PENDEKATAN FALSAFAH SAINS AL-QUR’AN
DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN KEBANGSAAN: FALSAFAH
MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
Untuk mata kuliah Hukum Islam
Dosen Pengampu:
Dra.Ch Baroroh.M.Si
Disusun oleh:
Nama : Anggi
Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara
yang berkembang seperti Indonesia masih dibelenggu dengan fenomena permasalahan
pendidikan. Usaha yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Indonesia dalam
sistem pendidikan telah membawa pada tranformasi yang besar dalam kurikulum
pendidikan kebangsaan. Melakukan beberapa perubahan pada sistem pendidikan
perlu dilakukan bagi merealisasikan hasrat dan tujuan selaras dengan Falsafah
Pendidikan Negara. Faktor ini berdasarkan pada pembentukan masyarakat masa
depan akan lahir dari generasi yang terlatih dengan bentuk pendidikan masa kini.
Kurikulum sekolah juga memerlukan pendekatan Sains al-Qur’an untuk melahirkan
siswa yang dapat mengimbangi antara duniawi dan ukhrawi. Hal ini amat penting
karena dalam kurikulum pendidikan kebangsaan ada menekankan pada aspek insan
yang seimbang dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi, dan jasmani
berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Selain itu, pengaplikasian
sains al-Qur’an dalam kurikulum menunjukkan bahwa sains dan al-Qur’an tidak
boleh dipisahkan.Fokus kajian ini merujuk kepada falsafah sains al-Qur’an agar
sains al-Qur’an dapatditerapkan dalam kurikulum pendidikan kebangsaan
Pendidikan
adalah suatu usaha yang akan merealisasikan pembentukan masyarakat yang bertamadun. Sistem pendidikan yang
berdasarkan pada sains al-Qur ’an dapat membentuk masyarakat yang baik. Sistem
yang dimaksudkan ini menggunakan pendekatan pendidikan sains al- Qur ’an yang
menggabungkan sains sosial, sains natural dengan sains ketuhanan dalam
kurikulum. Oleh karena itu, ketiga bagian ini perlu disatukan dalam kurikulum,
baik pada pendidikan dasar,menengah, dan pendidikan tinggi dalam usaha
memantapkan masyarakat yang akan memartabatkan ilmu tamadun (hadharah) berdasarkan Islam. Dengan demikian, penghayatan
sains al-Qur’an akan melahirkan generasi ulul
albab atau generasi Islam yang membangun dari pelbagai aspek keilmuan.
Usaha
ini juga untuk mendukung arus kebangkitan islamisasi ilmu (Islamization of khowledge) di kalangan sarjana Islam diseluruh
dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, ilmu harus digarap kembali dengan
prinsip pemikiran falsafah sains al-Qur
’an dalamkurikulum pendidikan kebangsaan sebaga ikesinambungan ke arah
mewujudkan masyarakat bertamadun yang memahami,menghayati, dan membangun ilmu
secara menyeluruh dan terintegrasi. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas
mengenai bagaimana pendekatan falsafah sains al-quran dalam kurikulum
pendidikan kebangsaan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep dan definisi pendidikan di dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana
bentuk Pendidikan Falsafah Sains Modern dan Sains al-Qur’an?
3. Bagaimana
hakekat falsafah manusia di dalam Al-Quran?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
konsep dan definisi pendidikan di dalam Al-Qur’an
2. Mengetahui
bentuk pendidikan falsafah sains modern dan sains al-qur’an
3. Mengetahui
hakekat falsafah manusia di dalam Al-Qur’an
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
dan Konsep Pendidikan
Dalam
bahasa Inggris, pendidikan disebut sebagai education
yang berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Latin, yaitu e’ex dan ducereduc yang berarti ‘memimpin’. Dari definis itersebut dapat
diinterprestasikan sebagai mengumpul informasi ke dalam diri untuk membentuk
bakat.
Dalam
bahasa Arab terdapat beberapa katayang merujuk kepada makna pendidikan.
Katayang selalu digunakan antara lain ialah:
a. Tarbiyyah,berasal
dari kata dasar ‘rabba’(mengasuh,
memelihara atau memimpin). Iajuga merujuk kepada proses perkembangan potensi
individu, mengasuh atau mendidik untuk menuju pada satu keadaan yang nyaman dan
matang.
b. Ta’lim,
berasal dari kata‘alima(mengetahui,memberitahu,
melihat). Ia merujuk kepada proses menyampaikan atau menerima ilmu pengetahuan
yang diperoleh melalui latihan,bimbingan atau yang lain berbentuk pengajaran.
c. Ta’dib,berasal
dari kata aduba(mengetahui,berdisiplin,
dan berbudaya). Ia merujuk kepada proses pembinaan watak dan pengajaran hal-hal
mendasar untuk hidup bermasyarakat, termasuk memahami dan menerima prinsip yang
paling mendasar sekali, yaitu keadilan.
Secara
umum, ketiga istilah di atas bermakna pendidikan. Tetapi jika diteliti secara mendalam ternyata ketiga istilah memiliki
makna yang berbeda. Menurut al-Attas, antara ketiga istilah tersebut, istilah ta’dib lebih tepat karena mempunyai
makna yang lebih spesifik untuk menggambarkan proses pendidikan manusia dibandingkan dengan istilah tarbiyyah yang mempunyai maksud yang
lebih luas. Beliau memperkuat alasannya dengan mengambil contoh Rasulullah SAW
yang telah menggunakan perkataan ta’dibuntuk merujuk tentang pendidikan yang
diberikan oleh Allah SWT kepada baginda.
Banyak
definisi tentang konsep pendidikan yang telah dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Omar Hashim, pendidikan adalah pemindahan suatu keahlian atau
pengetahuan dari seorang guru kepada para muridnya. Selain itu, Hamid Reza
Alavi menjelaskan pendidikan adalah satu proses pembelajaran yang bertujuan untuk
melengkapkan manusia dengan pengetahuan dan keahlian yang membuatkan mereka
dapat hidup lebih baik.
Tokoh
falsafah Yunani juga tidak ketinggalan membicarakan pendidikan. Menurut
Aristoteles, pendidikan ialah pemupukan tabiat yang terbaik dan perlu dihayati
oleh seseorang supaya mereka melakukan dengan baik. Tambahnya lagi, tabiat yang
paling baik ialah penggunaan akal untuk berpikir. Dengan demikian, pendidikan
merupakan satu usahauntuk merealisasikan semaksimal mungkin segala potensi
kebaikan yang dimiliki manusia.
Dalam
konteks Islam, pendidikan merupakan satu pelajaran atau pendidikan,
baikberkaitan dengan aspek kognitif, fisik, maupun rohani untuk melahirkan
insan yang berperikemanusiaan. Definisi falsafah ini bertujuan untuk
pembentukan individu sehingga menjadi seorang manusia yang benar-benar sempurna
dari segi akhlak dan rohani.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan satu proses
dan usaha untuk menghasilkan sesuatu, mengubah pandangan atau cara berpikir
yang seterusnya membawa kepada paradigma tingkah laku seseorang. Pendidikan
merupakan proses yang berlangsung secara berkesinambungan karena tidak hanya
didapat di ruang kelas saja, melainkan juga didapat dari pengalaman,
pengamatan, dan ilham. Dalam konteks Islam, sumber yang paling dasar untuk
pendidikan diperoleh dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
B.
Pendidikan
Falsafah Sains Modern dan Sains al-Qur’an
1.
Pendidikan
Falsafah Sains Modern:
Ahli
sains Barat mendefinisikan sains sebagai kaedah untuk mencapai kebenaran mutlak
melalui penyelidikan empiris dengan data yang dikumpulkan melalui pancaindera.
Dengan kata lain, proses sains modern merupakan upaya mencari kebenaran melalui
jalan rasional. Sains modern juga disebut sebagai suatu disiplin yang menilai
sesuatu tinjauan dan informasi secara objektif, bukan secara subjektif seperti
gerak hati atau emosi (intuisi).
Sains
modern yang dipelajari oleh Barat berasal dari tamadun Islam. Dalam tamadun
Islam, sains tidak terpisah dari agama karena mereka memahami falsafah sains
dengan prinsip pemikiran al-Qur’an. Namun, paham rasionalisme yang menolak
agama telah melahirkan sekularismedalam sains, yaitu memisahkan sains dari
agama. Ini bertentangan dengan paham Islam yang menyepadukan rasional dengan
agama.
Pendidikan
Falsafah Sains al-Qur’an:Setiap bidang ilmu dalam Islam saling melengkapi
antara satu sama lain yang merujuk kepada konsep tauhid. Melalui al-Qur’an yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW, Allah SWT telah mengajarkan manusia tentang
peraturan untuk hidup secara individu dan bermasyarakat.Di samping panca
indera, manusia juga dikaruniaiakal pikiran yang dapat menafsirkan danmemahami
sesuatu yang di luar pancaindera.
Para
ahli falsafah Islam umumnya membagi ilmu kepada dua kelompok, yaitu ilmu naqli yang
berdasarkan kepada wahyu, dan ilmu‘aqli berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu
naqliialah ilmu yang diberikan kepada para Rasul untuk disampaikan kepada umat
mereka. Ilmu ini mengandung petunjuk untuk manusia menuju kejalan Allah SWT.
Sedangkan ilmu pengetahuan ialah ilmu tentang diri manusia dan alam. Ilmupengetahuan
diperoleh manusia melaluipengalaman hidup secara jasmani, penyelidikan,dan
pengkajian.
Ilmu
wahyu diwajibkan kepada setiap orang Islam untuk mempelajarinya dan digunakan sebagai
pedoman dalam kehidupan. Sains berdasarkan wahyu, yaitu sains al-Qur’an menjadi
tujuan penyelidikan ke arah keputusan yang menunjukkan tanda keesaan Allah SWT
sebagai pencipta. Firman Allah SWT dalam surah Âli‘Imrân (3), ayat 190:
Yang
bermaksud,“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit danbumi, dan silih bergantinya malam dan siangterdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal”.
Tujuan
pendidikan Islam ialah memupuk keimanan terhadap kebenaran dan kebesaran Allah
SWT. Jadi, semua fakta dan penemuan ahli sains Islam ditafsirkan mengikut
ketentuan ilmu al-Qur’an. Sedangkan sains dan teknologi yang berlandaskan paham
materialisme bertujuan hanya untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan hidup
manusia. Pandangan ini meletakkan sains dan teknologi berperan sebagai pengubah
lingkungan alam menjadi produkkebudayaan bendawi sehingga manusia menjadinyaman
dan maju melalui kenyamananlingkungannya. Ini bertentangan dengan konsepal-Qur’an
yang melihat faktor utama perubahansosial ialah manusia itu sendiri dan bukan
sajalingkungannya. Firman Allah SWT dalam surah
al-Ra’d
(13), ayat 11:
Yang
bermaksud,“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yangselalu mengikutinya bergiliran, di muka dandi belakangnya,
mereka menjaganya atasperintah Allah. Sesungguhnya Allah tidakmerobah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada dirimereka sendiri. dan
apabila Allah menghendakikeburukan terhadap sesuatu kaum, Maka takada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”
2.
Integrasi
Sains al-Qur’an dengan Sains Modern
Sejarah
membuktikan implikasi dari mengesampingkan prinsip pemikiran sains al-Qur’an
pada zaman pertengahan menyebabkan tamadun tersebut menjadi merosot. Pada masa
itu umat Islam telah mengabaikan aplikasi prinsip al-Qur’an dalam pengajaran
dan pembelajaran sains natural serta sains sosial. Perkembangan pemahaman Islam
yang tidak komprehensif ini telah memberi dampak negatif terhadap tamadun Islam
pada zaman pertengahan. Umat Islam juga tidak memberi perhatian untuk
mengintegrasikan sains ketuhanan dengan sains natural dan sains sosial.
Konsep
pendidikan yang memisahkanilmu dengan agama menyebabkan aplikasi sains natural
dan sains sosial tidak mendapat perhatian oleh sains ketuhanan. Barat telah
mengambil dan mengimbangi teori sains berdasarkan prinsip al-Qur’an yang telah
dibangun oleh ahli sains Islam untuk membentuk tamadun Barat. Zaman kegemilangan
tamadun al-Qur’an ditiru oleh Barat hanya dari segi keduniaan yang bersifat materialistik
dengan meninggalkan urusan akhirat. Sedangkan orang Islam tidak memberi
perhatian terhadap al-Qur’an serta mempunyai pemahaman Islam yang sempit, yaitu
hanya berkaitan soal ibadah khusus saja, dan mengabaikan kewajiban ibadah umum
terutama dalam bidang sains. Akibatnya, umat Islam mengalami zaman kemunduran
tamadun al-Qur’an.
Pada
dasarnya, falsafah sains al-Qur’andalam kurikulum mempunyai keterkaitan antaratiga
kategori utama ilmu yaitu; ilmu ketuhanan,ilmu sosial, dan ilmu natural yang
berdasarkanprinsip al-Qur ’an. Namun, ilmu ketuhananmenjadi landasan kebebasan
berpikir untukpembangunan ilmu sosial dan ilmu natural untukmemastikan manusia
mengikuti peraturan yangditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian,pencapaian
sains dalam kurikulum dapatmendekatkan diri manusia dengan pencipta-Nya.
3.
Contoh
Ayat al-Qur’an Berkaitan Integrasi Sains Ketuhanan, Sosial, dan Natural dalam Pendidikan
Terdapat
beberapa ayat al-Qur’an yangmenunjukkan keterkaitan antara sains ketuhanan,sains
sosial, dan sains natural. Firman Allah SWT:
1. Surah
al-Saba’ (34) ayat 10-11:
“Dan Sesungguhnya telah Kami berikankepada
Daud kurnia dari kami. (kamiberfirman): “Hai gunung-gunung danburung-burung,
bertasbihlah berulang-ulangbersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi
untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya;
dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu
kerjakan”.
Ayat
ini menerangkan kajian sumber daya alam, yaitu besi (sains natural) dapat
diproses dengan ilmu dan teknologi menjadi bahan untuk membuat peralatan yang dimanfaatkan
oleh manusia (sains sosial). Allah SWT juga menyeru manusia agar mengerjakan
amal soleh dan memberi peringatan bahwa Allah SWT melihat segala perbuatan
manusia (sains ketuhanan).Keterkaitan ketiga unsur ini dapat dilihat melaluiperingatan
Allah SWT kepada manusia supayamemastikan karunia-Nya dimanfaatkan sesuai
peraturan yang telah ditentukan oleh hukum-Nya,baik secara individu maupun
masyarakat.
2. Surah
al-A’raf (7) ayat 85:
“Dan (kami telah mengutus) kepadapenduduk
Madyan saudara mereka, Syu’aib.ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah
Allah,sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Makasempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusiabarang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman”.
Ayat
ini menunjukkan keimanan (sainsketuhanan) yang dapat memelihara seseorang
darisifat tidak jujur, seperti menipu dengan mengurangi takaran dan timbangan
(sains sosial). Oleh karena itu, orang yang beriman menyadari bahwa menipu
dalam perdagangan adalah memakan harta dengan cara yang salah akan menyebabkan
dia termasuk golongan yang rugi.
3. Surah
al-Nahl (16), ayat 11-12:
“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaumyang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yangdemikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya)”.
Ayat
ini menerangkan tentang kekuasaan Allah SWT menurunkan hujan dan menyuburkan
tanah yang dapat menghidupkan tanaman (sains natural). Dijelaskan juga jenis
buah-buahan yang dapat dinikmati oleh manusia (sains sosial). Selain itu, Allah
SWT juga menegaskan bahwa semua ini menunjukkan kebesaran Allah bagi manusia
untuk berpikir, yaitu merenung dan memperhatikan (sains ketuhanan) agar manusia
melakukan penelitian dan dapat memahami hukum alam sebagai tanda kekuasaan
Allah SWT.
C.
Hakekat
Manusia dalam al-Qur'an
Bila diperhatikan ungkapan
yang dipergunakan al-Qur’an
untuk menunjukkan konsep manusia,
maka dapat dibedakan dalam tiga macam:
1.
al-Insan,
al-Ins, Unas, al-Nas, Anasiy dan Insiy yang semuanya berakar dari huruf hamzah, nun
dan sin. Akan tetapi, kata insan, asal katanya diperselisihkan, sebagian
ahli bahasa berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata nasiya-yansa
berarti lupa. Hal ini berdasar pada pendapat Ibnu Abbas bahwa; manusia
dikatakan insan karena manusia melupakan janjinya kepada
Tuhan. Pendapat kedua mengatakan asal kata tersebut adalah insiyan yang berasal dari kata nasa yanusu
yang bermakna berguncang. Pendapat ketiga adalah kata insan
berakar pada ins yang berarti (keadaan) tampaknya sesuatu dan
jinak.
Makna
ini relevan dengan makna kejiwaan seperti keramahan, kesenangan dan pengetahuan.
Hal ini terlihat dari kata kerja yang terbentuk
anisa, ya’nisu, anusa ya’nusu,
anasa ya’nisu berarti ramah, suka,
kata anasa, yu’nisu
menjadi jinak, merasa sesuatu, melihat, mendengar Bentuk terakhir dengan
arti melihat digunakan dalam al-Qur’an.
Melihat
bentuknya, maka kata insan dapat dikatakan mengandung konsep manusia
sebagai makhluk yang memiliki keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat
tinggi atau sebagai makhluk sosial dan kultural.Konsep manusia sebagai makhluk
sosial dapat dilihat dalam QS. Al-Hujarat (49): 13.
Sedang
konsep manusia sebagai makhluk kultural terlihat dalam pernyataan al-Qur’an
yang melengkapi manusia sarana untuk mendapatkan pengetahuan seperti
pendengaran penglihatan dan fuad walaupun ia dilahirkan dalam keadaan tidak
tahu QS. Al-Nahl (16):78.
2.
Al-Basyar
yang berakar dari huruf ba, syin
dan ra berarti nampaknya sesuatu dengan baik dan
indah.Dari makna ini terbentuk kata kerja
basyara yang berarti bergembira,
menggembirakan dan menguliti. Oleh Ragib al-Asfahaniy memaknai dengan kulit.
Secara
realitas manusia dikatakan basyar karena mempunyai kulit. Akan tetapi, pada
umumnya kata basyar dalam al-Qur’an berarti gembira. Makna ini
tidak bertentangan karena manusia dapat menemukan kegembiraan dan sekaligus
memberikan kegembiraan pada sesamanya.Dengan demikian, kata basyar
merujuk pada aspek realitas manusia sebagai pribadi yang kongkrit dan
utuh, sehingga berbeda dengan kata
insan.
Perbedaan
keduanya terlihat dalam QS. Al-Hijr (15);26-29.
Terjemahnya
:”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk.Dan kami Telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang
sangat panas.Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk.”
Dilain
ayat kata basyar mengisyaratkan manusia
yang sudah dewasa yang bertanggung jawab QS. al-Rum (30):20.
Terjemahnya
:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari
tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
Bertebaran
diartikan berkembang biak akibat hubungan seksual atau bertebaran mencari
reski. Kedua hal ini hanya dilakukan oleh orang yang sudah dewasa dan bertanggung
jawab.Begitu pula ketika Maryam merasa heran dapat mempunyai anak padahal belum
pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa) QS. Ali Imran (3):47.
Terjemahnya
:”Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa
mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang
laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah
Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak
menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah Dia.”
Dengan
demikian, konsep manusia sebagai basyariat al-Insan mencakup makna yang lebih luas yakni
eksistensi manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab disamping dimensi
lainnya.Karena itulah diberikan kepadanya al-Kitab dan kenabian, QS. Ali 'Imran
(3):79.
Terjemahnya:”Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.”
Meskipun
kedua konsep tersebut (manusia sebagai
al-insaniat dan manusia sebagai al-basyariat), berbeda akan tetapi mengantar
kepada filosof, karena sarana
dan prasarana yang
dimiliki serta kemampuan
memanfaatkannya secara
sempurna dan bertanggung
jawab yang kemudian
menghasilkan suatu ilmu.
3. Banu dan zurriyat,
kedua kata ini dikaitkan dengan Nabi Adam. Kata
banu berakar dar
hurup ba, nun
dan ya berarti
sesuatu yang lahir
dariyang lain,dan kata
zurriyat berakar pada
huruf zal dan
ra bermakna kehalusan dan
tersebar.Bila dihubungkan dengan
Nabi Adam, maka
dapatmemberi kesan kesejarahan
manusia yang mempunyai
satu asal. Banu
Adam memberi dasar kesedarahan
bagi seluruh umat
manusia, sedang zurriyahAdam
mengandung konsep keragaman
umat manusia yang
tersebar dalamberbagai warna
dan bangsa. Dari sini dapat dipahami adanya konsep persamaan
dan kesatuan manusia.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa hakekat manusia dalam al-Qur’an
adalah keturunan adam yang memiliki dimensi sosial dan kutural serta
bertanggung jawab
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Masyarakat
hari ini kian meminggirkan unsur keagamaan dan kerohanian, malah digantikan dengan
unsur material dalam kehidupan mereka. Untuk mewujudkan masyarakat yang
berlandaskan Islam kita memerlukan satu
langkah drastis dalamkehidupan sehari-hari. Langkah ini perlu diikuti dengan
tindakan yang positif dan memberi dampak. Salah satu pendekatan yang dapat
diambil adalah dengan cara memartabatkan pendidikan falsafah sains al-Qur’an
dalam sistem pendidikan negara. Kesadaran dan kesungguhan dari berbagai pihak,
terutama umat Islam untukmerealisasikan konsep ini amat diharapkankhususnya
dalam bidang pendidikan formalsekarang. Perkembangan sistem pendidikan perlu menuju
ke arah konsep ini agar terbentuk generasi Islam yang membangun dari berbagai
bidang yang ditekuni dan tidak memisahkan semua bentuk ilmu dangan al-Qur ’an. Melalui reformasi
kurikulum ini, mereka akan dibentuk berlandaskan falsafah sains al-Qur’an agar terbentuk
generasi yang bertamadun
Pendidikan falsafah sains al-Qur’an dapa tmembentuk
sistem pendidikan yang terintegrasi karena kesepaduan antara sains ketuhanan,
sains sosial, dan sains natural. Oleh karena itu, sains ketuhanan menjadi
landasan dalam pembentukan kemajuan dan tamadun yang dicapai oleh sains sosial dan sains natural. Kesadaran umat
Islam seluruh dunia untuk merealisasikan konsep ini amat diharapkan khususnya
dalam menghadapi era globalisasi. Dengan kesungguhan umat Islam,cita-cita untuk
melihat keserasian prinsip pendidikan falsafah sains Islam dalam ilmu sains dan
teknologi akan dapat direalisasikan sepenuhnya satu masa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Muhammad Basmeih. Tafsir Pimpinanal-Rahman kepada Pengertian Al-Qur’an.Kuala
Lumpur: Bahagian Hal EhwalIslam, Jabatan Perdana Menteri, 1996.
Abu
Hassan Ali. Ensiklopedia Pendidikan Sainsdalam al-Qur’an. Jld 1. Kuala Lumpur:Emedia
Publication, 2005.
Ahmad,
Kurshid. Prinsip-prinsip PendidikanIslam. Kuala Lumpur: ABIM., 1975.
Al-Ahwaniy,
Ahmad Fuad, al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Qalam, 1962.
Ali,
Yunasril, Manusia Citra Ilahy Jakarta: Paramadina, 1997.
Amin,
Ahmad, al-Akhlak, diterjemahkan oleh Farid
Ma’ruf dengan judul Etika (Ilmu Akhlak),
Jakarta: Bulan Bintang, 1983.