MEMBANGUN
PERAN SOSIAL PRIA DAN WANITA DALAM ERA EMANSIPASI SEBAGAI WUJUD MERUBAH
KONSTRUKSI BUDAYA PADA REMAJA
Untuk mata kuliah Perkembangan
Peseta Didik
Dosen Pengampu:
Dr.Triana Rejekiningsih.SH.KN.M.Pd
Disusun oleh:
Nama : Anggi Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
1)
Latar
Belakang
Keluarga
merupakan sub sistem dari
masyarakat dan negara, yang memiliki
struktur sosial serta sistemnya sendiri.
Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai,
dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan nyaman, seorang
istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan kenyamanan, ketentraman,
melakukan tugas-tugasnya sebagai
kepala keluarga. Banyak hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan
berkembang, mengenal dirinya, ayah dan ibunya, saudara -saudaranya, belajar memahami
segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai
perbedaan bahkan konflik yang terjadi.
Meskipun
pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan
dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian
besar kelompok masyarakat lainnya,
relasi yang seimbang antara perempuan dan laki -laki masih jauh dari harapan.
Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara
laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya
setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki
kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki -
perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan
gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.
2)
Rumusan
Masalah
a. Apakah
peran sosial pria dan wanita saat ini sama?
b. Apakah
peran sosial merupakan warisan biologis atau budaya?
c. Bagaimana
membangun peran sosial di dalam keluarga?
d. Bagaimana
pembentukan peran sosial pada remaja?
3)
Tujuan
a. Mengetahui
peran sosial pria dan wanita pada zaman modern sebagi wujud dari emansipasi.
b. Mempelajari
bahwa peran sosial merupakan bagian dari warisan biologis atau budaya.
c. Mengkonstruksikan
bagaimana cara membangun peran sosial di dalam keluarga.
d. Mempelajari
bagaimana pembentukan peran pria dan wanita sebagai seorang remaja.
BAB
II
PEMBAHASAN
1)
Hakikat
Gender
Konsep
gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada
akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar
pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan tidak dapat diubah.
Adapun gender adalah sifat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural
dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya
mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial
budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat.
Secara
sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran
laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis
kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan
tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.Kerancuan dalam mempersepsi
perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada
relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang
memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki.
2)
Peran
Gender : Warisan Biologis atau Budaya
Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini
muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif,
rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di
sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan
tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima
nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll. Berkembangnya peradaban
mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi yang muncul dan selalu
melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian juga sebaliknya. Sebab,
pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang membuktikan bahwa hal
tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun
dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan
laki -laki dan perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki
sendiri (terutama), juga di kalangan perempuan.
Beberapa
kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya gender
adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik
dalam status, peran yang melekat ataupun hak -hak yang sebenarnya merupakan hak
universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak laki-laki tidak boleh
menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak perempuan
boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain permainan
yang identik sebagai permainan
perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti
anak perempuan, atau jika ada anak laki -laki yang bermain seperti perempuan
lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci).
Selain
itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak
laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah --tentunya juga mengerjakan pekerjaan yang
identik laki-laki-- Proses pewarisan
nilai ini pada akhirnya akan menjadikan
anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa
yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada
seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya, konsep
ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology,
Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki -laki dan perempuan membawa
pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda.
Jika
perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait ‘pengasuhan’
(nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah melahirkan
membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya, perempuan
mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara perempuannya,
saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini membawa trait
pada ‘kepekaan hubungan’ (relatedness). Demikian halnya, laki-laki yang pergi
mencari nafkah/makanan, juga mengembangkan trait tertentu yaitu agresivitas dan
ketrampilan dalam hal kepemimpinan dan tanggungjawab (diperlukan untuk melindungi
keluarga) serta status dalam komunitasnya. Kombinasi hal-hal tersebut, membuat
laki-laki akan nyaman dalam suatu hubungan dengan perempuan yang melibatkan
dominasi daripada kesetaraan.
Kondisi-kondisi
tersebut pada akhirnya memunculkan satu tuntutan universal yang mendapat
dukungan dalam proses sosialisasi yaitu bahwa laki-laki harus kuat, percaya
diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan mempunyai sifat pengasuhan,
orientasinya pada suatu hubungan. Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang
dilazimkan harus dimiliki oleh jenis kelamin
tertentu, seperti:
1. Agresivitas milik laki-laki. Dalam beberapa
budaya, laki-laki disosialisasikan berperilaku lebih agresif daripada
perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan
sumber-sumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Sebagian
besar masyarakat didunia menganut sistem perkawinan poligini. Dalam system ini agresivitas sangat dihargai
dan anak laki-laki disosialisasikan untuk bereperilaku agresif..
2. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi
perempuan. Bila laki-laki agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan
bagi perempuan. Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat
kepatuhan yang tinggi --terutama
kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka --. Secara eksplisit dalam
budaya muncul idion swargo nunut, neroko
katut (ke surga ikut, ke neraga turut).
Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat tersebut
betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami, bahkan
untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan yang
dalam.
Pada
sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki -laki karena
perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum sehingga
menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya, tampaknya
secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat kepatuhan
yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang dimilikinya.
3. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki.
Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi daripada perempuan, sejak
kecil disosialisasikan dalam bentuk-bentuk permainannya, Mereka banyak
melakukan kegiatan di luar rumah, macam permainannya seperti sepak bola, basket
dan banyak aktivitas lainnya yang menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah.
Sementara itu perempuan dicirikan dengan permainan-permainan yang sedikit
sekali memerlukan tenaga, seperti bermain pasar-pasaran. Pada akhirnya jika ada
anak perempuan yang melakukan aktivitas seperti anak laki-laki, lingkungan
sekitarnya akan "mencibirkannya", dan kita biasa memberinya julukan
sebagai tomboy.
4. Perempuan ditengarai memiliki tingkat
perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan) dibanding dengan laki-laki. Sifat
tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang lemah setelah proses kelahiran
anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh, merawat anak-anaknya, yang pada
akhirnya peempuan mengembangkan dan memelihara hubungan baik. Hal ini sangat
dibutuhkan perempuan untuk ‘menjaga’ (secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan
dalam memenuhi tuntutan pengasuhan anak.
Meski
dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki-laki dan
perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis
jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin
yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh
lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan
sesuatu yang sakral.
Hingga
pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang
menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi
dalam teks -teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu
membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah secara empirik
ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak.
3)
Membangun
Peran Pria dan Wanita Dalam Keluarga
Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing
anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala
keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan
jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki
struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki
kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar
dibanding anggota keluarga perempuan.
Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat,
misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan
ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri.
Padahal,
faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung
keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya
dan lebih mampu bertahan dalamkesulitan
ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik
perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat
di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di
banyak daerah, peran perempuan dalam
memperkuat ekonomi keluarga
tersebut seringkali tidak diperhitungkan
dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).
Persepsi
seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di
sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi
keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada
suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan
pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak
ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan
mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Jika
diamati, pada saat krisis ekonomi
terjadi, dimana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK,
serta sulitnya mencari lapangan kerja baru
membuat kaum perempuanlah yang bangkit
menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu
yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan makanan/jajanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga
keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai
kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus
rumah, dll.) tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan,
apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya
baik di dalam rumah (domestik) maupun di luar rumah (publik).
Berbeda
dengan pendekatan teori struktural-fungsional
yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang
menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak -anak pada posisi vertikal,
sehingga peran, hak, kewajiban,
tanggung jawab sangat ditentukan
oleh hierarki patriakal. Sedangkan
menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan
konflik berkepanjangan di dalam
keluarga. Karena sistem struktur yang
hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian
sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak
tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga.
4)
Upaya
Pembentukan Peran Sosial Yang Adil Pada Remaja
Masa
remaja (adolescence) merupakan salah satu tahap dalam perkembangan fisik dan
jiwa manusia yang umumnya berada pada rentang usia 13-18 tahun. Masa ini
merupakan masa krisis identitas. Akan tetapi, masa ini pun merupakan periode “role-experimentation”
atau masa seorang individu dapat mengeksplorasi alternatif perilaku, minat, dan
ideologi. Oleh karena itu, tugas perkembngan utama (the major developmental
task) pada remaja ialah membangun identitas/ to createan identity untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan tentang “siapakah saya” dan “ke mana saya akan melangkah”. Hal ini
harus dapat dipecahkan sebelum usia 20 atau pertengahan 20-an, agar individu
dapat melanjutkan tugas kehidupannya dengan baik, memiliki consistent sense of
selfatau standar internal untuk menilai kebermaknaan dirinya dalam bidng
kehidupan utamanya sehingga tidak akan mengalami kebingungan identitas.
Setiap
individu tentunya mengharapkan memiliki kepribadian yang ideal, atau yang
disintesiskan Rogers, Shoben, Health, Barron, Allport dan Maslow, ke dalam konsep
“effective personality” , yaitu sebagai berikut.
1.
Konsistensi. Orang yang efektif senantiasa konsisten dalam perilakunya, baik
dalam peran sosial lintas waktu dan lintas peran.
2.
Komitmen. Orang yang efektif dapat melibatkan dirinya secara penuh untuk mencapai
suatu tujuan atau maksud tertentu dan mapu mengambil resiko psikologis, ekonomis
dan fisikal yang masuk akal.
3.
Kontrol. Orang yang efektif mampu mengendalikan dorongan maupun respons emosional
dan mampu menerima hal-hal yang tak dapat diubah dan tak dapat dihindarkan
tanpa respons emosional yang tidak sesuai/tepat dengan hakikat/intensitas
masyarakat.
4.
Kompetensi. Orang yang efektif memiliki sejumlah perilaku untuk mengatasi. Ia adalah
seorang pemecah masalah yang efektif dan mampu menguasai lingkungan dalam keterbatasan
kemungkinan yang ia miliki.
5.
Kreativitas. Orang yang efektif mampu berpikir dalam cara yang orisinal bahkan
berbeda/menyimpang. Kelima hal tersebut sulit dicapai, apalagi oleh perempuan,
antara lain karena untuk alasan yang sederhana karakteristik yang secara aktif
ditanamkan masyarakat merugikan perempuan. Contoh, dalam aspek eksistensi
budaya kita justru menuntut agar perempuan tidak konsisten dalam kaitan dengan
peran dan lintas waktu.
Menurut
pendekatan pembelajara sosial (social learning approach), perilaku dn konsep
diri merupakan hasil interaksi yang terus menerus antara seseorang dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, kondisi lingkungan membentuk perilaku melalui pembelajaran
dan sebaliknya, perilaku orang akan membentuk lingkungan. Menurut teori ini,
pendidikan untuk perempuan hendaknya :1) membentuk manusia seutuhnya, yakni
manusia androgini; 2) mengembangkan potensi kreatif, produktif, aktif, dan mandiri
dalam pikiran dan perbuatan; dan 3) membangun citra perempuan sebagai perempuan
yang mampu mengaktualisasikan kemampuan potensialnya dengan pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran diri dari diri perempuan itu sendiri .
Teori
lainnya yang memberi terapi bagi kaum perempuan dalam membentuk konsep dirinya
secara benar adalah konsep sex role trancendenceyang dikemukakan Hefner,
Rebecca dsan Oleshanky (1975). Menurut konsep ini, perkembangan individu memiliki
tiga tahapan. Pada tahap awal (anak-anak), peran gender tidak dibedakan. Anak-anak
tidak memilki konsepsi yang jelas tentang perilaku-perilaku yang dilarang atau
diharapkan oleh kebudayaan yang bersangkutpaut dengan gender biologis.
Pada
tahap kedua, individu merasa perlu mengikuti deskripsi tentang perilaku,
pikiran, dan perasaan yang sesduai dengan jenis kelaminnya, dan dalam hal ini
didorong oleh institusi budaya. Individu akhirnya mencapai tahap ketiga, yaitu
tahap ketika iamengubah kutubnya untuk bergerak secar bebas dari situasi ke
situasi dengan perilasku dan perasaan yng sesuai dan adaptif, untuk membuat
pilihan yang tidak dibatasi secara kaku oleh karakteristik peran gender, dan
untuk berperilaku adan merasakan sesuai dengan personal dirinya sebagai
individu seutuhnya.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagaitugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau anak
perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan.
Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam
keluarga tidak terjebak pada
streotype yang dilekatkan pada
perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak
diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya
yang masih berorientasi pada dogma-dogma patriarkis.
Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai
sifat-sifat feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat,
tidak cengeng dan dengan segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan
perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang tua dalam kehidupan
sehari-hari. Padahal, setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki
sifat feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat
yang lebih dominan. Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam
keluar ga yang tidak seimbang, bahkan menempatkan posisi perempuan sebagai
subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang secara tidak sadar
konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan
konflik kemanusiaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Megawangi,
Ratna, 1999: Membiarkan Berbeda?: Sudut
Pandang Baru tentang Relasi Gender, Penerbit Mijan, Bandung.
Kantor
Menteri Negara UPW. 1997. Petunjuk Penyusunan Perencanaan Pembangunan
Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta: Kantor
Men.UPW.
Hurlock,B
Elizabeth.1978. Child Developmen;Perkembangan
Anakt.McGraw-Hill.Inggris
Syaikhah
binti Abdillah.2007.Mencetak Generasi
Berkualitas.Aulia Press.Solo
Haikal,Husain.2012.Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa.Pustaka
Pelajar,Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar