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi
Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa
Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan
Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat
yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan. Kelompok-kelompok masyarakat
tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu
memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia
(NII).
Amir Fatah yang semula ia
bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung
Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan.
Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M.Kartosuwiryo,
yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan
para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas
di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang kiri (salah
satunya kaum komunis)", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga,
adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI
tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di
daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi
Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya
perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Dalam menyelesaikan
pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara, yaitu operasi
militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando Gerakan
Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti
kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah
itu, ditambah dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII
telah berhasil memaksa Amir Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama
itu, dan kemudian menyerah.
Dibawah kepemimpinan Amir
Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami
perkembangan yang cukup pesat, bahkan berhasil mempengaruhi Angkatan Oemat
Islam (AOI), Batalyon 423 dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan.
Pada akhir tahun 1951,
beradar informasi bahwa adanya keterlibatan
pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam organisasi Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Setelah dilakukan investigasi pihak internal,
diketahui bahwa Pasukan dari Batalyon 423 dan Batalyon 426 benar terlibat dalam
DI/TII. Kedua Batalyon tersebut merupakan Batalyon di lingkungan Tentara
Teritorium (TT) IV Diponegoro.
Adanya keterlibatan
Batalyon 423 dan Batalyon 426 dalam DI/TII membuat pihak TT
IV Diponegoro mengambil langkah berupa melakukan penangkap pada sejumlah orang
di Batalyon 423 dan Batalyon 426 yang terlibat dalam DI/TII. Langkah ini
dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya bentrokan di dalam kubu TNI itu
sendiri. Namun, rupanya langkah yang ditempuh tersebut mengalami sejumlah
hambatan, serta tidak ada perkembangan progresif yang memuaskan. Hal ini karena
dalam upaya pencegahan pemberontakan tersebut hanya berhasil menangkap oknum
Tentara Batalyon 423 yang telah dicurigai terlibat dalam DI/TII, salah satunya Mayor
Basuno, sehingga dengan penangkapan
tersebut membuat rencana pemberontakan Batalyon 423 dapat dicegah. Sedangkan
untuk Batalyon 426, pihak TT IV Diponegoro tidak berhasil mencegah
pemberontakan yang dilakukan Batalyon tersebut.
Batalyon 426 merupakan Batalyon yang dipimpin oleh Mayor
Munawar. Dalam tubuh Batalyon 426 terdapat Kapten Sofjan, Kapten Alief dan
lain-lain. Pada 7 Desember 1951, Panglima Tentara Teritorial IV Diponegoro Kolonel Gatot
Subroto mengambil sebuah inisiatif guna memastikan “kesetiaan” terhadap
kesatuannya, yaitu dengan memerintahkan dua orang petinggi Batalyon 426 yaitu
Mayor Munawar dan Kapten Sofyan untuk menghadap pada dirinya. Namun, dari kedua
orang tersebut hanya Mayor Munawar saja yang datang menghadap Kolonel Gatot
Subroto karena ia merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai seorang komandan,
di mana sejumlah besar anak buahnya telah terlibat di dalam organisasi
terlarang. Sedangkan Kapten Sofjan sendiri lebih memilih untuk membangkang dan
melanjutkan perjuangannya dalam gerakan DI/TII. Pada 8 Desember 1951 pukul lima
pagi, komandan Batalyon 424 memberikan ultimatum kepada Kapten Sofjan untuk
menyerahkan diri, tetapi Kapten Sofjan dan Batalyon 426 tetap memilih bertahan
sampai titik darah penghabisan.
Batalyon 426 yang tetap
pada pendiriannya yakni tidak mau menyerahkan diri, akhirnya dilakukan usaha
untuk mengatasi hal tersebut dengan dikerahkannya sebanyak tiga Batalyon yaitu Batalyon 424, 421, dan 425 untuk
mengepung markas Batalyon 426 di Kudus. Selain itu, untuk menambah daya gempur
kekuatan, gabungan ketiga Batalyon tersebut diperkuat lagi dengan satu setengah
peleton dari unsur Kavaleri. Pasukan gabungan tersebut berhasil mengepung
markas Batalyon 426 dan meneriakkan berkali-kali dari luar markas agar Batalyon
426 segera menyerahkan diri, namun meski sudah terdesak dan terkepung, Kapten
Sofjan meminta waktu sepuluh menit untuk mengumpulkan anak buahnya guna
mempertimbangkan permintaan pasukan pengepung untuk menyerahkan diri. Belum
genap sepuluh menit, ternyata bukannya menyerahkan diri justru pasukan Batalyon
malah melepaskan rentetan tembakan. Mereka bertekad ingin mempertahankan diri
sampai ajal menjemput mereka, meskipun hal itu berarti mereka harus mati di
tangan “saudara” mereka sendiri. Akhirnya aksi baku tembak sesama
anggota TNI tak terhindarkan lagi.
Baku tembak tersebut berlangsung cukup sengit dan a lot,
serta tidak ada tanda-tanda perkembangan yang signifikan dari pertempuran
tersebut. Tidak ada tanda bahwa pasukan gabungan sanggup menaklukkan tentara
eks Batalyon 426, bahkan bisa dibilang pasukan pimpinan kapten Sofyan lebih
unggul karena bangunan markas yang mereka gunakan juga berfungsi sebagai
benteng pertahanan. Menghadapi situasi yang kurang menguntungkan, memaksa
pasukan Kavaleri TNI yang turut serta dalam pengepungan mengambil inisiatif.
Mereka ingin membumihanguskan markas Batalyon 426, namun, Komandan Batalyon 424
yang ditugasi sebagai Komandan pengepungan melarang hal tersebut dengan alasan
komandan batalyon 424 berharap anggota eks Batalyon 426 akan sadar dan kemudian
menyerahkan diri secara sukarela. Selain itu juga karena mereka sesama pejuang
yang turut bahu-membahu melawan Belanda.
Setelah sehari penuh pengepungan dilancarkan, namun masih
tidak adatanda-tanda bahwa Batalyon 426 akan menyerahkan diri. Hari yang mulai
gelap dan turunnya hujan lebat, tak disangka cuaca yang tidak bersahabat ini
justru dimanfaatkan pasukan Batalyon 426 untuk meloloskan diri dari kepungan
pasukan pengepung. Mereka berhasil meninggalkan markas tanpa diketahui oleh
pasukan pengepung dengan melalui selokan yang ada di belakang markas di tengah
hujan lebat. Pasukan Batalyon 426 tersebut diketahui lari ke daerah Klaten, tempat
yang sudah dipersiapkan oleh pengikut-pengikutnya untuk dijadikan basis
pemberontak. Mengetahui pasukan Batalyon 426 kabur, maka pasukan gabungan
berusaha mengejar dan menghadang pembangkang-pembangkang tersebut.
Sementara itu di Magelang, dua kompi eks Batalyon 426 yang
dipimpin oleh Kapten Alief diperintahkan untuk tidak meninggalkan markas kompi.
Mereka diawasi dengan ketat oleh pihak Teritorial IV. Namun, rupanya kabar
pertempuran dan pengepungan terhadap markas induk di Kudus sampai juga ke
telinga mereka. Tidak ingin kejadian di Kudus terulang, gerombolan pasukan eks
Batalyon 426 pun melarikan diri. Batalyon 408 yang ditugasi menggempur dua
kompi di Magelang selanjutnya melakukan penindakan yang lebih tegas.
Pada tanggal 9 Desember 1951, Kapten Alief sebagai pimpinan
pasukan “pemberontak”, di depan Komandan Batalyon 408, berjanji tidak
akan mengikuti aksi pasukan seperti yang terjadi di Kudus dan tetap tunduk di
bawah perintah Batalyon 408. Namun, rupanya hal tersebut sebagai taktik agar
dua kompi pasukannya dapat berangsur meloloskan diri untuk kemudian bergabung
dengan induk pasukan yang dipimpin oleh Kapten Sofyan. Akhirnya, sehari
kemudian, 10 Desember 1951, pukul 01:00 dini hari, dua kompi eks Batalyon 426
di Magelang, resmi melakukan pemberontakan.
Dua kompi Batalyon 426 di Magelang akhirnya mengikuti jejak
kawan-kawan mereka di Kudus. Para pemberontak tersebut melarikan diri dan guna
memecah konsentrasi pasukan pengejar, mereka menyamar sebagai masyarakat biasa.
Mereka mengganti pakaian militer mereka dengan pakaian sipil untuk mengecoh
pasukan pengejar. Selain itu mereka juga berbaur dengan masyarakat setempat
sembari bergerak melakukan konsolidasi.
Satu kompi eks Batalyon 426, dipimpin Mohjidin, bergerak ke
selatan menuju Muntilan. Di Muntilan, gerombolan ini menyerang pos polisi dan
menyerbu rumah tahanan serta membebaskannya. Selanjutnya mereka bergerak ke
daerah Salaman dan terlibat baku tembak. Dalam pertempuran di Salaman, mereka
kehilangan satu peleton pasukan. Setelah itu sisanya berhasil kabur ke daerah
Surakarta. Sedangkan satu Kompi lainnya bergerak ke utara menuju Grabag dan
terus dikejar oleh Kompi 1 Batalyon 408.
Ketika sampai di daerah Simo, Boyolali, gerombolan
pemberontak berhasil menculik Komandan Mobile Brigade (Mobrig), lalu merampas
senjatanya. Selanjutnya mereka dicegat oleh pasukan Mobile Brigade di Simo dan
Mojongsongo, Boyolali, mereka pun melakukan perlawanan. Baku tembak berlangsung
cukup sengit dan berhasil menewaskan seorang penembak bren dari Mobrig. Setelah
berhasil menaklukkan Boyolali, pasukan ini melakukan penyerangan di Delanggu,
Klaten. Pada penyerbuan yang berlangsung pada malam hari itu, seorang polisi
tewas tertembak oleh aksi mereka.
Petualangan mereka berlanjut ke daerah Cokrotulung. Di
daerah tersebut, pasukan eks Batalyon 426 memperoleh tambahan senjata ketika
berhasil melucuti 11 anggota Mobrig. Kedua kompi tersebut akhirnya melakukan
regrouping di daerah Ngupit, Klaten, pada tanggal 11 Desember 1951.
Melihat perkembangan bahwa Klaten telah dijadikan daerah
pengunduran beberapa kompi eks Batalyon 426, maka kewaspadaan di daerah
Surakarta dan sekitarnya mulai ditingkatkan, seperti yang dilakukan di Solo
dengan diadakan pembersihan terhadap sel-sel pendukung eks Batalyon 426.
Sementara itu di Klaten juga dilancarkan sweeping senjata
api, namun rupa-rupanya aksi sweeping senjata api yang dilakukan pasukan TNI
dari pihak Teritorial IV sudah terendus dan sudah diperkirakan sebelumnya oleh
eks Batalyon 426.
Karena dirasa kekuatan pasukan pemberontak semakin kuat
saja, pihak Tentara Teritorial IV Diponegoro memutuskan untuk melancarkan
Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Moch Bachrun. Operasi
ini diperkuat 13 Batalyon Infanteri dan didukung 5 peleton Kavaleri, 3 baterai
Artileri medan, dan satuan bantuan tempur lainnya.
Pada tanggal 11 Desember 1951, salah satu Batalyon yang ikut
dalam Operasi Merdeka Timur yaitu Batalyon 419 bergerak dari Klaten untuk melakukan
penghancuran terhadap pasukan eks Batalyon 426 di daerah Ngupit, Jatinom.
Sekitar pukul 10:30, Komandan Batalyon 419 Mayor Koesmanto melalui radio
perhubungan menerima permintaan bantuan tembakan mortir dari Kompi 2 Batalyon
419. Saat anggotanya bersiap melakukan pengecekan titik koordinat, tak ada
komunikasi balasan dari pihak pasukan di Kompi 2 sehingga untuk menghindari
salah sasaran, maka tembakan mortir pun diurungkan.
Sebagai Komandan, Mayor Kusmanto segera mencari tahu posisi
Kompi 2. Sebuah kejadian cukup mengagetkan dialami Kusmanto dan Letnan Satu
Kandiawan, ajudannya. Ketika dalam perjalanan pukul 12:00 siang, mereka
berpapasan dengan pasukan pemberontak yang tengah berusaha mengundurkan diri ke
desa Kragilan karena terdesak gempuran pasukan TNI.
Mayor Koesmanto dan Lettu Kandiawan pun berhenti, dan
melakukan penyelidikan terhadap posisi pelarian musuh. Tahu bahwa keberadaan
mereka terendus, para pemberontak akhirnya melepaskan tembakan ke arah dua
perwira TNI tersebut dan Mayor Koesmanto terkena tembakan. Parahnya, peluru
menembus tulang rusuk kiri dan paru-paru kiri.
Hujan tembakan terus ditembakkan membabi-buta ke arah Mayor
Koesmanto, Lettu Kandiawan beserta anak buah mereka yang saat itu sedang
mengemudikan jeep. Kandiawan dan prajurit pengemudi berupaya melakukan
pertolongan terhadap Mayor Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Mereka
pun mencoba menaikkan Koesmanto ke bagian belakang jeep, Prajurit pengemudi
berhasil memutar posisi kendaraan.
Meski berhasil memutar, namun rupanya tembakan pasukan
pemberontak berhasil mengenai radiator jeep. Pengemudi pun panik, akibatnya,
jeep yang tengah ia kemudikan masuk ke parit dan menerobos ladang penduduk
setempat. Mereka tidak dapat bergerak lagi sehingga upaya proses evakuasi
terhadap Mayor Koesmanto gagal. Koesmanto dan Kandiawan yang dalam keadaan
terluka masih tertinggal di jalan.
Tanpa ampun, para pemberontak semakin gencar menembaki
keduanya yang sudah semakin tersudut. Melihat keduanya terdesak, pasukan
pemberontak pun semakin mendekat. Mereka mengepung dari berbagai arah. Ketika
merangsek maju, Lettu Kandiawan berhasil membubarkan mereka dengan tembakan
senapan Owen. Musuh pun kocar-kacir dan lebih memilih mundur. Untuk sementara
keadaan mereda. Keduanya segera menghampiri pengemudi jeep yang masih
bersembunyi terpisah.
Tiba-tiba berondongan tembakan mengarah ke arah tiga orang
tersebut. Musuh datang kembali. Namun tembakan kali ini lebih gencar daripada
sebelumnya. Mayor Koesmanto pun memerintahkan Kandiawan untuk menemui Kompi 1
guna meminta bantuan pasukan tambahan. Prajurit pengemudi diperintahkan untuk
menyembunyikan Mayor Koesmanto. Sementara Lettu Kandiawan segera bergerak ke
arah Kompi 1.
Rupanya Mayor Koesmanto sudah tidak mampu lagi menahan
luka-lukanya yang makin parah akibat tembakan. Guna mengamankan dirinya dari
tembakan para pemberontak, sang pengemudi pun menyembunyikannya. Akan tetapi di
tengah jalan mereka ditembaki lagi oleh eks Batalyon 426.
Akhirnya Lettu Kandiawan berhasil menemukan posisi pasukan
Kompi 1 Batalyon 419. Komandan Kompi 1, Kapt. Kamto, dengan segera mengirimkan
satu peleton untuk mengevakuasi Mayor Koesmanto. Mereka pun berhasil
mengevakuasi Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Setelah beberapa hari
di rawat, kabar duka pun menghampiri. Tepat pada hari Rabu, 12 Desember 1951
pukul 15:20, Mayor Koesmanto akhirnya meninggal dunia karena luka-luka parah
yang dideritanya.
Guna mematikan perlawanan pasukan pemberontak,
diterjunkanlah bantuan pasukan dari Brigade Mangkubumi sebanyak dua kompi
(Batalyon 413), 1 Kompi dari Batalyon 412, serta 1 peleton Eskadron Lapis Baja.
Tidak tahan menghadapi gempuran pasukan TNI, pasukan eks
Batalyon 426 memilih mundur dan melarikan diri ke arah Dawar, Boyolali. Akan
tetapi pergerakan mereka dihadang oleh satu kompi Batalyon 416 dan satu peleton
Mobrig. Dari tempat ini mereka mundur lagi ke arah Tulung, Malangan dan Ngunut.
Akhirnya, mereka pun berhasil lolos dari sergapan.
Pasukan eks Batalyon426 kemudian melakukan konsolidasi,
setelah mereka mendapat suntikan kekuatan yang berhasil melakukan perembesan
dari arah Kedung Jati di Simo, Boyolali. Mereka berusaha menghindari kontak
senjata dan berupaya menuju Klaten. Pasukan ini sudah bergerak menuju Selatan
setelah melewati Purwodadi.
Pada 22 Desember 1951, pasukan pemberontak masuk dari arah
Walikukun, Ngawi. Dalam usaha pelarian mereka, sempat dihadang oleh Batalyon
508 Divisi Brawijaya dan Batalyon 428, namun lagi-lagi mereka berhasil lolos
dari hadangan hingga tiba di daerah Karanganyar. Pada 29 Desember mereka bertahan
di Duwet, Karanganyar. Di daerah ini mereka berhasil menerobos pertahanan dua
Kompi Batalyon 421. Dalam pertempuran Duwet, pasukan pemberontak dihujani
tembakan Artileri sambil menerobos pertahanan dan berhasil menguasai posisi
dataran yang lebih tinggi dari pasukan TNI. Akibatnya, pemberontak berhasil
memporak-porandakan dua kompi dari Batalyon 421.
Melihat keadaan yang begitu genting, Komandan Batalyon 417,
Mayor Soenaryo, memerintahkan perlawanan. Pasukan Batalyon 417 merangsek maju.
Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan lagi. Namun malang bagi Mayor
Soenaryo, dalam pertempuran dirinya gugur akibat tertembak oleh pasukan
pemberontak dalam baku tembak dekat yang berjarak lima meter. Sedangkan di
pihak musuh, Kapt. Sofyan terkena tembakan dan mengalami luka-luka.
Sementara itu 8 kendaraan milik Batalyon 417 yang berada di
jalan dibakar pasukan pemberontak. Selang beberapa lama, bantuan dari Kavaleri
pun datang dan langsung menggempur posisi pasukan eks Batalyon 426 yang masih
bertahan di perkampungan penduduk. Akhirnya, pasukan eks Batalyon 426
mengundurkan diri, termasuk Kapt. Sofyan yang terluka. Akhirnya Kapt. Sofyan
pun tewas dan jenazahnya berhasil di evakuasi di daerah Wonogiri.
Petualangan Batalyon 426 pun berakhir setelah mengalami
operasi pengejaran yang tanpa henti oleh pasukan TNI. Sisa-sisa pasukan
tersebut akhirnya dengan susah payah berhasil memasuki wilayah Gerakan Benteng
Nasional (GBN), dan bergabung dengan gerakan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Barat.
B.
Analisis
Pemberontakan Batalyon 426 Ditinjau Dari Teori kelompok Kepentingan
Dilihat dari Teori Kelompok Kepentingan menurut Gabriel Almond, kelompok kepentingan adalah suatu organisasi
yang bertujuan dan berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah, tanpa
menghendaki untuk duduk di jabatan publik. Kelompok kepentingan ini berbeda
dengan partai politik, karena tujuan partai politik adalah menduduki
jabatan publik, sedangkan kelompok kepentingan bertujuan untuk
memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga lembaga politik
agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan masyarakat serta menghindarkan
keputusan yang merugikan. Secara sederhana yang dimaksud dengan
kelompok kepentingan (interents group) ialah sejumlah orang yang memiliki
kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan, yang sepakat
mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan. Sepanjang sejarah,
kelompok kepentingan selalu ada beriringan dengan keberadaan negara atau
pemerintahan yang ada.
Berdasarkan teori tersebut, maka Batalyon 426 ini merupakan salah satu
bentuk kelompok kepentingan dengan jenis kelompok kepentingan institusional. Kelompok
kepentingan institusional (kelembagaan), kelompok
yang memiliki suatu organisasi yang telah mapan, kegiatan yang teratur,
jaringan organisasi yang luas, tujuan organisasi yang luas, kepemimpinan yang
terseleksi. Anggotanya terkait dengan kepentingan ekonomi atau bisanya terkait
dengan pekerjaan. Sangat efektif dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Selain itu kelompok kepentingan institusional ini memiliki pengaruh yang luar
biasa terhadap pemerintahan suatu negara, sehingga kelompok ini memiliki
peranan yang penting dalam menjaga stabilitas yang ada, seperti halnya Batalyon
426. Bahwa Batalyon 426 ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga
stabilitas negara, hal ini dikarenakan Batalyon 426 ini merupakan organisasi
militer yang pada saat itu memiliki berpengaruh di dalam pemerintahan. Sehingga
apabila organisasi militer melakukan pemberontakan, akan membuat pemerintahan
ikut tidak stabil.
Batalyon 426 ini merupakan suatu organisasi yang terorganisir, hal ini
dapat dilihat dengan susunan batalyon pada saat itu. Dengan struktur susunan
pimpinan yang jelas tersebut, maka organisasi tersebut bergerak dengan teratur
dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan di bawah pimpinan Kapten Sofyan.
Selain itu, Batalyon 426 ini memiliki tujuan yang pasti untuk mempengaruhi
pemerintah dalam membuat atau pun memutuskan kebijakan. Dalam kasus ini,
Batalyon 426 atau gerakan ini memiliki tujuan untuk menjadikan republic
Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada
masa perang tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara
Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
yang menyatakan bahwa “Negara berdasarkan
Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”.
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara
untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang
keras terhadap ideology selain Al Qur’an dan Hadist
C.
Analisis
Pemberontakan Batalyon 426 Ditinjau Dari
Teori Pemberontakan
Pemberontakan, dalam pengertian umum,
adalah penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk,
mulai dari pembangkangan sipil (civil
disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan
otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah
yang berkuasa, tetapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa
badan keker. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan disebut
sebagai "pemberontak". Pemberontakan kadang diartikan sebagai revolusi oleh
pemimpin pemberontakan tersebut. Pemberontak bisa juga diartikan upaya
perlawanan yang dilakukan oleh individu/komunitas/masyarakat/ anggota
organisasi terhadap tindakan semena-mena atau kebijakan yg merugikan oleh
atasan/pimpinan. Upaya yang dilakukan semata-mata untuk menuntut keadilan
(Gerakan Perubahan).
Kebanyakan pemberontakan
dilaksanakan untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan pemerintahan yang
baru, dan menggati pemerintahan yang sesai dengan keinginan para pemberontak.
Baik itu dari segi keseluruhan nation, atau sebagian saja. Namun pemberontak
tidak saja hanya gerakan anti-pemerintahan yang dilakukan dengan mengangkat
senjata saja. Setidaknya ada beberapa tipe pemberontakan, antara lain:
ketidakmauan berkorporasi dan bekerja sama kepada pemerintah, gerakan
mempertahankan wilayah yang telah dikuasai oleh musuh, gerakan revolusi yang
mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, pemberontakan
yang dilakukan oleh pemberontakan lokal, pembangkangan militer pada pemimpinya,
aksi subversi dan sabotase pada negara dan terorisme.
Teori diatas menjelaskan tentang apa
yang dimaksud dengan pemberontakan serta bentuk-bentuk dari pemberontakan itu
sendiri. Dari teori tersebuk maka dapat dianalisis terkait aksi yang dilakukan
oleh batalyon 426 yang kemudian menjadi anggota eks batalyon 426. Aksi yang
dilakukan oleh batalyon 426 dapat dikategorikan sebagai pemberontakan, karena
aksi yang dilakukan memenuhi unsur pemberontakan. Yaitu terdapat unsur melawan
otoritas,otoritas disini adalah pemerintah RI. Aksi tersebut bila dikerucutkan
lagi termasuk dalam bentuk pemberontakan pembangkangan militir pada pimpinannyadan merupakan pemberontakan
yang bersenjata. Pertama mari kita lihat faktor yang menyebabkan pemberontakan
batalyon 426. Jika kita lihat kronologi diatas awal dari pemberontakan
dikarenakan terpengaruh oleh Amir Fatah yang merupakan pimpinan dari DI/TI yang
ingin menegakkan ideologi islam di indonesia. Kenginginan Amir Fath tersebut
muncul karena rasa kekecewaanya terhadap negara RI. Amir Fatah merasa
pemerintah RI tidak mengahrgai perjuangan nya bersama pendukunganya di daerah
Tegal-brebes. Saat intu batalyon 426 dipimpin oleh mayor Munawa terpengaruh dan
menjadi pendukung Ideologi Islam dan akhirnya mereka bergabung dengan DI/TII
tanpa sepengetahuan dari atasany. Dalam Batalton 426 juga terdapat kapten
Sofyan dan kapten Alief yang juga terlibat dalam pemberontakan tersebut.
Batalyon 426 merupakan bagian dari Tentara Teritorial IV Diponegoro. Selain
batalyon 426 batalyon 423 juga tegabung dalam gerakan tersebut. Kabar bahwa ke
dua batalyon tersebut bergabung dalam DI/TII telah berdedar dimana-mana dan
terdengan sampai pada Panglima Tentara Teritorial IV Diponegoro yaitu Kolonel
Gatot Subroto. Awalnya Kolonel Gatot Subroto berhasil menangkap orang-orang
anggotaBatalyon 423 untuk mencegah aksi mereka dan berhasil. Kemudian untuk
mencegah aksi batalyon 426 Kolonel Gatot Subroto memanggil Mayor Munawar dan
Kapten Sofyan tetapi salah satu dari mereka tidak mematuhi pangilan tersebut,
yaitu Kapten Sofyan. Kapten Sofyan lebih memilih berjuang sampai titik darah
penghabisan untuk mempertahankan idelogi islamya. Dari sini dapat kita lihat
bahwa pemberontakan Batalyon 426 merupakan pembangkangan militer terhadap
pimpinannya. Batalyon 426 sudah membangkan terhadap Panglima Tentara Teritorial
IV Diponegoro yang merupakan pimpinan mereka. Selain kepada panglima mereka
batalyon 426 juga membangkang terhadap presiden negara diaman selain pemimpin
negara presiden adalah penglima tertinggi militer. Jelas bahwa Batalyon 426
membangkang terhadap pimpinannya. Selian merugikan militer pemberontakan
Batalyon 426 juga menimbulkan kerugian bagi negara.
Pada aksi yang berikutnya eks Batalyon 426 ini banyak
mengakibatkan gugurnrnya para militer yang lain. Keteguhan Kapten Sfyan
mempertahankan ideologi islamnya ini membuat batalyon 426 menjadi pemberontak.
Tidak hanya yang didmpin oleh Kapten Sofyan, pasukan eks Batlyon 426 yang
bermarkas di Klaten dipimpin oleh Kapten Alif juga mengikuti jejak Batalyon 426
induk dikudus menjadi pasukan pemberontak. Batalyon 426 yang dipimpin oleh
Kapten Alif ingin bergabung dan membela
saudaranya sesama di Batalyon 426 tersebut. Akhirnya kedua pasukan
tersebut dapat bergabung menjadi pemberontak. Berbagai cara sudah dilakukan TNI
untuk mencega ataupun mengatasi aksi batalyon 426 tersebut. Mulai dari operasi
militer samapai pada diplomasi politik. Diplomasi politik dilakukan oleh
pemrintah RI sebelum pemberontakan Batalyon 426 di mulai atau lebih tepanya
diplomasi dilakukan kepada DI/TII. Tetapi usaha tersebut tidak membawakan hasil
yang baik. Hingga pecahlah aksi pemberontakan tersebut. Selain cara dipolasi
militer juga menggunakan cara operasi militer untuk menagkap para pemberontak
eks Batalyon 426. Berbagai opreasi militer dilakuakan untuk menangkap pasukan
tersebut. Namun hansilnya selalu nihil. Pasukan pemberontak selalu bisa lolos
dari pengepungan dan operasi militer yang dilakukan. Pasukan pemberontak
sellalu berpindah tempat untuk mengamankan diri berpindah dari klaten ke simo
kemudian ke boyolali dan seterusnya dan menyamar menjadi rakyat biasa agar
keberadaan mereka tidak diketahui pasukan militer. Selama dalam pelarian
tersebut pasukan pemberontak juga melakukan konsolidasi serta mencari tambahan
persenjataan deengan melucuti anggota militer yang lain. Sehingga ketika harus
berhadapan dengan pasukan militer mereka sudah siap bertempur.
Pada 29 Desember pasukan pemberontak bertahan di Duwet, Karanganyar
seteah lolos dari serangan Batalyon 508 Divisi Brawijaya di Daerah Ngawi. Di daerah ini mereka berhasil
menerobos pertahanan dua Kompi Batalyon 421. Dalam pertempuran Duwet, pasukan
pemberontak dihujani tembakan Artileri sambil menerobos pertahanan dan berhasil
menguasai posisi dataran yang lebih tinggi dari pasukan TNI. Akibatnya,
pemberontak berhasil memporak-porandakan dua kompi dari Batalyon 421.
Meihat hal tersebut Mayor Soenaryo memerintahkan untuk melawan sehingga
pertempuran jarak dekat pun terjadi. Dari pertempuran jarak dekat tersebut
mengakibatkan Mayor Soenaryo tewas karena terus duhujani peluru oleh pasukan
pemberontak. Sedangkan di
pihak musuh, Kapt. Sofyan terkena tembakan dan mengalami luka-luka. Akhirnya, pasukan eks Batalyon 426
mengundurkan diri, termasuk Kapt. Sofyan yang terluka. Akhirnya Kapt. Sofyan
pun tewas dan jenazahnya berhasil di evakuasi di daerah Wonogiri.
Petualangan Batalyon 426 pun
berakhir setelah mengalami operasi pengejaran yang tanpa henti oleh pasukan
TNI. Sisa-sisa pasukan tersebut akhirnya dengan susah payah berhasil memasuki
wilayah Gerakan Benteng Nasional (GBN), dan bergabung dengan gerakan DI/TII di
wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dari penjabaran diatas menunjukan bahwa apa yang dilakuakn
oleh pasukan eks Batalyon 426 yang dipimpin Kapten Sofyan adalah pemberontakan
yang besar, karena dilakukan dengan senjata dan membaangkang terhadap pimpinan.
Pemberontakan ini terjadi diawali dari
rasa ingin menegakkan ideologi islam yang didukunganya, hingga
menyebabkan perpecahan pada militer dan menyebabkan banyak militer yang gugur
karena pertempuran melawan pasukan pemberontak tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Pemberontakan Batalyon 426 ini merupakan bagian dari pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah yang pada masa itu dipimpin oleh Amir Fatah. Gerakan ini
didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI). Dimana Amir Fatah
awalnya setia pada RI, namun kemudian berubah mendukung gerakan DI/TII. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terdapat persamaan ideologi antara Amir
Fatah dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap aparatur
pemerintah dan TNI terpengaruh dengan “orang-orang kiri” dan mengganggu
perjuangan umat Islam, dan terakhir pemerintah RI dan TNI tidak menghargai
perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya. Pemberontakan itu diselesaikan
dengan dua cara, yaitu operasi militer dan politik. Dalam pemberontakan DI/TII
ini melibatkan Batalyon 423 dan Batalyon 426 mengakibatkan baku tembak. Hingga
akhirnya Batalyon 426 berhasil memasuki wilayah Gerakan Benteng Nasional (GBN)
dan bergabung dengan gerakan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Berdasarkan teori kelompok kepentingan yang disampaikan oleh Gabriel
Almond, maka Batalyon 426 ini merupakan salah satu bentuk kelompok kepentingan
dengan jenis kelompok kepentingan institusional. Dimana Batalyon 426 ini
memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga stabilitas negara, hal ini
dikarenakan Batalyon 426 ini merupakan organisasi militer yang pada saat itu
memiliki pengaruh di dalam pemerintahan. Sehingga apabila organisasi militer
melakukan pemberontakan, akan membuat pemerintahan ikut tidak stabil. Selain
itu Batalyon 426 ini merupakan suatu organisasi
yang terorganisir, hal ini dapat dilihat dengan susunan batalyon pada saat itu.
Dengan struktur susunan pimpinan yang jelas tersebut, maka organisasi tersebut
bergerak dengan teratur dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan di bawah
pimpinan Kapten Sofyan. Selain itu, Batalyon 426 ini memiliki tujuan yang pasti
untuk mempengaruhi pemerintah dalam membuat atau pun memutuskan kebijakan. Dalam
kasus ini, Batalyon 426 atau gerakan ini memiliki tujuan untuk menjadikan
republic Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan
ada pada masa perang tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan
agama Islam sebagai dasar negara.
Jika ditinjau dari teori pemberontakan, aksi yang dilakukan pasukan
Batalyon 426 merupakan pemberontakan dalam bentuk pembangkangan terhadap
peminpin baik panglima maupun pemimpin negara. oleh sebab itu banyak tentara
yang gerguguran dalam upaya menghentikan pemberentokan tersebut termasuk Mayor
Soenaryo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar