Senin, 23 November 2015

Penerapan Parliamentary Treshold Pada Pemilu 2014 dan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019



PENERAPAN PARLIAMENTARY TRESHOLD PADA PEMILU 2014 DAN PELAKSANAAN PEMILU SERENTAK 2019
Untuk mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu:
Drs.Machmud Al Rasyid,SH.M.Si
Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007



PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA


A.    PENERAPAN PARLIAMENTARY TRESHOLD DALAM PEMILU 2014
1.      Pengertian Ambang Batas Parlemen  ( Parliamentary Threshold  )
 Parliamentary threshold  merupakan batas dukungan minimal suara kepada partai politik untuk menempatkan  wakilnya di DPR.  salah satu alasan yang mengemuka ketika  parliamentary threshold  diterapkan adalah dalam rangka penguatan  sistem pemerintahan presidensial. 
.Parliamentary threshold  pertama kali diterapkan pada pemilu 2009 dengan besaran ambang batas 2,5 % yang menyebabkan dari 38 Partai Politik peserta pemilu, hanya 9  Partai  yang lolos  parliamentary threshold.  Alasan utama  parliamentary threshold  adalah  mengurangi jumlah Partai Politik secara alami di parlemen  dalam rangka menguatkan sistem pemerintahan presidensial, karena kombinasi  sistem multipartai dengan presidensial adalah bentuk kombinasi yang tidak sesuai, selain itu dalam  pelaksanaan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden  tidak akan berjalan maksimal  apabila partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakilan  berada dalam  fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi.  Pemilu 2014 pemerintah menaikkan ambang batas menjadi 3,5  %    yang diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012  tetapi kurang efektif dalam menyederhanakan  Partai Politik  karena dari 12 partai politik peserta pemilu, 10 diantaranya dinyatakan lolos parliamentary threshold. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan  parliamentary threshold yang ideal dalam rangka menguatkan Sistem Pemerintahan Presidensial.
2.      Fungsi dari Parliamentary Threshold
Parliamentary threshold (PT) yang terdapat dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 pada dasarnya merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial, karena sistem multipartai merupakan bentuk kombinasi yang tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Seperti yang kita ketahui, salah satu ciri Sistem Pemerintahan Presidensial adalah adanya kedudukan yang setara antara lembaga eksekutif dan legislatif. Karena kedudukan keduanya saling keterkaitan antara satu sama lainnya, eksekutif membutuhkan dukungan legislatif untuk menjalankan program kerjanya, namun adanya fragmentasi politik yang berbeda akibat banyaknya partai di parlemen menyebabkan efektifitas pemerintahan menjadi terganggu.
`           Parliamentary threshold diakui bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun PT juga harus diakui sebagai salah satu cara yang paling efektif karena tidak mengancam eksistensi partai politik tertentu, namun hanya partai yang mendapat dukungan dominanlah yang bisa menempatkan wakilnya di DPR.
3.      Parliamentary Threshold Pada Pemilu 2014
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan UU perubahan dari UU Pemilu sebelumnya, yaitu UU No. 10 Tahun 2008 yang salah satu perubahan utamanya adalah merubah angka ambang batas atau parliamentary threshold(PT) dari semula 2,5% menjadi 3,5% suara sah nasional agar partai politik tersebut dapat ikut dalam proses penghitungan perolehan kursi di DPR. Jika pada Pemilu 2009 lalu dengan angka PT 2,5% berhasil menempatkan 9 partai politik peserta pemilu duduk di DPR, maka pada Pemilu 2014 ini dengan angka PT 3,5% justru menempatkan 10 partai politik peserta pemilu untuk dapat duduk di DPR. Padahal tujuan utama penerapan PT ini adalah untuk menyederhanakan partai politik yang duduk di DPR.
Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya ketidaksesuaian antara tujuan dengan hasil yang dicapai. Melalui instrumen UU tentang Pemilu legislatif, sebenarnya diarahkan akan terbentuknya sebuah sistem kepartaian multi-partai sederhana dan bukan multi-partai akstrem. Tetapi kenyataannya adalah pemberlakuan angka ambang batas tersebut tidak serta merta menghasilkan sistem multi-partai sederhana sebagai diharapkan. Lalu apa dan bagaimana sebaiknya penerapan PT disikapi dan evaluasi untuk perbaikan ke depan?
 Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa threshold di Indonesia sekarang disebut PT memasuki parlemen bagi partai politik dan koalisi yang ikut dalam pemilu. Salah satu yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pemilu adalah menyangkut apa yang disebut kalangan ilmuwan politik sebagai electoral threshold, yaitu minimum dukungan yang harus diperoleh oleh sebuah partai politik untuk memperoleh kursi di lembaga perwakilan. Yang dimaksud dengan jumlah minimum dukungan adalah jumlah minimum suara yang diperoleh oleh partai politik.
Berdasarkan konsep  threshold di atas, sesungguhnya threshold atau ambang batas yang bermakna  parliamentary threshold merupakan suatu instrumen untuk menyederhanakan partai politik yang dapat duduk di parlemen. Itu semua merupakan sebuah pilihan bagi suatu negara. Secara teoritis, dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama, dalam rangka menuju sinergi nasional. Sistem tersebut selain tidak cenderung menimbulkan monolitisme, juga akan menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik sebagai aset nasional berperan secara optimal.
4.      Analisa Parliamentary Threshold Dalam Pemilu 2014 : Demokratiskah?
Pemilu 2014 KPU mengumumkan hasil rekapitulasi berdasarkan Surat Keputusan No. 411/Kpts/KPU/2014 yang menghasilkan perolehan suara pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Pileg 2014
No
PARTAI
Suara
%  Suara
Kursi
%   Kursi
1.
Nasdem
8.402.812
6,72 %
35
6,25 %
2.
PKB
11.298.957
9,04 %
47
8,39 %
3.
PKS
8.480.204
6,79 %
40
7,14 %
4.
PDIP
23.681.471
18,95 %
109
19,46 %
5.
Golkar
18.432.312
14,75 %
91
16,25 %
6.
Gerindra
14.760.371
11,81 %
73
13,03 %
7.
Demokrat
12.728.913
10,19 %
61
10.89 %
8.
PAN
9.481.621
7,59 %
49
8,75 %
9.
PPP
8.157.488
6,53 %
39
6,96 %
10.
Hanura
6.579.498
5,26 %
16
2,86 %
11.
Partai Damai Aceh*
0
0 %
0
0 %
12.
Partai Nasional Aceh*
0
0 %
0
0 %
13.
Partai Aceh*
0
0 %
0
0 %
14.
Partai Bulan Bintang**
1.825.750
1,46 %
0
0 %
15.
PKPI**
1.143.094
0,91 %%
0
0 %

 JUMLAH
124.972.491
100 %
560
100 %

Berdasarkan perolehan suara di atas, maka hanya 10 partai politik peserta pemilu yang mencapai angka ambang batas 3,5% suara sah nasional. Sedangkan 2 partai politik, yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak mencapai angka 3,5% suara sah secara nasional, sehingga tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR. Sebagai gambaran, pemilu 2009 diikuti oleh 34 partai politik dan hanya menghasilkan 9 partai politik yang mencapai angka PT 2,5%. Tahun 2014 hasilnya sama hanya ditambah Partai Nasdem sehingga jumlahnya menjadi 10 partai politik.
Akibat adanya dua partai yang tidak bisa mencapai ambang batas di kursi parlemen sehingga jumlah suara yang dimilki oleh partai yang tidak mencapai ambang batas akan bertambah ke partai yang perolehan suaranya besar. Hal ini jelas merugikan bagi partai yang memiliki jumlah suara sedikit sehingga jumlah kursi yang ada di Parlemen porsinya berkurang dan partai yang tidak mencapai ambang batas menjadi sia-sia ikut pemilu karena tidak bisa menempatkan wakilnya di parlemen.
Partai yang tidak mencapai ambang batas menjadi sia-sia karena mengapa, walaupun calon legislatif dari partai yang tidak bisa mencapai ambang batas di daerah pemilihanya mendapatkan jumlah suara yang mana bisa dikatakan meraih suara terbanyak, namun si calon legislatif ini gugur karena di parlemen nanti tidak ada fraksi yang akan menampung dirinya karena partai yang di ikutinya tidak bisa mencapai ambang batas. Sehingga dari praktek dari penerapan ambang batas ini jelas tidak demokratis karena merugikan partai “gurem” dan justru menguntungkan partai besar.
5.      Solusi Demokratisasi Penerapan Ambang Batas
 Secara umum dapat dikatakan bahwa upaya menyederhanakan partai politik melalui instrumen PT gagal memenuhi tujuan dasarnya di Indonesia Instrumen PT hanyalah upaya dalam sebuah sistem pemilu yang belum jelas apakah menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem  plurality-majority. Faktanya, partai politik tetap banyak yang bisa ikut pemilu dan instrumen PT tidak berhasil mengurangi jumlah partai.
Terdapat cara lain guna menghindari ketidakefektivan penerapan PT yang ternyata gagal memenuhi tujuannya. Cara lain yang bisa digunakan untuk menghindari perbuatan ketidakadilan penerapan PT adalah:
1.      Menggunakan Formula Divisor dalam menghitung jumlah perolehan kursi partai. Formula divisor ini menhitung jumlah suara parlemen berdasarkan rangking sehingga jika ada calon yang berasal dari partai yang tidak lolos ambang batas dan ia menduduki posisi teratas maka ia bisa menduduki kursi parlemen.
2.      Kemudian calon yang berhasil menduduki kursi di parlemen namun tidak mempunyai partai maka ia diberi kesempatan untuk bergabung ke fraksi partai lain sehingga keikut sertaannya dalam pemilu tersebut tidaklah sia-sia
3.      Memperkecil Besaran Daerah Pemilihan menjadi 3-6 per daerah pemilihan. Fungsi dari memperkecil daerah pemilihan ini untuk memudahkan dalam perangkingan anggota parlemen yang menang dan mengurangi terbuangnya suara yang banyak akibat jumlah calon anggota parlemen yang tidak lolos jika memilki jumlah daerah pemilihan yang banyak.
4.      Menyerentakkan penyelenggaraan pemilu DPR dan pemilu presiden.Ke depan seharusnya yang dilakukan adalah penataan model kepartaian yang diatur dalam UU Partai Politik serta pengetatan persyaratan bagi partai politik yang hendak ikut pemilu. Artinya, partai politik dipaksa melakukan institusionalisasi secara lebih sistematis dan melakukan berbagai fungsi partai politik guna menuju terbentuknya partai politik modern yang menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana dan sistem pemilu yang sederhana, akuntabel, dan sesuai dengan karakteristik Indonesia.
Konsep parliamentary threshold yang ideal terhadap sistem pemerintahan presidensial adalah: Pertama, PT harus mampu mengakomodir semua golongan. Kedua, menaikan besaran PT secara bertahap dan konsituen dari 3,5% menjadi  5%. Ketiga, mengakomodir suara yang tidak lolos  parliamentary  threshold melalui proses stembus accourd (penggabungan) terhadap partai politik peserta pemilu berdasarkan kesamaan ideologi dengan syarat-syarat tertentu untuk menghindari meningkatnya tingkat disproporsionalitas suara. Selain itu, perlu juga aturan tambahan pendukung lainnya agar sistem pemerintahan presidensial bisa berjalan dengan efektif yaitu :
1.Memperkuat persyaratan kepengurusan Partai Politik  khususnya kepengurusan yang mencakup seluruh wilayah kabupaten di Indonesia.
2.Memperkecil cakupan daerah pemilihan dan mengurangi jumlah fraksi
3.Melakukan pemilihan secara serentak antara pemilihan presiden dan Pemilu Legislatif sebagai langkah dalam memangkas ketergantungan presiden terhadap partai politik lewat kontrak koalisi.


B.     PEMILU SERENTAK 2019
1.      Latar Belakang Adanya Pemilu Serentak
            Apabila pilihan pemilih untuk calon anggota DPR dipengaruhi oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dipilih (coattail  effect) itu benar, maka partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kurang baik di mata pemilih (―kurang laku dijual‖) cenderung akan mendapatkan suara dalam jumlah yang kecil. Apabila ambang-batas perwakilan sebesar 3.5% masih diberlakukan, maka kemungkinan besar partai atau gabungan partai politik tersebut tidak akan mampu melewati ambang batas perwakilan tersebut.Karena itu,  konsekuensi kedua Pemilu Nasional Konkuren adalah penyederhanaan jumlah partai politik.
Belajar dari pengalaman Pemilu Anggota DPR Tahun 2014 yang ternyata tidak mampu mengurangi jumlah partai politik di DPR melainkan justru menambah jumlah partai dari 9 menjadi 10 partai di DPR, maka ambang batas perwakilan saja tidak cukup mampu menyederhanakan jumlah partai politik di DPR. Diperlukan sejumlah desain sistem pemilihan umum lainnya yang juga bertujuan yang sama, yaitu menyederhanakan jumlah partai politik di DPR.
Setidak-tidaknya terdapat dua disain sistem pemilihan umum lainnya yang perlu diadopsi selain Pemilu Nasional Konkuren. Desain sistem pemilihan umum yang paling efektif mengurangi jumlah partai politik adalah besaran  daerah  pemilihan. Makin kecil  besaran  dapil, makin sukar bagi partai politik untuk mendapatkan kursi. Karena itu, tujuan penyederhanaan jumlah partai politik tersebut perlu dicapai tidak saja dengan Pemilu  Nasional Konkuren tetapi juga besaran  dapil yang diperkecil. Apabila besaran  daerah  pemilihan (district magnitude) anggota DPR diturunkan dari tingkat sedang (3-10 kursi) sekarang ini menjadi tingkat  kecil (3-6 kursi), maka jumlah partai politik yang mampu memenuhi ambang batas perwakilan niscaya akan berkurang dari jumlah sekarang
.Pemilu serentak dapat juga dirancang untuk memberikan efek dari satu pemilihan ke pemilihan lainnya. Biasanya yang menjadi pertimbangan adalah untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden dengan menggunakan hasil pemilihan legislatif sebagai salah satu dasar penentuan pemenang. Dengan aturan tertentu, bisa disusun adanya pengaruh perolehan suara partai tertentu dengan syarat kemenangan kandidat presiden partai tersebut, sehingga satu jenis pemilihan akan memiliki efek mekanis terhadap hasil pemilihan lainnya. Partai dengan perolehan suara terbanyak maka dapat mengantarkan kandidat presidennya untuk menduduki kursi kepresidenan meski hasilnya di pemilihan presiden belum tentu yang paling baik.
            Dalam varian tertentu, efek mekanistis diharapkan terjadi dalam rentang waktu tertentu, seperti halnya yang lazim disebut sebagai  coattail effect. Misalnya, pemilu legislatif dan presiden diharapkan mempengaruhi hasil pemilu sela, atau pemilu yang diadakan setelahnya.
2.      Model Pemilu Serentak
Secara umum, untuk konteks Indonesia dengan mendasarkan pada varian secara empirik maupun hipotetis, terdapat setidaknya enam model pemilu serentak.  Pertama,  pemilu serentak sekaligus serentak, satu kali dalam lima tahun, untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilihan presiden, serta pemilukada. Ini seringkali disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan.
 Kedua, pemilu serentak hanya untuk seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Dalam model  clustered concurrent election  ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya, dan kemudian diikuti pemilu presiden, gubernur dan bupati/walikota beberapa bulan kemudian.
Ketiga, pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, di mana dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal (concurrent election with mid-term election). Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dibarengkan pelaksanaannya dengan pemilu presiden. Sementara pemilu DPRD Propinsi, kabupaten/kota dibarengkan pelaksanaannya dengan pemilihan gubernur dan bupati/walikota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional.
 Keempat,  pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Dalam model ini, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota serta pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan pengelompokan  region  atau wilayah kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus untuk wilayah Pulau Sumatera. Kemudian disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau Jawa, dan tahun keempat untuk wilayah Bali dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk wilayah sisanya.
Dengan model ini maka setiap tahun masing-masing partai akan selalu bekerja untuk mendapatkan dukungan dari pemilih, dan pemerintah serta partai politik dapat selalu dievaluasi secara tahunan oleh pemilih.
Kelima,  adalah pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model  concurrent election with flexible concurrent local elections  ini maka pemilihan Presiden dibarengkan dengan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadual pemilu lokal yang telah disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota serta memilih anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di suatu provinsi, dan kemudian diikuti dengan pemilu serentak lokal yang sama di provinsi-provinsi lainnya sehingga bisa jadi dalam setahun ada beberapa pemilu serentak lokal di sejumlah provinsi.
Keenam,  adalah pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu serentak tingkat lokal hanyalah untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara bersamaan di suatu provinsi, dan jadualnya tergantung dari siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi yang telah disepakati.Pada model pertama, kedua, dan ketiga, jika tujuan pemilu serentak hanya untuk sekedar penghematan biaya memang terjawab. Namun penyelenggaraan pemilu menjadi semakin rumit, konfigurasi politik menjadi tidak menentu, bahkan bisa jadi tidak muncul  political blocking secara jelas dan dapat menyuburkan politik transaksional karena kebutuhan terhadap dukungan elektoral untuk memenangkan pemilu.
Sementara pelaksanaan pemilu serentak pada model ketiga, keempat, dan kelima diyakini membuat sistem pemilihan  lebih sederhana. Dengan dilaksanakannya pemilu untuk anggota DPR dan pemilihan Presiden secara bersamaan maka kecenderungannya ialah hanya terdapat dua blok besar koalisi partai politik, dimana keduanya mencalonkan pasangan capres cawapres masing-masing karena kemungkinan mengarah pada dua putaran atau hanya dua kandidat utama sangat besar.Blocking politics yang tercipta dari hasil pemilu eksekutif dan legislatif ditingkat nasional kemungkinan akan mewujud pula di daerah. Jika kinerja presiden dan anggota  legislatif hasil pemilu nasional baik, maka pemilih juga akan memilih pasangan kepala daerah dan caleg DPRD yang berasal dari partai-partai koalisi pemilu nasional. Dengan demikian kongruensi tidak hanya tercipta di level eksekutif-legislatif, melainkan juga pusat dan daerah. 
3.      Format Ideal Pemilu Serentak 2019 Kekuatan dan Kelemahan dari Masing-Masing Model Pemilu Serentak di Indonesia
Bila kita membaca secara seksama enam model pemilu serentak tersebut di atas, kita dapat menganalisis kekuatan dan kelemahan masing-masing. Model pertama, pemilu serentak untuk semua jabatan legislatif dan eksekutif dari tingkat nasional, regional dan lokal, atau disebut juga pemilu borongan, memiliki kekuatan yaitu semua pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun secara serentak. Namun, model pertama ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sulitnya para pemilih untuk mengetahui dan memilih para calon pejabat politik, eksekutif dan  legislatif, dari begitu banyak nama calon. Waktu yang dibutuhkan pemilih di bilik suara juga akan sangat lama; (2) kertas suaranya (ballot paper) akan sangat tebal; (3) persiapan logistiknya akan sangat rumit; (4) perhitungan suaranya juga akan memakan waktu yang cukup lama, lebih dari dua minggu.
Model Kedua, pemilu serentak untuk seluruh  jabatan legislatif yang disusul oleh pemilu serentak beberapa bulan kemudian untuk seluruh jabatan eksekutif nasional, regional dan  lokal, atau dikenal dengan clustered concurrent elections. Kekuatan model ini ialah para pemilih dapat memahami adanya pemisahan pemilu eksekutif dan legislatif secara baik. Namun, kelemahannya juga cukup banyak, antara lain (1) pemilih juga sulit membedakan para calon anggota legislatif dari berbagai tingkatan tersebut nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (2) penyiapan dan pengiriman logistiknya juga rumit; (3) kertas suaranya juga sangat tebal; (4) penghitungan suaranya juga sangat rumit dan memakan waktu lama. Pemisahan pemilu  legislatif  serentak dan eksekutif serentak ini juga menyebabkan tiadanya kaitan politik antara hasil pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Dengan kata lain, eksekutif yang terpilih pada tingkatan apa pun (presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) mungkin tidak didukung oleh koalisi partai mayoritas di parlemen.
Model ketiga, pemilu serentak terpisah antara pemilu nasional dan pemilu regional dan lokal  dengan masa jeda dua atau tiga tahunan (concurrent election with mid-term elections). Dengan kata lain, pemilu presiden, DPR dan DPD dilaksanakan serentak disusul dua atau tiga tahun kemudian oleh pemilu serentak untuk gubernur, DPRD Provinsi, bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Model ini dapat menimbulkan hubungan eksekuti nasional dan  lokal secara baik, namun melaksanakan pemilu serentak di tingkat regional dan  lokal  juga suatu pekerjaan yang mudah. Persoalan-persoalan yang muncul pada model pertama dan model kedua dapat juga muncul pada penilu serentak model ketiga ini.
Model keempat, pemilu serentak  legislatif  dan eksekutif pada tingkatan nasional dan pemilu serentak tingkat provinsi dan kabupaten/kota atas dasar pengelompokan wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua (concurrent election with regional-based concurrent elections)  dengan jeda waktu satu tahunan dari satu region ke region lainnya. Model keempat ini tidak memiliki kekuatan apa pun melainkan malah akan memecah Indonesia ke dalam region-region. Model ini juga tetap akan menimbulkan banyaknya pemilu di Indonesia pada tingkatan lokal yang amat rumit.
Model kelima, pemilu serentak tingkat nasional yang diikuti oleh pemilu  lokal  serentak pada tingkatan provinsi (concurrent national election with flexible concurrent local elections at provincial levels). Pada tingkatan nasional, presiden, DPR dan DPD dipilih secara serentak dan pemilu serentak regional dan lokal pada tingkatan provinsi. Model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilihan eksekutif dan  legislatif  dan adanya keserasian hubungan antara eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Model ini adalah juga yang paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia untuk waktu ke depan. Persiapan, penyelenggaraan, dan penghitungan hasil pemilu juga lebih mudah dikelola dengan baik.
Model keenam adalah pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu serentak tingkat lokal hanyalah untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara bersamaan di suatu provinsi, dan jadualnya tergantung dari siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi yang telah disepakati.
Model pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dan Kota) adalah yang dikenal saat ini. Pemilu eksekutif di tingkat provinsi, kabupaten dan kota pada satu provinsi juga mudah dilaksanakan. Namun, akan terjadi kesenjangan waktu pemilihan eksekutif dan  legislatif  lokal. Ini juga tidak sejalan dengan UU Pemilihan umum yang menyatukan pemilihan umum nasional dan memasukkan pemilu  legislatif  dan eksekutif  lokaldalam UU pemerintahan daerah yang baru.
4.    Model Pemilu Serentak Nasional dan Lokal
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 3 Januari 2014 yang mengabulkan sebagian atas gugatan uji materi UU No 42 Tahun 2008 yang berdampak dilaksanakannya Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden secara serempak di tahun 2019, menimbulkan kontroversi. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden secara serempak adalah yang konstitusional sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Di sisi lain, ini menimbulkan pertanyaan, jika pemilu serempak itu memang yang paling sesuai dengan konstitusi, mengapa pelaksanaannya diundur pada 2019 dan bukan pada 2014.
Lepas dari perdebatan interpretasi atas keputusan MK tersebut, masa lima tahun ke depan ini adalah masa yang cukup krusial bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR -RI) untuk mempersiapkan perangkat UU pemilu serempak, agar pelaksanaan pemilu pada 2019 dapat berjalan dengan baik. Berbagai aturan dalam UU Pemilu sebagian tentunya akan berbeda dengan UU pemilu yang ada sebelumnya, yang memisahkan pemilu legislatif dan pemilu Presiden/Wakil Presiden. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan UU Pemilu mendatang.
Pertama, pengertian pelaksanaan pemilu serentak harus ditentukan terlebih dahulu, apakah pemilu lima kotak yang selama ini difahami banyak pihak yaitu pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPR dan DPRD, ataukah serentak di semua cabang eksekutif dan legislatif pada tingkatan nasional dan lokal?; kedua, jumlah dan bentuk kertas suara untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, Gubernur dan DPRD Provinsi, Bupati dan Walikota serta DPRD Kabupaten/Kota tentunya sangat banyak banyak dan membutuhkan informasi yang jelas bagi para calon pemilih; ketiga, pemilih membutuhkan waktu yang tidak sedikit dalam menentukan pilihan mereka dari memilih para kandidat eksekutif dan legislatif dari pusat sampai ke daerah yang jumlahnya ratusan ribu calon tersebut; keempat, berdasar pada butir-butir tersebut di atas, apakah cukup realistis jika pemilu serentak secara nasional dari pusat sampai ke daerah dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Ada beberapa opsi sistem pemilu serentak di Indonesia:
a.  Pertama, pemilu serentak untuk jabatan politik pada tingkat nasional yaitu pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR dan DPD secara serentak;
b.  Kedua, pemilu serentak untuk jabatan politik pada tingkat lokal dari Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi;
c.  Ketiga, pemilu serentak secara nasional untuk pejabat politik nasional dan lokal  dari Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi.
d.  Keempat, pemilu serentak secara nasional untuk jabatan politik lokal di seluruh Indonesia dari Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tiap-tiap provinsi. Pelaksanaan sistem pemilu serentak dalam butir satu dan dua jauh lebih mudah dikelola dan mengandung implikasi politik yang lebih baik dibandingkan dengan opsi ketiga dan keempat.
Opsi pertama hanya mengatur pemilu serentak untuk jabatan-jabatan politik eksekutif dan legislatif pada tingkatan nasional. Opsi kedua, penentuan waktu pelaksanaan pemilunya juga lebih mudah diatur, termasuk pengaturan masa jabatan pejabat politik di tingkat lokal yang harus diperpendek atau diperpanjang. Bila harus diperpendek diberikan kompensasi ekonomi dan politik sedangkan mereka yang jabatannya habis sementara waktu pemilunya masih setahun atau dua tahun lagi bisa diangkat pejabat sementara gubernur, bupati atau walikota.Urgensi Pemilu Nasional Serentak Yang Terpisah Dari Pemilu Lokal Serentak





KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa instrumen PT tidak berhasil atau dapat dikatakan gagal mencapai tujuan menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana. Yang terjadi hanyalah upaya yang pragmatis dan pihak yang kalah hampir selalu membentuk partai politik baru, sehingga upaya menyederhanakan partai politik melalui instrumen apapun akan tetapi tidak maksimal.
Putusan Mahkamah Konstitusi agar Indonesia menerapkan sistem pemilihan serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden mulai tahun 2019 menyediakan momentum dan baik untuk dijadikan alasan untuk melakukan konsolidasi kebijakan sistem pemilu Indonesia di masa depan. Konsolidasi kebijakan itu perlu diarahkan untuk maksud konsolidasi ke arah sistem demokrasi yang lebih efisien dan efektif dalam menciptakan sistem pemerintahan yang kuat, efektif, tetapi akuntabel dan berintegritas.
Secara lebih khusus, konsolidasi sistem pemilihan umum itu akan turut mempengaruhi sistem demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan kredibel di masa depan, yang tidak hanya bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi dan  ‘rule of law’, tetapi juga berintegritas karena disadarkan atas prinsip-prinsip ‘rule of ethics’ yang efektif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar