Senin, 23 November 2015

Membangun Peran Sosial Pria dan Wanita dalam Era Emansipasi Sebagai Wujud Merubah Konstruksi Budaya Pada Remaja



MEMBANGUN PERAN SOSIAL PRIA DAN WANITA DALAM ERA EMANSIPASI SEBAGAI WUJUD MERUBAH KONSTRUKSI BUDAYA PADA REMAJA
 Untuk mata kuliah Perkembangan Peseta Didik
Dosen Pengampu:
Dr.Triana Rejekiningsih.SH.KN.M.Pd

Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007





PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
1)      Latar Belakang
Keluarga merupakan  sub sistem dari masyarakat  dan negara, yang memiliki struktur sosial serta  sistemnya sendiri. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai,  dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan  tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami  memberikan kenyamanan, ketentraman, melakukan    tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.  Banyak  hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan berkembang, mengenal dirinya, ayah dan ibunya, saudara -saudaranya, belajar memahami segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai perbedaan bahkan konflik  yang  terjadi.  
Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan,  misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat  lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan laki -laki masih jauh dari harapan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki  -  perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.
2)      Rumusan Masalah
a.       Apakah peran sosial pria dan wanita saat ini sama?
b.      Apakah peran sosial merupakan warisan biologis atau budaya?
c.       Bagaimana membangun peran sosial di dalam keluarga?
d.      Bagaimana pembentukan peran sosial pada remaja?
3)        Tujuan
a.       Mengetahui peran sosial pria dan wanita pada zaman modern sebagi wujud dari emansipasi.
b.      Mempelajari bahwa peran sosial merupakan bagian dari warisan biologis atau budaya.
c.       Mengkonstruksikan bagaimana cara membangun peran sosial di dalam keluarga.
d.      Mempelajari bagaimana pembentukan peran pria dan wanita sebagai seorang remaja.















BAB II
PEMBAHASAN
1)        Hakikat Gender
Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis,  berlaku universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender  adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang  masyarakat.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu  sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki.
2)        Peran Gender : Warisan Biologis atau Budaya
 Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll. Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun   dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki -laki dan perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama), juga di kalangan perempuan.
Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak -hak yang sebenarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain permainan yang identik  sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki -laki yang bermain seperti perempuan lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci).
Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah  --tentunya juga mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki--  Proses pewarisan nilai  ini pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology, Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki -laki dan perempuan membawa pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda.
Jika perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait ‘pengasuhan’ (nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah melahirkan membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya, perempuan mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara perempuannya, saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini membawa trait pada ‘kepekaan hubungan’ (relatedness). Demikian halnya, laki-laki yang pergi mencari nafkah/makanan, juga mengembangkan trait tertentu yaitu agresivitas dan ketrampilan dalam hal kepemimpinan dan tanggungjawab (diperlukan untuk melindungi keluarga) serta status dalam komunitasnya. Kombinasi hal-hal tersebut, membuat laki-laki akan nyaman dalam suatu hubungan dengan perempuan yang melibatkan dominasi daripada kesetaraan.
Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan satu tuntutan universal yang mendapat dukungan dalam proses sosialisasi yaitu bahwa laki-laki harus kuat, percaya diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan mempunyai sifat pengasuhan, orientasinya pada suatu hubungan. Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh  jenis kelamin tertentu, seperti:
1.  Agresivitas milik laki-laki. Dalam beberapa budaya, laki-laki disosialisasikan berperilaku lebih agresif daripada perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumber-sumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Sebagian besar masyarakat didunia menganut sistem perkawinan poligini.  Dalam system ini agresivitas sangat dihargai dan anak laki-laki disosialisasikan untuk bereperilaku agresif..
2.  Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan. Bila laki-laki agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan. Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi  --terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka --. Secara eksplisit dalam budaya muncul idion  swargo nunut, neroko katut  (ke surga ikut, ke neraga turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami, bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan yang dalam.
Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki -laki karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya, tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang dimilikinya.
3.  Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi daripada perempuan, sejak kecil disosialisasikan dalam bentuk-bentuk permainannya, Mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah, macam permainannya seperti sepak bola, basket dan banyak aktivitas lainnya yang menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah. Sementara itu perempuan dicirikan dengan permainan-permainan yang sedikit sekali memerlukan tenaga, seperti bermain pasar-pasaran. Pada akhirnya jika ada anak perempuan yang melakukan aktivitas seperti anak laki-laki, lingkungan sekitarnya akan "mencibirkannya", dan kita biasa memberinya julukan sebagai  tomboy.
4.  Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan) dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang lemah setelah proses kelahiran anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh, merawat anak-anaknya, yang pada akhirnya peempuan mengembangkan dan memelihara hubungan baik. Hal ini sangat dibutuhkan perempuan untuk ‘menjaga’ (secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan pengasuhan anak.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki-laki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral.
Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks -teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak.
3)        Membangun Peran Pria dan Wanita Dalam Keluarga
Dalam  teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur  kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi  dalam keputusan-keputusan keluarga.  Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur  sosial  lebih tinggi dibanding saudara perempuan.  Relasi yang terbangun seringkali  menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar  dibanding anggota keluarga perempuan.    Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung  jawab ibu/istri.
Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya  dan lebih mampu bertahan  dalamkesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran  perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga  tersebut  seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).
Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan  dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Jika diamati, pada saat  krisis ekonomi terjadi,  dimana  banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru  membuat  kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga.  Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan makanan/jajanan  atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi    yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.  Artinya, bahwa  peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus rumah,  dll.) tidak benar,  karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam rumah (domestik) maupun di luar rumah (publik).
Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional  yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak -anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban,  tanggung  jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal.  Sedangkan menurut  teori sosial konflik,  struktur yang vertikal tersebut sangat  potensial untuk  menimbulkan  konflik berkepanjangan  di dalam keluarga.  Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan,  keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga.
4)        Upaya Pembentukan Peran Sosial Yang Adil Pada Remaja
Masa remaja (adolescence) merupakan salah satu tahap dalam perkembangan fisik dan jiwa manusia yang umumnya berada pada rentang usia 13-18 tahun. Masa ini merupakan masa krisis identitas. Akan tetapi, masa ini pun merupakan periode “role-experimentation” atau masa seorang individu dapat mengeksplorasi alternatif perilaku, minat, dan ideologi. Oleh karena itu, tugas perkembngan utama (the major developmental task) pada remaja ialah membangun identitas/  to createan identity untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang “siapakah saya” dan “ke mana saya akan melangkah”. Hal ini harus dapat dipecahkan sebelum usia 20 atau pertengahan 20-an, agar individu dapat melanjutkan tugas kehidupannya dengan baik, memiliki consistent sense of selfatau standar internal untuk menilai kebermaknaan dirinya dalam bidng kehidupan utamanya sehingga tidak akan mengalami kebingungan identitas.
Setiap individu tentunya mengharapkan memiliki kepribadian yang ideal, atau yang disintesiskan Rogers, Shoben, Health, Barron, Allport dan Maslow, ke dalam konsep “effective personality” , yaitu sebagai berikut.
1. Konsistensi. Orang yang efektif senantiasa konsisten dalam perilakunya, baik dalam peran sosial lintas waktu dan lintas peran.
2. Komitmen. Orang yang efektif dapat melibatkan dirinya secara penuh untuk mencapai suatu tujuan atau maksud tertentu dan mapu mengambil resiko psikologis, ekonomis dan fisikal yang masuk akal.
3. Kontrol. Orang yang efektif mampu mengendalikan dorongan maupun respons emosional dan mampu menerima hal-hal yang tak dapat diubah dan tak dapat dihindarkan tanpa respons emosional yang tidak sesuai/tepat dengan hakikat/intensitas masyarakat.
4. Kompetensi. Orang yang efektif memiliki sejumlah perilaku untuk mengatasi. Ia adalah seorang pemecah masalah yang efektif dan mampu menguasai lingkungan dalam keterbatasan kemungkinan yang ia miliki.
5. Kreativitas. Orang yang efektif mampu berpikir dalam cara yang orisinal bahkan berbeda/menyimpang. Kelima hal tersebut sulit dicapai, apalagi oleh perempuan, antara lain karena untuk alasan yang sederhana karakteristik yang secara aktif ditanamkan masyarakat merugikan perempuan. Contoh, dalam aspek eksistensi budaya kita justru menuntut agar perempuan tidak konsisten dalam kaitan dengan peran dan lintas waktu.
Menurut pendekatan pembelajara sosial (social learning approach), perilaku dn konsep diri merupakan hasil interaksi yang terus menerus antara seseorang dengan lingkungannya. Dengan kata lain, kondisi lingkungan membentuk perilaku melalui pembelajaran dan sebaliknya, perilaku orang akan membentuk lingkungan. Menurut teori ini, pendidikan untuk perempuan hendaknya :1) membentuk manusia seutuhnya, yakni manusia androgini; 2) mengembangkan potensi kreatif, produktif, aktif, dan mandiri dalam pikiran dan perbuatan; dan 3) membangun citra perempuan sebagai perempuan yang mampu mengaktualisasikan kemampuan potensialnya dengan pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri dari diri perempuan itu sendiri .
            Teori lainnya yang memberi terapi bagi kaum perempuan dalam membentuk konsep dirinya secara benar adalah konsep sex role trancendenceyang dikemukakan Hefner, Rebecca dsan Oleshanky (1975). Menurut konsep ini, perkembangan individu memiliki tiga tahapan. Pada tahap awal (anak-anak), peran gender tidak dibedakan. Anak-anak tidak memilki konsepsi yang jelas tentang perilaku-perilaku yang dilarang atau diharapkan oleh kebudayaan yang bersangkutpaut dengan gender biologis.
Pada tahap kedua, individu merasa perlu mengikuti deskripsi tentang perilaku, pikiran, dan perasaan yang sesduai dengan jenis kelaminnya, dan dalam hal ini didorong oleh institusi budaya. Individu akhirnya mencapai tahap ketiga, yaitu tahap ketika iamengubah kutubnya untuk bergerak secar bebas dari situasi ke situasi dengan perilasku dan perasaan yng sesuai dan adaptif, untuk membuat pilihan yang tidak dibatasi secara kaku oleh karakteristik peran gender, dan untuk berperilaku adan merasakan sesuai dengan personal dirinya sebagai individu seutuhnya.

















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Peran-peran  dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagaitugas/peran  ibu, ayah, anak laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada  streotype  yang dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berorientasi pada dogma-dogma patriarkis.
Image  anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih dominan. Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluar ga yang tidak seimbang, bahkan menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang secara tidak sadar konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan konflik kemanusiaan.





DAFTAR PUSTAKA
Megawangi, Ratna, 1999: Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Penerbit Mijan, Bandung.
Kantor Menteri Negara UPW. 1997.  Petunjuk Penyusunan Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta: Kantor Men.UPW.
Hurlock,B Elizabeth.1978. Child Developmen;Perkembangan Anakt.McGraw-Hill.Inggris
Syaikhah binti Abdillah.2007.Mencetak Generasi Berkualitas.Aulia Press.Solo
Haikal,Husain.2012.Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa.Pustaka Pelajar,Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar