Perbedaan
status sosial memang eksis pada semua bangsa, tetapi dimanapun di dunia tidak ada pertingkatan kasta yang begitu
kakunya, seperti yang berlaku di Bali, terutama pada masa kerajaan absolut yang
berlangsung berabad-abad di Bali.
Keunikan Bisa dilihat lewat bagaimana orang Bali melakukan pembinaan
kekerabatan secara lahir bathin.Orang Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan
asal muasal dari mana dirinya berasal. Hal inilah yang kemudian melahirkan
berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan kasta atau wangsa.
Tatanan masyarakat berdasarkan wangsa ini begitu kuatmenyelimuti aktivitas
kehidupan orang Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah
yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai
prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali.
Ada yang masih begitu fanatik dengan
kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah
kasta. Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali terdiri dari empat bagian yaitu :
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun
yang berbeda. Meski begitu,akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang
disebut Hyang Pasupati.
Begitu
unik dan menarik memahami kehidupan orang Bali dalam kaitan mempertahankan
garis leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan
untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka.Sebutan orang berkasta untuk
wangsa tertentu dapat melambangkan harga diri mereka, karena dengan sebutan itu
mereka mendapat perlakuan istimewa dan kehormatan yang berlebih-lebihan, di
samping merasa dibedakan dengan kelompok masyarakat lain, yang terlanjur
dianggap lebih rendah. Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan
Belanda, sehingga penjajah dapat dengan
leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali
telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita
berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau
seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara
dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.
Dalam
urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang
menjadi masalah. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda
kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi
pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Sebenarnya Hindu
tidak mengenal kasta, yang dikenal adalah warna (berdasarkan profesi) atau
wangsa (berdasarkan keturunan). Dalam sistem sosial-budaya Bali, yang kita
kenal adalah wangsa, yakni silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan. Baik
menurut hukum agama maupun hukum negara, tidak ada hukuman atau ganjaran bagi
orang yang menikah beda kasta/wangsa. Sistem sosial dan budaya Bali menganut
sistem Patrilineal. Dalam sistem patrilineal, maka hukum adat yang berlaku adalah
mengikuti garis keturunan, wangsa, dan waris suami. Mungkin yang kita tahu
bahwa seorang laki-laki dengan kasta
bawah yang menikah dengan wanita kasta atas tidak bisa ikut kasta wanita
tersebut, sedangkan jika wanita kasta bawah menikah dengan laki-laki kasta atas
maka si wanita itu bisa ikut kasta laki-laki tersebut.
Ternyata
secara agama tidak dijelaskan akibat dari seorang yang menikah beda kasta.
Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah si wanita harus mengikuti
silsilah keluarga suami, karena si wanita sudah masuk ke dalam silsilah
keluarga sang suami. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya
vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang
memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada
Wan gsa yang lain.
Untuk
merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi.
Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Perkawinan
beda kasta sudah ada sejak dulu dan beberapa keluarga yang dulunya berasal dari
wangsa yang berbeda, sekarang juga bisa
hidup rukun dan membina keluarga dengan baik. Dalam hal ini, yang diperlukan
adalah komunikasi yang baik antara dua keluarga dari calon \mempelai.
Seandainya, sudah ada kesepakatan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan
sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah
ada
beberapa hal yang menjadi latar belakang terjadinya perkawinan beda kasta.
Misalnya pengaruh zaman yang semakin modern yang membuat generasi muda saat ini
cenderung acuh dan menganggap tradisi adalah hal yang kuno yang sudah tidak
relevan untuk ditetapkan di zaman sekarang. Berdasarkan analisis tersebut
tampaknya membenarkan pendapat dari Kartini Kartono (2006,59) yang menyatakan
bahwa baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat akan memberikan pengaruh
baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak. Dari pengaruh lingkungan
inilah seseorang yang tidak bisa memfilter pengaruh tersebut akan cepat terjerumus
terhadap hal- hal yang negative yang tentunya akan merugikan dirinya sendiri.
Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan ekonomi dapat memicu
terjadinya perkawinan beda kasta. Dimana jaman seperti sekarang ini tidak ada
satu orang pun yang mau hidup susah, semua ingin hidup dengan berkecukupan
sehingga terkadang ada orang yang rela melepaskan kastanya hanya demi meraih
materi
Selain
kendala-kendala dalam perkawinan beda kasta tersebut, adapun solusi untuk
mengatasi kendala-kendala dalam perkawinan beda kasta, ialah menarik simpatik
orang tua dengan cara meyakinkan kedua orang tua bahwa calon pendamping hidup
yang dipilih oleh anaknya itu tepat dan dapat membuat dirinya bahagia, karena
yang akan menjalani rumah tangga adalah dirinya dan pasangannya kelak. Jika
menarik simpatik kedua orang tua tidak
berhasil, maka cara yang akan ditempuh adalah melakukan kawin lari/ngerorod.
Dimana kawin lari ini biasanya disebabkan karena orang tua dari salah satu
pihak tidak merestui hubungan anak-anaknya. Kondisi ini tidak hanya dikarenakan
perbedaan kasta tetapi juga disebabkan latar belakang keluarga calon dan
kehidupan social. Dengan melakukan kawin lari ini, pihak keluarga yang tidak
setuju mau tidak mau harus setuju dengan keputusan yang diambil anaknya tersebut
dan menerima keputusan anaknya itu dengan lapang dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar