Jumat, 07 April 2017

Gagasan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Antara Tuntutan dan Taktik Politik



GAGASAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
: ANTARA TUNTUTAN DAN TAKTIK POLITIK
Untuk mata kuliah Sistem Politik Indonesia
Dosen Pengampu:
Dr.Rusnaini.M.Si


Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007





PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Partai politik di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam kenyataannya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah kolonial yang berlangsung sampai pendudukan Jepang. Pola kepartaian yang telah terbentuk di zaman kolonial ini kemudian dilanjutkan menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem multi partai di zaman kemerdekaan. Maklumat Pemerintah Nomor X pada tangga 3 November 1945 tentang Anjuran Pemerintah tentang Pembentukan Partai-partai politik, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai di Indonesia
Namun dalam sejarah sistem multi partai ini tidaklah disukai  karena banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa. Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagi bukti perpecahan adalah dalam forum Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat menyelesaikan tugasnya membentuk konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan mendasar tentang dasar negara Islam dan Pancasila yang tidak menemukan titik temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh pemerintah untuk kembali pada UUD 1945 pun tidak menemukan titik temu apakah harus dengan perubahan atau tanpa perubahan.
Sudah cukup sering dikemukakan, institusi partai politik (parpol) adalah salah satu pilar terpenting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilihan umum, eksekutif, legislatif, yudiaktif, dan lembaga pers yang bebas. Begitu pentingnya kedudukan parpol, sering dikatakan pula, tidak ada demokrasi tanpa kehadiran parpol di dalamnya. Walapun demikian perlu segera digaris bawahi, pertama sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila parpol juga bekerja dalam kerangka suatu sistem kepartaian yang mendukung dan memungkinkan demokrasi bekerja. Kedua, tidak semua partai politik bisa memberikan konstribusi positif bagi perkembangan demokrasi. Samuel P Huntington, misalnya, menggarisbawahi bahwa hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalkan yang menjajikan terbangunya demokrasi yang lebih baik. Ketiga, demokrasi tida semata-mata identik dengan jumlah parpol, seolah-olah semakin banyak banyak jumlah parpol maka suatu negara semakin demokratis. Di sejumlah negara demokratis yang telah mapan seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, jumlah parpol yang berkompetisi di tingkat nasional justru semakin berkurang.
Di sisi lain keanekaragaman kultural tidak harus identik dengan keberagaman politik secara ideologi. Ideologi atau pandangan dunia suatu kelompok ataupun partai-partai tentang politik bisa saja merupakan senyawa alamiah dari beragam identitas asal yang bersifat kultural sehingga pluralitas politik cenderung lebih sederhana dibandingkan realitas keberagaman kultural. Karena itu,perdebatan tentang jumlah parpol dan sistem kepartaian sebenarnya tidak sepenuhnya terkait dengan realitas kultural suatu bangsa-negara. dengan kata lain, sistem kepartaian yang fragmentatif belum tentu terpolarisasi pula secara ideologis. Karena itu, diskusi mengenai parpol dan sistem kepartaian dalam hubungannya dengan efektivitas pemerintah tidak semata-mata terkait jumlah parpol, melainkan juga menyangkut polarisasi ideologis di antara parpol dalam sistem kepartaian.
Dalam kaitan tersebut, tulisan ini hendak mengevaluasi, menganalisis, dan menilai realitas parpol dan sistem kepartaian Era Reformasi, dan atas dasar itu mencoba merumuskan arah penataaannya ke depan, sudah tentu dalam konteks sistem demokrasi presidensiil sebagaimana diamantakan dalam konstitusi hasil amandemen. Namun sebelum sampai pada analisis, penilaian dan ususl rekomendasi perubahan, tulisan ini dimulai dengan melihat teori teori yang mendukung tentang demokrasi dan sistem kepartaian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah penyederhanaan partai politik sebuah tuntutan atau taktik politik?
2.      Bagaimana model penyederhanaan partai politik di Indonesia?
3.      Bagaimana format multipartai sederhana yang cocok diterapkan di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Teori
1.      Partai Politik dan Sistem Kepartaian
Menurut Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif karena ada kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontrak dengan masyarakat dan mebina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik lain ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Teori kedua,teori situasi historikyang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan tekonologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentuk berbgai kelompok kepentingan dan organisasi politik yang mampu memadukan dan memperuangkan berbagai aspirasi tersebut, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi
Tipologi sistem partai mudah dipahami dan pertama kali dikemukakan oleh Duverger (1951). Sitem partai terdiri dari sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Pembagian ini cukup banyak mendapat kritik dari para ahli lainnya karena dinilai terlalu sederhana. Beberapa faktor yang tidak daspat dijelaskan oleh duverger antara lain adalah bagaiman internal partai mempengaruhi kompetisi dan kerjasama, ideologi partai, dan kekuataanya.
Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintahan tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis. Bentu partai tunggal otoriter biasanya diterapkan negara-negara berkembang yang menghadapi masalah integrasi nasional dan keterbelakangan ekonomi.
Sistem dua partai bersaing merupakan suatau sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melelaui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas di antara kedua partai, yaitu partai yang memenangkan pemilihan umum menjadi partai pemerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilihan umum berperan sebagai kekuatan oposisi yang loyal.
Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal-usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri.

B.     Penyederhanaan Partai Politik : Tuntutan atau taktik Politik?
Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai demokrasi tentunya perlu belajar dari masa lalu, dimana ada unsur baik sebagai nilai plus, juga adaunsur negative sebagai bagian dari nilai minus. Unsur nilai plus minus tersebut juga perlu disandingkan dengan kepentingan demokrasi lain seperti masyarakat sebagai pemilih, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan pemerintah sebagai fasilitator. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dikembangkan bila masyarakat politik berkehendak untuk menyederhanakan partai politik. Langkah tersebut yaitu :
1.      Masyarakat perlu mendorong elit politik untuk setuju adanya peningkatan Electoral Treshold (ET) dan Parliemantary Treshold (PT).
2.       Masyarakat perlu untuk menguatkan keberadaan partai politik yang  ada , yang memenuhi  peningkatan ET dan PT dimasa depan.
3.      Masyarakat perlu berhati-hati untuk mau diajak dalam rangka pembentukan partai politik baru
4.      Masyarakat pemilih untuk secara aktif dapat mengalihkan pilihan pada partai politik yang memiliki kursi di parlemen secara signifikan dan pro rakyat dan pro pembangunan utamanya pengembangan demokrasi Pancasila.
5.      Kembali kepada makna terdalam demokrsi Pancasila
Langkah strategis peningatan ET dan PT rupanya langkah jitu bila langkah ini disetujui oleh anggota parlemen. Argumentasi pembinaan dan pengembangan nilai demokrasi versi sila keempat perlu sebuah kecermatan tersendiri. Penghargaan Ke-Bhinne ka Tunggal Ika-an ya sangat perlu diperhatikan, namun terlalu banyak partai dan tidak adanya partai dominan dalam parlemen akan menjadi bumerang. Kesulitan dalam pengambilan keputusan, banyaknya tuntutan yang tidak realistis sebagai bagian dari lobby politik dan bargaining position, koalisi yang rawan bubar,mudahnya saling ancam dalam koalisi bila ada perbedaan kepentingan, lemah dan sulitnya realisasi hasil pembahasan dalam praktek lapangan dll
.Penyederhanaan partai politik versi baru perlu dukungan dan sikap optimis sebagai bagian dari solusi untuk :
1.      penguatan partai politik pemenang pemilu ,
2.      penguatan parlemen dimata rakyat
3.      penguatan pemerintah terutama ketika berhadapan dengan partai politik yang mengaku sebagai partai oposisi.
Solusi yang mungkin ditempuh diatas, selanjutnya perlu ditindaklanjuti oleh masyarakat politik. Artinya masyarakat politik untuk kedepannya mau memperkuat posisi partai politik pemilik kursi di parlemen yang signifikan. Pemberian kesempatandan kepercayaan pada partai pemilik kursi di parlemen perlu untuk beberapa periode , sehinggapartai politik tersebut mampu untuk dinilai, dievaluasi dan dikritik, serta selanjutnya silahkan masyarakat untuk tetap bertahan pada pilihannya atau mengalihkan pilihan pada partai politik lain atau mungkin justru membentuk partai baru yang didukung massa yang jelas baik visi, misi dan ideology partai
Perlunya berhati-hati dengan partai politik baru, dengan maksud bahwa kita perlu berhati-hati karena biasanya pembentukan partai politik baru oleh orang-orang partai yang gagal dalam perebutan pimpinan partai dapat dimaknai tidak memilik sikap istiqomah. Begitu gagal dalam meraih dukungan pemilih baru, maka punya potensi untuk membuat partai lagi atau kalah dalam pemilu pindah haluan ke partai politik lainnya. Mudahnya memberi dukungan pada partai lain merupakan cermin tidak istiqomahnya pribadi seseorang.
Terpenting semua itu perlu kembali pada makna dari sila keempat Pancasila yang sudah lama kita tinggalkan terutama pasca digulirkan reformasi politik. Nilai musyawarah, nilai mufakat dan kepemimpinan perwakilan, sepertinya kata-kata yang asing, padahal nilai tersebut sangat mungkinuntuk dikembangkan sebagai ciri utama nilai demokrasi
C.    Sistem Kepartaian : Soal  Jumlah atau Ideologi?
Pembicaraan dan juga pratik tentang sistem kepartaian di Indonesia hampir selalu terjebak pada diskusi mengenai pencarian jumlah partai. Ketika Soekarno akhirnya “mengubur” partai-partai yang berkuasa pada era Demokrasi Parlementer, salah satu upaya pertama yang dilakukannya adalah penyederhanaan partai dari segi jumlah, dari 28 partai, oragniasasi,kelompok, dan perorangan yang memperoleh kursi dalam Pemilu 1955 menjadi sekitar 10 partai. Paratai Masyumi dan PSI yang dianggap turut terlibat dalam pemberontakan daerah serta merintangi jalanya “ revolusi yang belum selesai” disingkirkan dari penggung politik nasional di Era Demokrasi terpimpin, sementara PKI dan partai-partai loyalis lainnya dirangkul.
Penyederhanaan serupa diperkuat dan semakin dipertajam oleh rezim orde baru melalui kebijakan fusi (penggabungan) partai-partai pada tahun 1973, dari 10 partai (termasuk sekber Golkar) kontestan pemilu 1971 hanya menjadi tiga partai politik PPP,PDI, dan Golkar (yang tidak mau disebut partai politik). Setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang, menjelang pemilu 1999 muncul 148 partai (48 di antaranya ikut pemilu) dan menjelang 2004 tercatat 261 partai terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM, meskipun hanya 24 partai saja yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu.
Apabila sistem kepartaian hanya berkaitan dengan soal jumlah partai belaka? Robert A dahl cenderung mengidentifikasikan tipe sistem kepartaian atas dasar tingkat kompetisi dan oposisinya di dalam  serta terhadap struktur politik yang berlaku. Terlepas dari jumlahnya, Dahl mebedakan empat tipe sistem kepartaian yaitu (1) yang bersifat persaingan sepenuhnya, (2) bekerja sama bersifat persaingan, (3) saling bergabung bersifat persaingan dan ,(4) saling bergabung sepenuhnya.
Sementara itu, jean Blondel, Stein Rokan, dan Sartori selain menggunakan variabel jumlah untuk mengidentifikasi sistem kepartaian juga menambahkan variabel-variabel lainnya seperti “ ukuran relatif” dari partai-partai(Blondel,1968), distribusi kekuatan minoritas di dalam partai (Rokkan,1968), dan variabel jarak ideologis antarpartai di dalam sistem kepartaian(Sartori,1976). Berbagai variabel tambahan tersebut menghasilakn varian atau tipe sistem kepartaian yang berbeda dan beraneka ragam sesuai dengan titik tekan , sifat persaingan, kecenderungan ideologis, pola relasi antar partai dan karakter partai-partai yang saling berinteraksi tersebut.
Tipe Sistem Kepartaian
Author
Principal Criteria for Classification
Principal Types of Party System Identified
Duverger (1954)
Numbers of parties
Two party system
Multyparty system
Dahl (1968)
Competitivenes of opposition
Strickly competitive
Cooperative competitive
Coalescent copetitive
Strickly coalesecent
Blondel (1968)
Number of parties
Relatives size of parties
Two party system
Two anda half pary systems
Multiparty system with one dominant party
Multyparty system without dominat party
Rokkan (1968)
Numbers of parties
Likehood of single party majorities
Ditribution of minority pary strenght
“1 vs 1+1” system
“1 vs 3-4” systems
1 vs 1 vs 2-3” systems
Sartori (1976)
Number of paries
Ideologi distance
Two party systems
Moderare pluralism
Polarized pluralism
Predominat party systems


Pertanyaan kemudian, sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tak hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem pemerintahan dan sistem perwakilan serta terbentuknya pemerintahan tyang dapat memerintah (governable) , sehingga cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat bisa terwujud.
Apabila disepakati bahwa semangat sistem pemerinthan yang dikehendaki oleh UUD 1945 hasil amandemen adalah sistem presidensiil, maka semestinya berlaku pula sistem perwakilan bikameral sebagai satu konsekuensi logisnya. Berikutnya adalah bahwa sistem perwakilan bikameral menharuskan berlakunya sistem pluralitas di Indonesia yang sering di sebut sistem distrik. Dalam konteks penyederhanaan sistem kepartaian dalam pengertian sempit yakni dari segi jumlah perubahan sistem pemilu dari proporsionlaitas ke sistem pluralitas merupakan cara alamiah dan demokratis yang berlaku mengurangi jumlah parpol.
Namun tidak berarti pula bahwa model serupa benar-benar tepat bagi kebutuhan dan kondisi objektif bagsa Indonesia. Pilihan terhadap sistem pemilu pluralitas dengan sistem dua apartai sebagai konsekuensi  logis berikutnya, tidak harus dipandang sebagai satu-satunya alternatif dalam rangka membangun demokrasi dan  tata pemerintahan yang stabil, efektif, dan produktif bagi Indonesia. Pengalaman sejumlah negara demokrasi yang mengadopsi sistem campuran yakni antara sistem pluralitas dan sistem proporsionalitas, serta relatif banyaknya perspektif teoritis tentang sistem kepartaian seperti dikutip diatas, barangkali bisa membawa kita pada pilihan yang tidak sekedar hitam putih. Artinya, meskipun koherensin antara sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pemilihan, dan sistem kepartaian merupakan acuan dasar yang penting, pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian bisa saja berbeda atau sedikit menyimpang  dari “keharusan” teoretis.
Faktor sejarah, keterbelahan kultural, perpecahan politik, disparitas demografis, dan sensitifitas isu mayoritas minoritas, adalah variabel-variabel penting lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian. Begitu pula keterbelakangan sosial-ekonomi, tidak adanya tradisi konsensus dan belum terbangunnya kultur liberal adalah variabel-variabel yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian. Kegagalan sistem presidensiil di sejumlah negara amerika latin, antara lain disebabkan terabaikannya berbgai faktor objektif yang bersifat lokal tersebut.
Melihat partai politik peserta pemilu 2014 setidaknya kita dapat menggolongkan partai politik ini menjadi beberapa kelompok.
Daftar Peserta Pemilu 2014
Partai politik
Ideologi
Perolehan suara
Partai Nasional Demokrat
Nasionalis
6,72%
Partai Kebangkitan Bangsa
Agama
9,04%
Partai Keadilan Sejahtera
Agama
6,79%
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Marhaenis
18,95%
Partai Golongan Karya
Nasionalis
14,75%
Partai Gerakan Indonesia Raya
Nasionalis
11,81%
Partai Demokrat
Konservatif
10,19%
Partai Amanat Nasional
Agama
7,59%
Partai Persatuan Pembanguan
Agama
6,53%
Partai Hati Nurani Rakyat
Nasionalis
5,26%
Partai Bulan Bintang*
Agama
1,46%
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia*
Nasionalis.
0,91%
Jika dilihat dari ideologi partai setidaknya ada empat partai yang mempunyai jumlah suara besar
1.      Nasionalis
Setidaknya ada lima partai nasionalis dengan jumlah total suara 39,45%. Jika partai nasionalis ini bergabung maka cukup mampu untuk mencalonkan Presiden secara mandiri karena melebihi ambang batas minimal 20%. Banyak tumbuhnya partai politik nasionalis di Indonesia  berawal dari satu partai utama yakni partai golkar yang menjadi partai penguasa di Indonesia selama 32 tahun. Kemunculan berbagai partai politik berideologi nasionalis dikarenakan para kader yang mendirikan partai merasa “keinginan” politik mereka di tubuh partai tersebut tidak tercapai sehingga, Prabowo mendirikan Gerindra, wiranto mendirikan Hanura, Surya Paloh mendirikan Nasdem. Sebenarnya partai berideologi nasionalis ini bisa menjadi pemenang setiap Pemilu dikarenakan suara yang masuk berasal dari berbagai kalangan tanpa adanya isu SARA. Sehingga partai berideologi nasionalis ini mungkin bisa menjadi partai yang besar
2.      Agama
Ada lima partai yang berideologi agama khususnya ideologi islam dengan total suara 31,41%. Banyaknya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama islam membuat partai berideologi islam seperti diatas angin. Namun hal tersebut justru terbalik dengan realita yang ada, partai berideolgi silam kini mulai ditinggalkan oleh pemilih dikarenan ideologi “islam” yang selama ini dijunjung tak lagi kuat. Ditambah lagi dengan kasus Suryadarma Ali ketua PPP dan Lutfi Hasan I presiden PKS terjerat kasus korupsi semakin membuat masyarakat berfikir dua kali untuk memilih partai berideologi islam.
3.      Marhaenisme
Sebenarnya hanya ada 1 partai yakni PDI P. PDI P lahir dari “pemberontakan” terhadap orde baru. Partai yang mengusung ideologi”partai  wong cilik” ini selalu terseok-seok untuk mendapatkan kursi kepemimpinan. Diawali dengan kemenangan PDIP pada pemilu 1999 yang tidak mengantarkan megawati menjadi presiden. Hanya pada tahun 2000 megawati naik menjadi presiden akibat presiden abdurrahman wahid di makzulkan oleh MPR.  Setelah itu menjadi oposisi selam 10 tahun , dan baru 2014 menjadi partai pemimpin. Sebenarnya dengan mengusung ideologi “partai wong cilik” menyasar pemilih dari golongan kelas bawah di masyarakata yang begitu banyak yang mana notabene negara kita negara berkembang sehingga dengan mengusung ideologi marhaenis seharusnya juga diikuti dengan langkah-langkah yang mendukung kebijakan tentang “wong cilik”
4.      Konsevatif
Ada satu partai yang berideologi konservatif yakni partai Demokrat. Partai Demokrat didirikan sebagai “kendaraan politik” SBY yang mencalonkan dirinya sebagai Presiden. Kemunculan Demokrat dengan SBY ini menjadi angin segar bagi masyarakat dengan hadirnya wajah baru yang menjadi pemimpin negeri ini. Kiprah Demokrat cukup baik dengan mengikuti pemilu pertama sebagai 5 besar dan pemilu berikutnya 2009 menjadi partai pemenang pemilu membuat Demokrat dan SBY menjadi penguasa selama 1 dekade. Namun,dengan maraknya kader parati yang terjerat kasus korupsi membuat partai ini semakin menurun pemilih yang mana hal tersebut dibuktikan pada pemilu tahun 2014 hanya 10,19% atau turun hampir setengah dari jumlah suara dari pemilu lalu.
Di dalam konteks Indonesia, model sistem multi partai sederhana baik multipartai dengan dua partai dominan maupun multipartai terbatas katakanlah 3-5 partai politik barangkali bisa menjadi salah satu alternatif jika diasumsikan bahwa pilihan terhadap sistem pemilu pun kelak akan bergerak dari sistem proporsionlitas terbuka untuk jangka pendek, dan gabungan sistem pluralitas dan proporsionalitas untuk jangka panjang dan menengah. Namun untuk sampai kepada sistem multipartai yang sederhana yang benar-benar pas bagi demokrasi presidensial Indonesia jelas tetap diperlukan reformasi institusional yang bersifat mendasar atas partai-partai politik, sehingga watak dan karakternya pun secara berangsur-angsur dapat didorong untuk berubah.
D.    Mencari Format Multipartai Sederhana
 Semangat yang dikandung oleh undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dengan sistem electoral threshold adalah dengan maksud menyederhanakan partai politik dengan cara yang alamiah. Kalaulah electoral threshold ditiadakan, sehingga semua partai dapat mengikuti Pemilu kenapa kok hanya parpol yang memiliki kursi di DPR saja yang diberi kesempatan? Apakah bukan demi transaksi dan pertukaran kepentingan di antara para politisi dan partai itu sendiri.
Menurut Bagir Manan untuk mendukung sistem pemerintahan presidenial yang efektif ada beberapa hal yang harus dilakukan;  Pertama, Perlu pembaharuan sistem kedpartaian kita dari sistem multi partai dari sistem multi partai menjadi dua partai yang akan memungkinkan ada partai yang memiliki kursi atau anggota mayoritas mutlak di parlemen. Sehingga presiden dan wapres terpilih cukup didukung satu partai mayoritas, sehingga tidak perlu koalisi untuk berbagi kekuasaan yang menyebabkan presiden selalu tersandera oleh kekuatan politik di parlemen. Presiden terpilih, memiliki kebebasan untuk memilih menteri-menteri yang semata-mata berdasarkan kompetensi pribadi (zaken cabinet) bukan didasarkan pada suatu bangun koalisi yang rapuh yang kadang kala dapat menyebabkan mush dalam selimut seperti yang terjadai saat ini, di satu sisi menyatakan bagian dari pemerintah berkuasa tetapi untuk case-casetertentu “lompat pagar” dari barisan pemerintah seperti yang terjadi dalam kasus angket century.
Kedua, pemangkasan hak-hak DPR, semua hak DPR yang berbau parlementer harus ditiadakan untuk menjamin stabilitas pemerintahan dari ancaman parlemen. Pengawasan DPR hanya dilakukan melalui undang-undang dan APBN, kecuali terhadap keadaan atau peristiwa yang benar-benar menyangkut dasar-dasar bernegara, keamanan nasional, kepentingan publik, dan kewajiban internasional. DPR tidak perlu mengawasi pekerjaan sehari-hari pemerintah atau peristiwa-peristiwa yang berada dalam lingkungan kerja pemerintah, apalagi terhadap kekuasaan penegak hukum, khususnya pengadilan.
Ketiga, Pembaharuan sistem pemilihan umum. Untuk menuju sistem kepartaian yang sederhana (dua partai), harus diadakan perubahan sistem pemilihan umum menjadi sistem distrik, dengan demikian, akan terjadi proses penyatuan kekuatan politik (centrifetel), memudahkan rakyat menentukan pilihan, dan akan mengurangi atau meniadakan berbagai bentuk jual beli politik.
Menurut Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati perlu adanya pemikiran untuk membuat aturan tentang sistem multi partai secara tegas dengan memperhatikan beberapa poin alternatif antara lain:
1.      Pengaturan sistem kepartaian yang tegas, dalam arti pengaturan yang menjelaskan sistem kepartaian yang dianut dengan jumlah partai politik tertentu.
2.      Kalaupun jumlah partai politik tidak dibatasi, hendaknya memperhatikan syarat-syarat pendirian partai politik yag lebih ketat sehingga dapat memunculkan partai politik yang kuat dan akuntabel.
3.      Apabila ada koalisi, maka harus dituangkan penghaturan yang jelas terakit mekanisme koalisi, karena selama ini koalisi partai politik tidak konsisten dan cendrung tidak memperhatikan etika politik.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam rangka mendukung sistem pemerintahan presidensial yang efektif, adapun upaya yang dapat dilakukan yakni melalui penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah melalui electoral threshold, pengetatan terhadap syarat-syarat pendirian partai politik disamping itu juga dengan realitas yang ada saat ini perlu adanya pengaturan yang jelas tentang sistem koalisi.















DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945,Orasi Ilmiah dalam Rangka Diesnatalis Universitas Padjajaran Bandung, April 2010,
Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati,  Pengaturan Kepartaian dalamMewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil yang Efektif,Jurnal Konstitusi, Pusako UniversitasAndalas,
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner, The Origin and Development of Political Parties dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik.Grasindo.Jakarta.2007.
Syamsudin Haris, Partai,Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi.Obor Indonesia. Jakarta.2014
Tim Divaro dan Yugha E. Profil  Partai Politik Peserta Pemilu.Erlangga.Jakarta. 2014
Firmanzah.Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Obor Indonesia. Jakarta. 2008
Idris Taha. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Raja Grafindo. Jakarta 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar