PENERAPAN PARLIAMENTARY TRESHOLD PADA PEMILU 2014
DAN PELAKSANAAN PEMILU SERENTAK 2019
Untuk mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu:
Drs.Machmud Al Rasyid,SH.M.Si

Disusun oleh:
Nama : Anggi
Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
A.
PENERAPAN
PARLIAMENTARY TRESHOLD DALAM PEMILU 2014
1.
Pengertian
Ambang Batas Parlemen ( Parliamentary
Threshold )
Parliamentary threshold merupakan batas dukungan minimal suara kepada
partai politik untuk menempatkan
wakilnya di DPR. salah satu
alasan yang mengemuka ketika
parliamentary threshold
diterapkan adalah dalam rangka penguatan
sistem pemerintahan presidensial.
.Parliamentary
threshold pertama kali diterapkan pada
pemilu 2009 dengan besaran ambang batas 2,5 % yang menyebabkan dari 38 Partai
Politik peserta pemilu, hanya 9 Partai yang lolos
parliamentary threshold. Alasan
utama parliamentary threshold adalah
mengurangi jumlah Partai Politik secara alami di parlemen dalam rangka menguatkan sistem pemerintahan
presidensial, karena kombinasi sistem
multipartai dengan presidensial adalah bentuk kombinasi yang tidak sesuai,
selain itu dalam pelaksanaan setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden
tidak akan berjalan maksimal apabila
partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakilan berada dalam
fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi. Pemilu 2014 pemerintah menaikkan ambang batas
menjadi 3,5 % yang diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun
2012 tetapi kurang efektif dalam
menyederhanakan Partai Politik karena dari 12 partai politik peserta pemilu,
10 diantaranya dinyatakan lolos parliamentary threshold. Oleh karena itu perlu
adanya pengaturan parliamentary
threshold yang ideal dalam rangka menguatkan Sistem Pemerintahan Presidensial.
2.
Fungsi
dari Parliamentary Threshold
Parliamentary
threshold (PT) yang terdapat dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 pada dasarnya
merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menguatkan sistem pemerintahan
presidensial, karena sistem multipartai merupakan bentuk kombinasi yang tidak
sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Seperti yang kita ketahui,
salah satu ciri Sistem Pemerintahan Presidensial adalah adanya kedudukan yang
setara antara lembaga eksekutif dan legislatif. Karena kedudukan keduanya saling
keterkaitan antara satu sama lainnya, eksekutif membutuhkan dukungan legislatif
untuk menjalankan program kerjanya, namun adanya fragmentasi politik yang berbeda
akibat banyaknya partai di parlemen menyebabkan efektifitas pemerintahan
menjadi terganggu.
` Parliamentary threshold diakui bukan
satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun PT juga harus
diakui sebagai salah satu cara yang paling efektif karena tidak mengancam
eksistensi partai politik tertentu, namun hanya partai yang mendapat dukungan
dominanlah yang bisa menempatkan wakilnya di DPR.
3.
Parliamentary
Threshold Pada Pemilu 2014
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan UU
perubahan dari UU Pemilu sebelumnya, yaitu UU No. 10 Tahun 2008 yang salah satu
perubahan utamanya adalah merubah angka ambang batas atau parliamentary threshold(PT)
dari semula 2,5% menjadi 3,5% suara sah nasional agar partai politik tersebut
dapat ikut dalam proses penghitungan perolehan kursi di DPR. Jika pada Pemilu
2009 lalu dengan angka PT 2,5% berhasil menempatkan 9 partai politik peserta
pemilu duduk di DPR, maka pada Pemilu 2014 ini dengan angka PT 3,5% justru
menempatkan 10 partai politik peserta pemilu untuk dapat duduk di DPR. Padahal
tujuan utama penerapan PT ini adalah untuk menyederhanakan partai politik yang
duduk di DPR.
Berdasarkan
uraian di atas terlihat adanya ketidaksesuaian antara tujuan dengan hasil yang
dicapai. Melalui instrumen UU tentang Pemilu legislatif, sebenarnya diarahkan
akan terbentuknya sebuah sistem kepartaian multi-partai sederhana dan bukan
multi-partai akstrem. Tetapi kenyataannya adalah pemberlakuan angka ambang
batas tersebut tidak serta merta menghasilkan sistem multi-partai sederhana
sebagai diharapkan. Lalu apa dan bagaimana sebaiknya penerapan PT disikapi dan
evaluasi untuk perbaikan ke depan?
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
threshold di Indonesia sekarang disebut PT memasuki parlemen bagi partai
politik dan koalisi yang ikut dalam pemilu. Salah satu yang harus diperhatikan
dalam penyelenggaraan pemilu adalah menyangkut apa yang disebut kalangan
ilmuwan politik sebagai electoral threshold, yaitu minimum dukungan yang harus
diperoleh oleh sebuah partai politik untuk memperoleh kursi di lembaga
perwakilan. Yang dimaksud dengan jumlah minimum dukungan adalah jumlah minimum
suara yang diperoleh oleh partai politik.
Berdasarkan
konsep threshold di atas, sesungguhnya
threshold atau ambang batas yang bermakna
parliamentary threshold merupakan suatu instrumen untuk menyederhanakan
partai politik yang dapat duduk di parlemen. Itu semua merupakan sebuah pilihan
bagi suatu negara. Secara teoritis, dalam sistem multipartai sederhana akan
lebih mudah dilakukan kerja sama, dalam rangka menuju sinergi nasional. Sistem
tersebut selain tidak cenderung menimbulkan monolitisme, juga akan menumbuhkan
suasana demokratis yang memungkinkan partai politik sebagai aset nasional
berperan secara optimal.
4.
Analisa
Parliamentary Threshold Dalam Pemilu 2014 : Demokratiskah?
Pemilu
2014 KPU mengumumkan hasil rekapitulasi berdasarkan Surat Keputusan No.
411/Kpts/KPU/2014 yang menghasilkan perolehan suara pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel
1 Rekapitulasi Hasil Pileg 2014
No
|
PARTAI
|
Suara
|
% Suara
|
Kursi
|
% Kursi
|
1.
|
Nasdem
|
8.402.812
|
6,72 %
|
35
|
6,25 %
|
2.
|
PKB
|
11.298.957
|
9,04 %
|
47
|
8,39 %
|
3.
|
PKS
|
8.480.204
|
6,79 %
|
40
|
7,14 %
|
4.
|
PDIP
|
23.681.471
|
18,95 %
|
109
|
19,46 %
|
5.
|
Golkar
|
18.432.312
|
14,75 %
|
91
|
16,25 %
|
6.
|
Gerindra
|
14.760.371
|
11,81 %
|
73
|
13,03 %
|
7.
|
Demokrat
|
12.728.913
|
10,19 %
|
61
|
10.89 %
|
8.
|
PAN
|
9.481.621
|
7,59 %
|
49
|
8,75 %
|
9.
|
PPP
|
8.157.488
|
6,53 %
|
39
|
6,96 %
|
10.
|
Hanura
|
6.579.498
|
5,26 %
|
16
|
2,86 %
|
11.
|
Partai Damai Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
12.
|
Partai Nasional Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
13.
|
Partai Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
14.
|
Partai Bulan Bintang**
|
1.825.750
|
1,46 %
|
0
|
0 %
|
15.
|
PKPI**
|
1.143.094
|
0,91 %%
|
0
|
0 %
|
|
JUMLAH
|
124.972.491
|
100
%
|
560
|
100
%
|
Berdasarkan
perolehan suara di atas, maka hanya 10 partai politik peserta pemilu yang mencapai
angka ambang batas 3,5% suara sah nasional. Sedangkan 2 partai politik, yaitu
Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak mencapai
angka 3,5% suara sah secara nasional, sehingga tidak dapat menempatkan wakilnya
di DPR. Sebagai gambaran, pemilu 2009 diikuti oleh 34 partai politik dan hanya menghasilkan
9 partai politik yang mencapai angka PT 2,5%. Tahun 2014 hasilnya sama hanya ditambah
Partai Nasdem sehingga jumlahnya menjadi 10 partai politik.
Akibat
adanya dua partai yang tidak bisa mencapai ambang batas di kursi parlemen
sehingga jumlah suara yang dimilki oleh partai yang tidak mencapai ambang batas
akan bertambah ke partai yang perolehan suaranya besar. Hal ini jelas merugikan
bagi partai yang memiliki jumlah suara sedikit sehingga jumlah kursi yang ada
di Parlemen porsinya berkurang dan partai yang tidak mencapai ambang batas
menjadi sia-sia ikut pemilu karena tidak bisa menempatkan wakilnya di parlemen.
Partai
yang tidak mencapai ambang batas menjadi sia-sia karena mengapa, walaupun calon
legislatif dari partai yang tidak bisa mencapai ambang batas di daerah
pemilihanya mendapatkan jumlah suara yang mana bisa dikatakan meraih suara terbanyak,
namun si calon legislatif ini gugur karena di parlemen nanti tidak ada fraksi
yang akan menampung dirinya karena partai yang di ikutinya tidak bisa mencapai
ambang batas. Sehingga dari praktek dari penerapan ambang batas ini jelas tidak
demokratis karena merugikan partai “gurem” dan justru menguntungkan partai
besar.
5.
Solusi
Demokratisasi Penerapan Ambang Batas
Secara umum dapat dikatakan bahwa upaya menyederhanakan
partai politik melalui instrumen PT gagal memenuhi tujuan dasarnya di Indonesia
Instrumen PT hanyalah upaya dalam sebuah sistem pemilu yang belum jelas apakah
menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem plurality-majority. Faktanya, partai politik
tetap banyak yang bisa ikut pemilu dan instrumen PT tidak berhasil mengurangi
jumlah partai.
Terdapat
cara lain guna menghindari ketidakefektivan penerapan PT yang ternyata gagal
memenuhi tujuannya. Cara lain yang bisa digunakan untuk menghindari perbuatan
ketidakadilan penerapan PT adalah:
1. Menggunakan
Formula Divisor dalam menghitung jumlah perolehan kursi partai. Formula divisor
ini menhitung jumlah suara parlemen berdasarkan rangking sehingga jika ada
calon yang berasal dari partai yang tidak lolos ambang batas dan ia menduduki
posisi teratas maka ia bisa menduduki kursi parlemen.
2. Kemudian
calon yang berhasil menduduki kursi di parlemen namun tidak mempunyai partai
maka ia diberi kesempatan untuk bergabung ke fraksi partai lain sehingga keikut
sertaannya dalam pemilu tersebut tidaklah sia-sia
3. Memperkecil
Besaran Daerah Pemilihan menjadi 3-6 per daerah pemilihan. Fungsi dari
memperkecil daerah pemilihan ini untuk memudahkan dalam perangkingan anggota
parlemen yang menang dan mengurangi terbuangnya suara yang banyak akibat jumlah
calon anggota parlemen yang tidak lolos jika memilki jumlah daerah pemilihan
yang banyak.
4. Menyerentakkan
penyelenggaraan pemilu DPR dan pemilu presiden.Ke depan seharusnya yang
dilakukan adalah penataan model kepartaian yang diatur dalam UU Partai Politik
serta pengetatan persyaratan bagi partai politik yang hendak ikut pemilu.
Artinya, partai politik dipaksa melakukan institusionalisasi secara lebih
sistematis dan melakukan berbagai fungsi partai politik guna menuju terbentuknya
partai politik modern yang menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana
dan sistem pemilu yang sederhana, akuntabel, dan sesuai dengan karakteristik
Indonesia.
Konsep
parliamentary threshold yang ideal terhadap sistem pemerintahan presidensial
adalah: Pertama, PT harus mampu mengakomodir semua golongan. Kedua, menaikan besaran
PT secara bertahap dan konsituen dari 3,5% menjadi 5%. Ketiga, mengakomodir suara yang tidak
lolos parliamentary threshold melalui proses stembus accourd
(penggabungan) terhadap partai politik peserta pemilu berdasarkan kesamaan
ideologi dengan syarat-syarat tertentu untuk menghindari meningkatnya tingkat
disproporsionalitas suara. Selain itu, perlu juga aturan tambahan pendukung
lainnya agar sistem pemerintahan presidensial bisa berjalan dengan efektif
yaitu :
1.Memperkuat
persyaratan kepengurusan Partai Politik
khususnya kepengurusan yang mencakup seluruh wilayah kabupaten di
Indonesia.
2.Memperkecil
cakupan daerah pemilihan dan mengurangi jumlah fraksi
3.Melakukan
pemilihan secara serentak antara pemilihan presiden dan Pemilu Legislatif sebagai
langkah dalam memangkas ketergantungan presiden terhadap partai politik lewat
kontrak koalisi.
B.
PEMILU
SERENTAK 2019
1.
Latar
Belakang Adanya Pemilu Serentak
Apabila pilihan pemilih untuk calon
anggota DPR dipengaruhi oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
dipilih (coattail effect) itu benar,
maka partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang kurang baik di mata pemilih (―kurang laku dijual‖)
cenderung akan mendapatkan suara dalam jumlah yang kecil. Apabila ambang-batas
perwakilan sebesar 3.5% masih diberlakukan, maka kemungkinan besar partai atau
gabungan partai politik tersebut tidak akan mampu melewati ambang batas
perwakilan tersebut.Karena itu,
konsekuensi kedua Pemilu Nasional Konkuren adalah penyederhanaan jumlah
partai politik.
Belajar
dari pengalaman Pemilu Anggota DPR Tahun 2014 yang ternyata tidak mampu
mengurangi jumlah partai politik di DPR melainkan justru menambah jumlah partai
dari 9 menjadi 10 partai di DPR, maka ambang batas perwakilan saja tidak cukup
mampu menyederhanakan jumlah partai politik di DPR. Diperlukan sejumlah desain
sistem pemilihan umum lainnya yang juga bertujuan yang sama, yaitu
menyederhanakan jumlah partai politik di DPR.
Setidak-tidaknya
terdapat dua disain sistem pemilihan umum lainnya yang perlu diadopsi selain
Pemilu Nasional Konkuren. Desain sistem pemilihan umum yang paling efektif
mengurangi jumlah partai politik adalah besaran
daerah pemilihan. Makin
kecil besaran dapil, makin sukar bagi partai politik untuk
mendapatkan kursi. Karena itu, tujuan penyederhanaan jumlah partai politik
tersebut perlu dicapai tidak saja dengan Pemilu
Nasional Konkuren tetapi juga besaran
dapil yang diperkecil. Apabila besaran
daerah pemilihan (district
magnitude) anggota DPR diturunkan dari tingkat sedang (3-10 kursi) sekarang ini
menjadi tingkat kecil (3-6 kursi), maka
jumlah partai politik yang mampu memenuhi ambang batas perwakilan niscaya akan
berkurang dari jumlah sekarang
.Pemilu
serentak dapat juga dirancang untuk memberikan efek dari satu pemilihan ke
pemilihan lainnya. Biasanya yang menjadi pertimbangan adalah untuk mempengaruhi
hasil pemilihan presiden dengan menggunakan hasil pemilihan legislatif sebagai
salah satu dasar penentuan pemenang. Dengan aturan tertentu, bisa disusun adanya
pengaruh perolehan suara partai tertentu dengan syarat kemenangan kandidat
presiden partai tersebut, sehingga satu jenis pemilihan akan memiliki efek
mekanis terhadap hasil pemilihan lainnya. Partai dengan perolehan suara
terbanyak maka dapat mengantarkan kandidat presidennya untuk menduduki kursi kepresidenan
meski hasilnya di pemilihan presiden belum tentu yang paling baik.
Dalam
varian tertentu, efek mekanistis diharapkan terjadi dalam rentang waktu tertentu,
seperti halnya yang lazim disebut sebagai
coattail effect. Misalnya, pemilu legislatif dan presiden diharapkan mempengaruhi
hasil pemilu sela, atau pemilu yang diadakan setelahnya.
2.
Model
Pemilu Serentak
Secara
umum, untuk konteks Indonesia dengan mendasarkan pada varian secara empirik maupun
hipotetis, terdapat setidaknya enam model pemilu serentak. Pertama,
pemilu serentak sekaligus serentak, satu kali dalam lima tahun, untuk
semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi
pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilihan
presiden, serta pemilukada. Ini seringkali disebut dengan pemilihan tujuh kotak
atau pemilu borongan.
Kedua, pemilu serentak hanya untuk seluruh
jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu
serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Dalam model clustered concurrent election ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi dan
DPRD Kab/Kota dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya,
dan kemudian diikuti pemilu presiden, gubernur dan bupati/walikota beberapa
bulan kemudian.
Ketiga,
pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, di mana dibedakan
waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal (concurrent election
with mid-term election). Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dibarengkan
pelaksanaannya dengan pemilu presiden. Sementara pemilu DPRD Propinsi,
kabupaten/kota dibarengkan pelaksanaannya dengan pemilihan gubernur dan bupati/walikota,
dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional.
Keempat,
pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan
waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent
elections). Dalam model ini, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif untuk
DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan
pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan pengelompokan region
atau wilayah kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus untuk wilayah
Pulau Sumatera. Kemudian disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau Jawa, dan
tahun keempat untuk wilayah Bali dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk wilayah
sisanya.
Dengan
model ini maka setiap tahun masing-masing partai akan selalu bekerja untuk
mendapatkan dukungan dari pemilih, dan pemerintah serta partai politik dapat selalu
dievaluasi secara tahunan oleh pemilih.
Kelima, adalah pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian
diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan
kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut.
Dengan model concurrent election with
flexible concurrent local elections ini
maka pemilihan Presiden dibarengkan dengan pemilihan legislatif untuk DPR dan
DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadual pemilu lokal yang
telah disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih
Gubernur, Bupati, dan Walikota serta memilih anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
di suatu provinsi, dan kemudian diikuti dengan pemilu serentak lokal yang sama
di provinsi-provinsi lainnya sehingga bisa jadi dalam setahun ada beberapa
pemilu serentak lokal di sejumlah provinsi.
Keenam, adalah pemilu serentak untuk memilih anggota
DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti
setelah selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu
provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu serentak tingkat lokal hanyalah untuk
memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara bersamaan di suatu provinsi, dan jadualnya
tergantung dari siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi yang telah
disepakati.Pada model pertama, kedua, dan ketiga, jika tujuan pemilu serentak
hanya untuk sekedar penghematan biaya memang terjawab. Namun penyelenggaraan
pemilu menjadi semakin rumit, konfigurasi politik menjadi tidak menentu, bahkan
bisa jadi tidak muncul political
blocking secara jelas dan dapat menyuburkan politik transaksional karena
kebutuhan terhadap dukungan elektoral untuk memenangkan pemilu.
Sementara
pelaksanaan pemilu serentak pada model ketiga, keempat, dan kelima diyakini
membuat sistem pemilihan lebih
sederhana. Dengan dilaksanakannya pemilu untuk anggota DPR dan pemilihan Presiden
secara bersamaan maka kecenderungannya ialah hanya terdapat dua blok besar
koalisi partai politik, dimana keduanya mencalonkan pasangan capres cawapres
masing-masing karena kemungkinan mengarah pada dua putaran atau hanya dua
kandidat utama sangat besar.Blocking politics yang tercipta dari hasil pemilu
eksekutif dan legislatif ditingkat nasional kemungkinan akan mewujud pula di
daerah. Jika kinerja presiden dan anggota
legislatif hasil pemilu nasional baik, maka pemilih juga akan memilih
pasangan kepala daerah dan caleg DPRD yang berasal dari partai-partai koalisi
pemilu nasional. Dengan demikian kongruensi tidak hanya tercipta di level
eksekutif-legislatif, melainkan juga pusat dan daerah.
3.
Format
Ideal Pemilu Serentak 2019 Kekuatan dan Kelemahan dari Masing-Masing Model
Pemilu Serentak di Indonesia
Bila
kita membaca secara seksama enam model pemilu serentak tersebut di atas, kita
dapat menganalisis kekuatan dan kelemahan masing-masing. Model pertama, pemilu
serentak untuk semua jabatan legislatif dan eksekutif dari tingkat nasional,
regional dan lokal, atau disebut juga pemilu borongan, memiliki kekuatan yaitu
semua pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun secara serentak. Namun, model
pertama ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sulitnya para pemilih
untuk mengetahui dan memilih para calon pejabat politik, eksekutif dan legislatif, dari begitu banyak nama calon.
Waktu yang dibutuhkan pemilih di bilik suara juga akan sangat lama; (2) kertas
suaranya (ballot paper) akan sangat tebal; (3) persiapan logistiknya akan
sangat rumit; (4) perhitungan suaranya juga akan memakan waktu yang cukup lama,
lebih dari dua minggu.
Model
Kedua, pemilu serentak untuk seluruh
jabatan legislatif yang disusul oleh pemilu serentak beberapa bulan kemudian
untuk seluruh jabatan eksekutif nasional, regional dan lokal, atau dikenal dengan clustered
concurrent elections. Kekuatan model ini ialah para pemilih dapat memahami
adanya pemisahan pemilu eksekutif dan legislatif secara baik. Namun,
kelemahannya juga cukup banyak, antara lain (1) pemilih juga sulit membedakan
para calon anggota legislatif dari berbagai tingkatan tersebut nasional,
provinsi dan kabupaten/kota; (2) penyiapan dan pengiriman logistiknya juga
rumit; (3) kertas suaranya juga sangat tebal; (4) penghitungan suaranya juga
sangat rumit dan memakan waktu lama. Pemisahan pemilu legislatif
serentak dan eksekutif serentak ini juga menyebabkan tiadanya kaitan
politik antara hasil pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Dengan kata lain,
eksekutif yang terpilih pada tingkatan apa pun (presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota) mungkin tidak didukung oleh koalisi partai mayoritas di
parlemen.
Model
ketiga, pemilu serentak terpisah antara pemilu nasional dan pemilu regional dan
lokal dengan masa jeda dua atau tiga
tahunan (concurrent election with mid-term elections). Dengan kata lain, pemilu
presiden, DPR dan DPD dilaksanakan serentak disusul dua atau tiga tahun
kemudian oleh pemilu serentak untuk gubernur, DPRD Provinsi, bupati/walikota
dan DPRD Kabupaten/Kota. Model ini dapat menimbulkan hubungan eksekuti nasional
dan lokal secara baik, namun
melaksanakan pemilu serentak di tingkat regional dan lokal
juga suatu pekerjaan yang mudah. Persoalan-persoalan yang muncul pada
model pertama dan model kedua dapat juga muncul pada penilu serentak model
ketiga ini.
Model
keempat, pemilu serentak legislatif dan eksekutif pada tingkatan nasional dan pemilu
serentak tingkat provinsi dan kabupaten/kota atas dasar pengelompokan wilayah Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua (concurrent election
with regional-based concurrent elections)
dengan jeda waktu satu tahunan dari satu region ke region lainnya. Model
keempat ini tidak memiliki kekuatan apa pun melainkan malah akan memecah Indonesia
ke dalam region-region. Model ini juga tetap akan menimbulkan banyaknya pemilu
di Indonesia pada tingkatan lokal yang amat rumit.
Model
kelima, pemilu serentak tingkat nasional yang diikuti oleh pemilu lokal
serentak pada tingkatan provinsi (concurrent national election with
flexible concurrent local elections at provincial levels). Pada tingkatan
nasional, presiden, DPR dan DPD dipilih secara serentak dan pemilu serentak
regional dan lokal pada tingkatan provinsi. Model ini memiliki kekuatan adanya kaitan
hasil antara pemilihan eksekutif dan
legislatif dan adanya keserasian
hubungan antara eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Model ini adalah juga
yang paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia untuk waktu ke
depan. Persiapan, penyelenggaraan, dan penghitungan hasil pemilu juga lebih
mudah dikelola dengan baik.
Model
keenam adalah pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu
dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu
serentak tingkat lokal hanyalah untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota
secara bersamaan di suatu provinsi, dan jadualnya tergantung dari siklus pemilu
lokal di masing-masing provinsi yang telah disepakati.
Model
pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten dan Kota) adalah yang dikenal saat ini. Pemilu eksekutif di tingkat
provinsi, kabupaten dan kota pada satu provinsi juga mudah dilaksanakan. Namun,
akan terjadi kesenjangan waktu pemilihan eksekutif dan legislatif
lokal. Ini juga tidak sejalan dengan UU Pemilihan umum yang menyatukan
pemilihan umum nasional dan memasukkan pemilu
legislatif dan eksekutif lokaldalam UU pemerintahan daerah yang baru.
4.
Model
Pemilu Serentak Nasional dan Lokal
Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 3 Januari 2014 yang mengabulkan sebagian
atas gugatan uji materi UU No 42 Tahun 2008 yang berdampak dilaksanakannya
Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden secara serempak di tahun 2019,
menimbulkan kontroversi. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa pemilu legislatif
dan pemilu presiden/wakil presiden secara serempak adalah yang konstitusional
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Di sisi lain,
ini menimbulkan pertanyaan, jika pemilu serempak itu memang yang paling sesuai
dengan konstitusi, mengapa pelaksanaannya diundur pada 2019 dan bukan pada
2014.
Lepas
dari perdebatan interpretasi atas keputusan MK tersebut, masa lima tahun ke depan
ini adalah masa yang cukup krusial bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR -RI) untuk mempersiapkan perangkat UU pemilu serempak, agar
pelaksanaan pemilu pada 2019 dapat berjalan dengan baik. Berbagai aturan dalam
UU Pemilu sebagian tentunya akan berbeda dengan UU pemilu yang ada sebelumnya,
yang memisahkan pemilu legislatif dan pemilu Presiden/Wakil Presiden. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan UU Pemilu mendatang.
Pertama,
pengertian pelaksanaan pemilu serentak harus ditentukan terlebih dahulu, apakah
pemilu lima kotak yang selama ini difahami banyak pihak yaitu pemilu
Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPR dan DPRD, ataukah serentak di semua cabang
eksekutif dan legislatif pada tingkatan nasional dan lokal?; kedua, jumlah dan
bentuk kertas suara untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, Gubernur
dan DPRD Provinsi, Bupati dan Walikota serta DPRD Kabupaten/Kota tentunya
sangat banyak banyak dan membutuhkan informasi yang jelas bagi para calon
pemilih; ketiga, pemilih membutuhkan waktu yang tidak sedikit dalam menentukan pilihan
mereka dari memilih para kandidat eksekutif dan legislatif dari pusat sampai ke
daerah yang jumlahnya ratusan ribu calon tersebut; keempat, berdasar pada butir-butir
tersebut di atas, apakah cukup realistis jika pemilu serentak secara nasional
dari pusat sampai ke daerah dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Ada
beberapa opsi sistem pemilu serentak di Indonesia:
a. Pertama, pemilu serentak untuk jabatan
politik pada tingkat nasional yaitu pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR dan DPD
secara serentak;
b. Kedua, pemilu serentak untuk jabatan politik
pada tingkat lokal dari Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wali Kota, dan DPRD
Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi;
c. Ketiga, pemilu serentak secara nasional untuk
pejabat politik nasional dan lokal dari Presiden/Wakil
Presiden, DPR, DPD, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wali Kota, dan DPRD
Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi.
d. Keempat, pemilu serentak secara nasional
untuk jabatan politik lokal di seluruh Indonesia dari Gubernur, DPRD Provinsi,
Bupati, Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi. Pelaksanaan
sistem pemilu serentak dalam butir satu dan dua jauh lebih mudah dikelola dan mengandung
implikasi politik yang lebih baik dibandingkan dengan opsi ketiga dan keempat.
Opsi
pertama hanya mengatur pemilu serentak untuk jabatan-jabatan politik eksekutif
dan legislatif pada tingkatan nasional. Opsi kedua, penentuan waktu pelaksanaan
pemilunya juga lebih mudah diatur, termasuk pengaturan masa jabatan pejabat
politik di tingkat lokal yang harus diperpendek atau diperpanjang. Bila harus
diperpendek diberikan kompensasi ekonomi dan politik sedangkan mereka yang
jabatannya habis sementara waktu pemilunya masih setahun atau dua tahun lagi
bisa diangkat pejabat sementara gubernur, bupati atau walikota.Urgensi Pemilu
Nasional Serentak Yang Terpisah Dari Pemilu Lokal Serentak
KESIMPULAN
Kesimpulannya
bahwa instrumen PT tidak berhasil atau dapat dikatakan gagal mencapai tujuan
menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana. Yang terjadi hanyalah
upaya yang pragmatis dan pihak yang kalah hampir selalu membentuk partai
politik baru, sehingga upaya menyederhanakan partai politik melalui instrumen
apapun akan tetapi tidak maksimal.
Putusan
Mahkamah Konstitusi agar Indonesia menerapkan sistem pemilihan serentak antara
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden mulai tahun 2019 menyediakan
momentum dan baik untuk dijadikan alasan untuk melakukan konsolidasi kebijakan
sistem pemilu Indonesia di masa depan. Konsolidasi kebijakan itu perlu
diarahkan untuk maksud konsolidasi ke arah sistem demokrasi yang lebih efisien
dan efektif dalam menciptakan sistem pemerintahan yang kuat, efektif, tetapi
akuntabel dan berintegritas.
Secara
lebih khusus, konsolidasi sistem pemilihan umum itu akan turut mempengaruhi
sistem demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan kredibel di masa depan, yang
tidak hanya bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi dan ‘rule
of law’, tetapi juga berintegritas karena disadarkan atas prinsip-prinsip ‘rule of ethics’ yang efektif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar