GAGASAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
: ANTARA TUNTUTAN DAN TAKTIK POLITIK
Untuk mata kuliah Sistem Politik Indonesia
Dosen Pengampu:
Dr.Rusnaini.M.Si
Disusun oleh:
Nama : Anggi
Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Partai
politik di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang
lebih seratus tahun. Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial
sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam kenyataannya
organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami kesukaran untuk
bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah kolonial yang
berlangsung sampai pendudukan Jepang. Pola kepartaian yang telah terbentuk di
zaman kolonial ini kemudian dilanjutkan menjadi landasan untuk terbentuknya
pola sistem multi partai di zaman kemerdekaan. Maklumat Pemerintah Nomor X pada
tangga 3 November 1945 tentang Anjuran Pemerintah tentang Pembentukan
Partai-partai politik, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai di
Indonesia
Namun
dalam sejarah sistem multi partai ini tidaklah disukai karena banyaknya partai politik dipandang
merupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan
munculnya perpecahan bangsa. Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagi bukti
perpecahan adalah dalam forum Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat
menyelesaikan tugasnya membentuk konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan
mendasar tentang dasar negara Islam dan Pancasila yang tidak menemukan titik
temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh pemerintah untuk kembali pada UUD 1945
pun tidak menemukan titik temu apakah harus dengan perubahan atau tanpa
perubahan.
Sudah
cukup sering dikemukakan, institusi partai politik (parpol) adalah salah satu
pilar terpenting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilihan umum,
eksekutif, legislatif, yudiaktif, dan lembaga pers yang bebas. Begitu
pentingnya kedudukan parpol, sering dikatakan pula, tidak ada demokrasi tanpa
kehadiran parpol di dalamnya. Walapun demikian perlu segera digaris bawahi, pertama sistem demokrasi hanya bisa
bekerja apabila parpol juga bekerja dalam kerangka suatu sistem kepartaian yang
mendukung dan memungkinkan demokrasi bekerja. Kedua, tidak semua partai politik bisa memberikan konstribusi
positif bagi perkembangan demokrasi. Samuel P Huntington, misalnya,
menggarisbawahi bahwa hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalkan
yang menjajikan terbangunya demokrasi yang lebih baik. Ketiga, demokrasi tida semata-mata identik dengan jumlah parpol,
seolah-olah semakin banyak banyak jumlah parpol maka suatu negara semakin
demokratis. Di sejumlah negara demokratis yang telah mapan seperti Amerika
Utara dan Eropa Barat, jumlah parpol yang berkompetisi di tingkat nasional
justru semakin berkurang.
Di
sisi lain keanekaragaman kultural tidak harus identik dengan keberagaman
politik secara ideologi. Ideologi atau pandangan dunia suatu kelompok ataupun
partai-partai tentang politik bisa saja merupakan senyawa alamiah dari beragam
identitas asal yang bersifat kultural sehingga pluralitas politik cenderung
lebih sederhana dibandingkan realitas keberagaman kultural. Karena
itu,perdebatan tentang jumlah parpol dan sistem kepartaian sebenarnya tidak sepenuhnya
terkait dengan realitas kultural suatu bangsa-negara. dengan kata lain, sistem
kepartaian yang fragmentatif belum tentu terpolarisasi pula secara ideologis.
Karena itu, diskusi mengenai parpol dan sistem kepartaian dalam hubungannya
dengan efektivitas pemerintah tidak semata-mata terkait jumlah parpol,
melainkan juga menyangkut polarisasi ideologis di antara parpol dalam sistem
kepartaian.
Dalam
kaitan tersebut, tulisan ini hendak mengevaluasi, menganalisis, dan menilai
realitas parpol dan sistem kepartaian Era Reformasi, dan atas dasar itu mencoba
merumuskan arah penataaannya ke depan, sudah tentu dalam konteks sistem
demokrasi presidensiil sebagaimana diamantakan dalam konstitusi hasil amandemen.
Namun sebelum sampai pada analisis, penilaian dan ususl rekomendasi perubahan,
tulisan ini dimulai dengan melihat teori teori yang mendukung tentang demokrasi
dan sistem kepartaian.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
penyederhanaan partai politik sebuah tuntutan atau taktik politik?
2. Bagaimana
model penyederhanaan partai politik di Indonesia?
3. Bagaimana
format multipartai sederhana yang cocok diterapkan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Teori
1.
Partai
Politik dan Sistem Kepartaian
Menurut
Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori yang mencoba menjelaskan
asal usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan
antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Partai politik dibentuk oleh
kalangan legislatif dan eksekutif karena ada kebutuhan para anggota parlemen
(yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontrak dengan
masyarakat dan mebina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik
terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang
dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik lain ini biasanya dibentuk
oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan
penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menampung
dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Teori
kedua,teori situasi historikyang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya
suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan
masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakala suatu sistem
politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat modern yang
berstruktur kompleks. Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti
pembangunan tekonologi komunikasi berupa media massa dan transportasi,
perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan
kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentuk berbgai kelompok kepentingan
dan organisasi politik yang mampu memadukan dan memperuangkan berbagai aspirasi
tersebut, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi
Tipologi
sistem partai mudah dipahami dan pertama kali dikemukakan oleh Duverger (1951).
Sitem partai terdiri dari sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem
multi partai. Pembagian ini cukup banyak mendapat kritik dari para ahli lainnya
karena dinilai terlalu sederhana. Beberapa faktor yang tidak daspat dijelaskan
oleh duverger antara lain adalah bagaiman internal partai mempengaruhi
kompetisi dan kerjasama, ideologi partai, dan kekuataanya.
Dalam
negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai
yang tak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintahan tetapi juga
menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya
merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis. Bentu
partai tunggal otoriter biasanya diterapkan negara-negara berkembang yang
menghadapi masalah integrasi nasional dan keterbelakangan ekonomi.
Sistem
dua partai bersaing merupakan suatau sistem kepartaian yang di dalamnya
terdapat dua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan
memerintah melelaui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas
di antara kedua partai, yaitu partai yang memenangkan pemilihan umum menjadi
partai pemerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilihan umum berperan
sebagai kekuatan oposisi yang loyal.
Sistem
multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang
dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk,
baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam
masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal-usul budayanya dan
memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri.
B.
Penyederhanaan
Partai Politik : Tuntutan atau taktik Politik?
Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai demokrasi tentunya
perlu belajar dari masa lalu, dimana ada unsur baik sebagai nilai plus, juga
adaunsur negative sebagai bagian dari nilai minus. Unsur nilai plus minus
tersebut juga perlu disandingkan dengan kepentingan demokrasi lain seperti
masyarakat sebagai pemilih, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan pemerintah
sebagai fasilitator. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dikembangkan
bila masyarakat politik berkehendak untuk menyederhanakan partai politik.
Langkah tersebut yaitu :
1.
Masyarakat
perlu mendorong elit politik untuk setuju adanya peningkatan Electoral
Treshold
(ET) dan Parliemantary
Treshold
(PT).
2.
Masyarakat perlu untuk menguatkan keberadaan
partai politik yang ada , yang
memenuhi peningkatan ET dan PT dimasa
depan.
3.
Masyarakat
perlu berhati-hati untuk mau diajak dalam rangka pembentukan partai politik
baru
4.
Masyarakat
pemilih untuk secara aktif dapat mengalihkan pilihan pada partai politik yang memiliki
kursi di parlemen secara signifikan dan pro rakyat dan pro pembangunan utamanya
pengembangan demokrasi Pancasila.
5.
Kembali
kepada makna terdalam demokrsi Pancasila
Langkah strategis peningatan ET dan PT rupanya langkah
jitu bila langkah ini disetujui oleh anggota parlemen. Argumentasi pembinaan
dan pengembangan nilai demokrasi versi sila keempat perlu sebuah kecermatan
tersendiri. Penghargaan Ke-Bhinne ka Tunggal Ika-an ya sangat perlu diperhatikan, namun
terlalu banyak partai dan tidak adanya partai dominan dalam parlemen akan
menjadi bumerang. Kesulitan dalam pengambilan keputusan, banyaknya tuntutan
yang tidak
realistis sebagai bagian dari lobby politik dan bargaining position, koalisi
yang rawan bubar,mudahnya saling ancam dalam koalisi bila ada perbedaan
kepentingan, lemah dan sulitnya realisasi hasil pembahasan dalam praktek
lapangan dll
.Penyederhanaan partai politik versi baru perlu dukungan
dan sikap optimis sebagai bagian dari solusi untuk :
1.
penguatan
partai politik pemenang pemilu ,
2.
penguatan
parlemen dimata rakyat
3.
penguatan
pemerintah terutama ketika berhadapan dengan partai politik yang mengaku
sebagai partai oposisi.
Solusi yang mungkin ditempuh diatas, selanjutnya
perlu ditindaklanjuti oleh masyarakat politik. Artinya
masyarakat politik untuk kedepannya mau memperkuat posisi partai politik pemilik kursi di parlemen
yang signifikan. Pemberian kesempatandan kepercayaan pada partai pemilik kursi
di parlemen perlu untuk beberapa periode , sehinggapartai politik tersebut
mampu untuk dinilai, dievaluasi dan dikritik, serta selanjutnya silahkan
masyarakat untuk tetap bertahan pada pilihannya atau mengalihkan pilihan pada
partai politik lain atau mungkin justru membentuk partai baru yang didukung
massa yang jelas baik visi, misi dan ideology partai
Perlunya berhati-hati dengan partai politik baru, dengan
maksud bahwa kita perlu berhati-hati karena biasanya pembentukan partai politik
baru oleh orang-orang partai yang gagal dalam perebutan pimpinan partai dapat
dimaknai tidak memilik sikap istiqomah. Begitu gagal dalam meraih dukungan
pemilih baru, maka punya potensi untuk membuat partai lagi atau kalah dalam
pemilu pindah haluan ke partai politik lainnya. Mudahnya memberi dukungan pada
partai lain merupakan cermin tidak istiqomahnya pribadi seseorang.
Terpenting semua itu perlu kembali pada makna dari sila
keempat Pancasila yang sudah lama kita tinggalkan terutama pasca digulirkan
reformasi politik. Nilai musyawarah, nilai mufakat dan kepemimpinan perwakilan,
sepertinya kata-kata yang asing, padahal nilai tersebut sangat mungkinuntuk
dikembangkan sebagai ciri utama nilai demokrasi
C.
Sistem
Kepartaian : Soal Jumlah atau Ideologi?
Pembicaraan
dan juga pratik tentang sistem kepartaian di Indonesia hampir selalu terjebak
pada diskusi mengenai pencarian jumlah partai. Ketika Soekarno akhirnya
“mengubur” partai-partai yang berkuasa pada era Demokrasi Parlementer, salah
satu upaya pertama yang dilakukannya adalah penyederhanaan partai dari segi
jumlah, dari 28 partai, oragniasasi,kelompok, dan perorangan yang memperoleh
kursi dalam Pemilu 1955 menjadi sekitar 10 partai. Paratai Masyumi dan PSI yang
dianggap turut terlibat dalam pemberontakan daerah serta merintangi jalanya “
revolusi yang belum selesai” disingkirkan dari penggung politik nasional di Era
Demokrasi terpimpin, sementara PKI dan partai-partai loyalis lainnya dirangkul.
Penyederhanaan
serupa diperkuat dan semakin dipertajam oleh rezim orde baru melalui kebijakan
fusi (penggabungan) partai-partai pada tahun 1973, dari 10 partai (termasuk
sekber Golkar) kontestan pemilu 1971 hanya menjadi tiga partai politik PPP,PDI,
dan Golkar (yang tidak mau disebut partai politik). Setelah Soeharto dan Orde
Baru tumbang, menjelang pemilu 1999 muncul 148 partai (48 di antaranya ikut
pemilu) dan menjelang 2004 tercatat 261 partai terdaftar di Kementrian Hukum
dan HAM, meskipun hanya 24 partai saja yang memenuhi syarat sebagai peserta
pemilu.
Apabila
sistem kepartaian hanya berkaitan dengan soal jumlah partai belaka? Robert A
dahl cenderung mengidentifikasikan tipe sistem kepartaian atas dasar tingkat
kompetisi dan oposisinya di dalam serta
terhadap struktur politik yang berlaku. Terlepas dari jumlahnya, Dahl mebedakan
empat tipe sistem kepartaian yaitu (1) yang bersifat persaingan sepenuhnya, (2)
bekerja sama bersifat persaingan, (3) saling bergabung bersifat persaingan dan
,(4) saling bergabung sepenuhnya.
Sementara
itu, jean Blondel, Stein Rokan, dan Sartori selain menggunakan variabel jumlah
untuk mengidentifikasi sistem kepartaian juga menambahkan variabel-variabel
lainnya seperti “ ukuran relatif” dari partai-partai(Blondel,1968), distribusi
kekuatan minoritas di dalam partai (Rokkan,1968), dan variabel jarak ideologis
antarpartai di dalam sistem kepartaian(Sartori,1976). Berbagai variabel
tambahan tersebut menghasilakn varian atau tipe sistem kepartaian yang berbeda
dan beraneka ragam sesuai dengan titik tekan , sifat persaingan, kecenderungan
ideologis, pola relasi antar partai dan karakter partai-partai yang saling
berinteraksi tersebut.
Tipe
Sistem Kepartaian
Author
|
Principal
Criteria for Classification
|
Principal
Types of Party System Identified
|
Duverger (1954)
|
Numbers of parties
|
Two party system
Multyparty system
|
Dahl (1968)
|
Competitivenes of opposition
|
Strickly competitive
Cooperative competitive
Coalescent copetitive
Strickly coalesecent
|
Blondel (1968)
|
Number of parties
Relatives size of parties
|
Two party system
Two anda half pary systems
Multiparty system with one dominant
party
Multyparty system without dominat party
|
Rokkan (1968)
|
Numbers of parties
Likehood of single party majorities
Ditribution of minority pary strenght
|
“1 vs 1+1” system
“1 vs 3-4” systems
1 vs 1 vs 2-3” systems
|
Sartori (1976)
|
Number of paries
Ideologi distance
|
Two party systems
Moderare pluralism
Polarized pluralism
Predominat party systems
|
Pertanyaan
kemudian, sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa
Indonesia, dalam pengertian tak hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem
pemerintahan dan sistem perwakilan serta terbentuknya pemerintahan tyang dapat
memerintah (governable) , sehingga cita-cita keadilan, demokrasi, dan
kesejahteraan rakyat bisa terwujud.
Apabila
disepakati bahwa semangat sistem pemerinthan yang dikehendaki oleh UUD 1945
hasil amandemen adalah sistem presidensiil, maka semestinya berlaku pula sistem
perwakilan bikameral sebagai satu konsekuensi logisnya. Berikutnya adalah bahwa
sistem perwakilan bikameral menharuskan berlakunya sistem pluralitas di
Indonesia yang sering di sebut sistem distrik. Dalam konteks penyederhanaan
sistem kepartaian dalam pengertian sempit yakni dari segi jumlah perubahan
sistem pemilu dari proporsionlaitas ke sistem pluralitas merupakan cara alamiah
dan demokratis yang berlaku mengurangi jumlah parpol.
Namun
tidak berarti pula bahwa model serupa benar-benar tepat bagi kebutuhan dan
kondisi objektif bagsa Indonesia. Pilihan terhadap sistem pemilu pluralitas
dengan sistem dua apartai sebagai konsekuensi
logis berikutnya, tidak harus dipandang sebagai satu-satunya alternatif
dalam rangka membangun demokrasi dan
tata pemerintahan yang stabil, efektif, dan produktif bagi Indonesia.
Pengalaman sejumlah negara demokrasi yang mengadopsi sistem campuran yakni
antara sistem pluralitas dan sistem proporsionalitas, serta relatif banyaknya
perspektif teoritis tentang sistem kepartaian seperti dikutip diatas,
barangkali bisa membawa kita pada pilihan yang tidak sekedar hitam putih.
Artinya, meskipun koherensin antara sistem pemerintahan, sistem perwakilan,
sistem pemilihan, dan sistem kepartaian merupakan acuan dasar yang penting,
pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian bisa saja berbeda atau
sedikit menyimpang dari “keharusan”
teoretis.
Faktor
sejarah, keterbelahan kultural, perpecahan politik, disparitas demografis, dan
sensitifitas isu mayoritas minoritas, adalah variabel-variabel penting lain
yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan terhadap sistem pemilihan
dan sistem kepartaian. Begitu pula keterbelakangan sosial-ekonomi, tidak adanya
tradisi konsensus dan belum terbangunnya kultur liberal adalah
variabel-variabel yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan pilihan terhadap
sistem pemilihan dan sistem kepartaian. Kegagalan sistem presidensiil di
sejumlah negara amerika latin, antara lain disebabkan terabaikannya berbgai
faktor objektif yang bersifat lokal tersebut.
Melihat
partai politik peserta pemilu 2014 setidaknya kita dapat menggolongkan partai
politik ini menjadi beberapa kelompok.
Daftar Peserta Pemilu 2014
Partai
politik
|
Ideologi
|
Perolehan
suara
|
Partai Nasional Demokrat
|
Nasionalis
|
6,72%
|
Partai Kebangkitan Bangsa
|
Agama
|
9,04%
|
Partai Keadilan Sejahtera
|
Agama
|
6,79%
|
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
|
Marhaenis
|
18,95%
|
Partai Golongan Karya
|
Nasionalis
|
14,75%
|
Partai Gerakan Indonesia Raya
|
Nasionalis
|
11,81%
|
Partai Demokrat
|
Konservatif
|
10,19%
|
Partai Amanat Nasional
|
Agama
|
7,59%
|
Partai Persatuan Pembanguan
|
Agama
|
6,53%
|
Partai Hati Nurani Rakyat
|
Nasionalis
|
5,26%
|
Partai Bulan Bintang*
|
Agama
|
1,46%
|
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia*
|
Nasionalis.
|
0,91%
|
Jika
dilihat dari ideologi partai setidaknya ada empat partai yang mempunyai jumlah
suara besar
1. Nasionalis
Setidaknya
ada lima partai nasionalis dengan jumlah total suara 39,45%. Jika partai
nasionalis ini bergabung maka cukup mampu untuk mencalonkan Presiden secara
mandiri karena melebihi ambang batas minimal 20%. Banyak tumbuhnya partai
politik nasionalis di Indonesia berawal
dari satu partai utama yakni partai golkar yang menjadi partai penguasa di
Indonesia selama 32 tahun. Kemunculan berbagai partai politik berideologi
nasionalis dikarenakan para kader yang mendirikan partai merasa “keinginan”
politik mereka di tubuh partai tersebut tidak tercapai sehingga, Prabowo
mendirikan Gerindra, wiranto mendirikan Hanura, Surya Paloh mendirikan Nasdem.
Sebenarnya partai berideologi nasionalis ini bisa menjadi pemenang setiap
Pemilu dikarenakan suara yang masuk berasal dari berbagai kalangan tanpa adanya
isu SARA. Sehingga partai berideologi nasionalis ini mungkin bisa menjadi
partai yang besar
2. Agama
Ada
lima partai yang berideologi agama khususnya ideologi islam dengan total suara 31,41%.
Banyaknya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama islam membuat partai
berideologi islam seperti diatas angin. Namun hal tersebut justru terbalik
dengan realita yang ada, partai berideolgi silam kini mulai ditinggalkan oleh
pemilih dikarenan ideologi “islam” yang selama ini dijunjung tak lagi kuat.
Ditambah lagi dengan kasus Suryadarma Ali ketua PPP dan Lutfi Hasan I presiden
PKS terjerat kasus korupsi semakin membuat masyarakat berfikir dua kali untuk
memilih partai berideologi islam.
3. Marhaenisme
Sebenarnya
hanya ada 1 partai yakni PDI P. PDI P lahir dari “pemberontakan” terhadap orde
baru. Partai yang mengusung ideologi”partai
wong cilik” ini selalu terseok-seok untuk mendapatkan kursi
kepemimpinan. Diawali dengan kemenangan PDIP pada pemilu 1999 yang tidak
mengantarkan megawati menjadi presiden. Hanya pada tahun 2000 megawati naik
menjadi presiden akibat presiden abdurrahman wahid di makzulkan oleh MPR. Setelah itu menjadi oposisi selam 10 tahun ,
dan baru 2014 menjadi partai pemimpin. Sebenarnya dengan mengusung ideologi
“partai wong cilik” menyasar pemilih dari golongan kelas bawah di masyarakata
yang begitu banyak yang mana notabene negara kita negara berkembang sehingga
dengan mengusung ideologi marhaenis seharusnya juga diikuti dengan langkah-langkah
yang mendukung kebijakan tentang “wong cilik”
4. Konsevatif
Ada
satu partai yang berideologi konservatif yakni partai Demokrat. Partai Demokrat
didirikan sebagai “kendaraan politik” SBY yang mencalonkan dirinya sebagai
Presiden. Kemunculan Demokrat dengan SBY ini menjadi angin segar bagi
masyarakat dengan hadirnya wajah baru yang menjadi pemimpin negeri ini. Kiprah
Demokrat cukup baik dengan mengikuti pemilu pertama sebagai 5 besar dan pemilu
berikutnya 2009 menjadi partai pemenang pemilu membuat Demokrat dan SBY menjadi
penguasa selama 1 dekade. Namun,dengan maraknya kader parati yang terjerat
kasus korupsi membuat partai ini semakin menurun pemilih yang mana hal tersebut
dibuktikan pada pemilu tahun 2014 hanya 10,19% atau turun hampir setengah dari
jumlah suara dari pemilu lalu.
Di
dalam konteks Indonesia, model sistem multi partai sederhana baik multipartai
dengan dua partai dominan maupun multipartai terbatas katakanlah 3-5 partai
politik barangkali bisa menjadi salah satu alternatif jika diasumsikan bahwa
pilihan terhadap sistem pemilu pun kelak akan bergerak dari sistem
proporsionlitas terbuka untuk jangka pendek, dan gabungan sistem pluralitas dan
proporsionalitas untuk jangka panjang dan menengah. Namun untuk sampai kepada
sistem multipartai yang sederhana yang benar-benar pas bagi demokrasi
presidensial Indonesia jelas tetap diperlukan reformasi institusional yang
bersifat mendasar atas partai-partai politik, sehingga watak dan karakternya
pun secara berangsur-angsur dapat didorong untuk berubah.
D.
Mencari
Format Multipartai Sederhana
Semangat yang dikandung oleh undang-undang
Nomor 12 Tahun 2003 dengan sistem electoral threshold adalah dengan maksud menyederhanakan
partai politik dengan cara yang alamiah. Kalaulah electoral threshold ditiadakan,
sehingga semua partai dapat mengikuti Pemilu kenapa kok hanya parpol yang
memiliki kursi di DPR saja yang diberi kesempatan? Apakah bukan demi transaksi
dan pertukaran kepentingan di antara para politisi dan partai itu sendiri.
Menurut
Bagir Manan untuk mendukung sistem pemerintahan presidenial yang efektif ada
beberapa hal yang harus dilakukan;
Pertama, Perlu pembaharuan sistem kedpartaian kita dari sistem multi
partai dari sistem multi partai menjadi dua partai yang akan memungkinkan ada
partai yang memiliki kursi atau anggota mayoritas mutlak di parlemen. Sehingga
presiden dan wapres terpilih cukup didukung satu partai mayoritas, sehingga
tidak perlu koalisi untuk berbagi kekuasaan yang menyebabkan presiden selalu
tersandera oleh kekuatan politik di parlemen. Presiden terpilih, memiliki
kebebasan untuk memilih menteri-menteri yang semata-mata berdasarkan kompetensi
pribadi (zaken cabinet) bukan didasarkan pada suatu bangun koalisi yang rapuh
yang kadang kala dapat menyebabkan mush dalam selimut seperti yang terjadai
saat ini, di satu sisi menyatakan bagian dari pemerintah berkuasa tetapi untuk
case-casetertentu “lompat pagar” dari barisan pemerintah seperti yang terjadi
dalam kasus angket century.
Kedua,
pemangkasan hak-hak DPR, semua hak DPR yang berbau parlementer harus ditiadakan
untuk menjamin stabilitas pemerintahan dari ancaman parlemen. Pengawasan DPR
hanya dilakukan melalui undang-undang dan APBN, kecuali terhadap keadaan atau
peristiwa yang benar-benar menyangkut dasar-dasar bernegara, keamanan nasional,
kepentingan publik, dan kewajiban internasional. DPR tidak perlu mengawasi
pekerjaan sehari-hari pemerintah atau peristiwa-peristiwa yang berada dalam
lingkungan kerja pemerintah, apalagi terhadap kekuasaan penegak hukum,
khususnya pengadilan.
Ketiga,
Pembaharuan sistem pemilihan umum. Untuk menuju sistem kepartaian yang
sederhana (dua partai), harus diadakan perubahan sistem pemilihan umum menjadi
sistem distrik, dengan demikian, akan terjadi proses penyatuan kekuatan politik
(centrifetel), memudahkan rakyat menentukan pilihan, dan akan mengurangi atau
meniadakan berbagai bentuk jual beli politik.
Menurut
Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati perlu adanya pemikiran
untuk membuat aturan tentang sistem multi partai secara tegas dengan
memperhatikan beberapa poin alternatif antara lain:
1. Pengaturan
sistem kepartaian yang tegas, dalam arti pengaturan yang menjelaskan sistem
kepartaian yang dianut dengan jumlah partai politik tertentu.
2. Kalaupun
jumlah partai politik tidak dibatasi, hendaknya memperhatikan syarat-syarat
pendirian partai politik yag lebih ketat sehingga dapat memunculkan partai
politik yang kuat dan akuntabel.
3. Apabila
ada koalisi, maka harus dituangkan penghaturan yang jelas terakit mekanisme
koalisi, karena selama ini koalisi partai politik tidak konsisten dan cendrung
tidak memperhatikan etika politik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penyederhanaan
jumlah partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam rangka mendukung sistem
pemerintahan presidensial yang efektif, adapun upaya yang dapat dilakukan yakni
melalui penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah melalui electoral threshold,
pengetatan terhadap syarat-syarat pendirian partai politik disamping itu juga
dengan realitas yang ada saat ini perlu adanya pengaturan yang jelas tentang
sistem koalisi.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945,Orasi
Ilmiah dalam Rangka Diesnatalis Universitas Padjajaran Bandung, April 2010,
Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri
Suci Asmawati, Pengaturan Kepartaian dalamMewujudkan Sistem
Pemerintahan Presidensiil yang Efektif,Jurnal Konstitusi, Pusako
UniversitasAndalas,
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner, The Origin and Development of Political
Parties dalam Ramlan Surbakti. Memahami
Ilmu Politik.Grasindo.Jakarta.2007.
Syamsudin Haris, Partai,Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi.Obor Indonesia.
Jakarta.2014
Tim Divaro dan Yugha E. Profil
Partai Politik Peserta Pemilu.Erlangga.Jakarta. 2014
Firmanzah.Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik
di Era Demokrasi. Obor Indonesia. Jakarta. 2008
Idris Taha. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Raja Grafindo. Jakarta 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar