Kamis, 20 Oktober 2016

Pernikahan di Bali di Pandang dalam Stratifikasi Sosial

Perbedaan status sosial memang eksis pada semua bangsa, tetapi dimanapun di dunia  tidak ada pertingkatan kasta yang begitu kakunya, seperti yang berlaku di Bali, terutama pada masa kerajaan absolut yang berlangsung berabad-abad di Bali.  Keunikan Bisa dilihat lewat bagaimana orang Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir bathin.Orang Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal dari mana dirinya berasal. Hal inilah yang kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan kasta atau wangsa. Tatanan masyarakat berdasarkan wangsa ini begitu kuatmenyelimuti aktivitas kehidupan orang Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali. Ada  yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta. Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali terdiri dari empat bagian yaitu : Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu,akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati.
Begitu unik dan menarik memahami kehidupan orang Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka.Sebutan orang berkasta untuk wangsa tertentu dapat melambangkan harga diri mereka, karena dengan sebutan itu mereka mendapat perlakuan istimewa dan kehormatan yang berlebih-lebihan, di samping merasa dibedakan dengan kelompok masyarakat lain, yang terlanjur dianggap lebih rendah. Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat  dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Sebenarnya Hindu tidak mengenal kasta, yang dikenal adalah warna (berdasarkan profesi) atau wangsa (berdasarkan keturunan). Dalam sistem sosial-budaya Bali, yang kita kenal adalah wangsa, yakni silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan. Baik menurut hukum agama maupun hukum negara, tidak ada hukuman atau ganjaran bagi orang yang menikah beda kasta/wangsa. Sistem sosial dan budaya Bali menganut sistem Patrilineal. Dalam sistem patrilineal, maka hukum adat yang berlaku adalah mengikuti garis keturunan, wangsa, dan waris suami. Mungkin yang kita tahu bahwa seorang laki-laki dengan  kasta bawah yang menikah dengan wanita kasta atas tidak bisa ikut kasta wanita tersebut, sedangkan jika wanita kasta bawah menikah dengan laki-laki kasta atas maka si wanita itu bisa ikut kasta laki-laki tersebut.
Ternyata secara agama tidak dijelaskan akibat dari seorang yang menikah beda kasta. Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah si wanita harus mengikuti silsilah keluarga suami, karena si wanita sudah masuk ke dalam silsilah keluarga sang suami. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wan gsa yang lain.
Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Perkawinan beda kasta sudah ada sejak dulu dan beberapa keluarga yang dulunya berasal dari wangsa yang  berbeda, sekarang juga bisa hidup rukun dan membina keluarga dengan baik. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah komunikasi yang baik antara dua keluarga dari calon \mempelai. Seandainya, sudah ada kesepakatan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah
ada beberapa hal yang menjadi latar belakang terjadinya perkawinan beda kasta. Misalnya pengaruh zaman yang semakin modern yang membuat generasi muda saat ini cenderung acuh dan menganggap tradisi adalah hal yang kuno yang sudah tidak relevan untuk ditetapkan di zaman sekarang. Berdasarkan analisis tersebut tampaknya membenarkan pendapat dari Kartini Kartono (2006,59) yang menyatakan bahwa baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat akan memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak. Dari pengaruh lingkungan inilah seseorang yang tidak bisa memfilter pengaruh tersebut akan cepat terjerumus terhadap hal- hal yang negative yang tentunya akan merugikan dirinya sendiri. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan ekonomi dapat memicu terjadinya perkawinan beda kasta. Dimana jaman seperti sekarang ini tidak ada satu orang pun yang mau hidup susah, semua ingin hidup dengan berkecukupan sehingga terkadang ada orang yang rela melepaskan kastanya hanya demi meraih materi
Selain kendala-kendala dalam perkawinan beda kasta tersebut, adapun solusi untuk mengatasi kendala-kendala dalam perkawinan beda kasta, ialah menarik simpatik orang tua dengan cara meyakinkan kedua orang tua bahwa calon pendamping hidup yang dipilih oleh anaknya itu tepat dan dapat membuat dirinya bahagia, karena yang akan menjalani rumah tangga adalah dirinya dan pasangannya kelak. Jika menarik  simpatik kedua orang tua tidak berhasil, maka cara yang akan ditempuh adalah melakukan kawin lari/ngerorod. Dimana kawin lari ini biasanya disebabkan karena orang tua dari salah satu pihak tidak merestui hubungan anak-anaknya. Kondisi ini tidak hanya dikarenakan perbedaan kasta tetapi juga disebabkan latar belakang keluarga calon dan kehidupan social. Dengan melakukan kawin lari ini, pihak keluarga yang tidak setuju mau tidak mau harus setuju dengan keputusan yang diambil anaknya tersebut dan menerima keputusan anaknya itu dengan lapang dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar