Rabu, 06 Mei 2015

ETNISITAS DAN DISINTEGRASI NASIONAL Konflik Sampit Kalimatan Barat



ETNISITAS DAN DISINTEGRASI NASIONAL
  Konflik Sampit Kalimatan Barat
Sebagai tugas mata kuliah Integrasi Nasional
Dosen Pengampu:
Dra.Ch Baroroh,M.Si
Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007






PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
 Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri (individu) maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara semua jenis konflik, yang paling berbahaya adalah konflik antar etnis. Berhubungan dengan hal tersebut karya tulis ilmiah ini dibuat.











2.      Rumusan Masalah

a.       Apa penyebab dari konflik antar etnis?
b.      Apa dampak dari konflik antar etnis?
c.       Apa solusi dari konflik antar etnis?

3.      Tujuan Penulisan

a.       Penyebab konflik antar etnis.
b.      Dampak dari konflik antar etnis.
c.       Solusi dari konflik antar etnis.

4.      Manfaat Penulisan

a.       Mengetahui penyebab konflik antar etnis.
b.      Mengetahui dampak dari konflik antar etnis.
c.       Mengetahui solusi dari konflik antar etnis.













  
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Masalah Etnisitas
Kasus kalimantan Barat berbeda dengan kasus yang terjadi di Timor Timur dan Aceh, namun memiliki sedikit kesamaan dengan kasus ambon ,jika kasus Timor Timur dan Aceh sarat akan muatan “nasionalisme lokal” atau sentimentil separatisme yang kuat,kasus Kalimantan Barat cukup diwarnai oleh konflik etnik yang mengakar antara penduduk asli Dayak (yang kemudian didukung oleh masyarakat melayu ) dan masyarakat pendatang madura ,faktor keagamaan jelas tidak begitu penting dalam konflik ini ,karena ketiga etnik yang terlibat dalam kerusuhaan massal tersebut tidak dibedakan atas garis keagamaan ,kelompok pertama terdiri dari masyarakat Dayak ,yang sebagian besar beragama kristen dan masyarakat Melayu yang beragama islam ,kelompok ke dua adalah masyarakat Madura –yang sebagaimana masyarakat melayu beragama islam ,karena itu ,faktor faktor yang memotivasi kerusuhaan massal di kalimantan Barat bukan masalah keagamaan melainkan masalah Etnik.
Namun ,seseorang harus berhati-hati sebelum menyimpulkan bahwa kerusuhan di kalimantan barat memang disebab kan oleh faktor etnisitas semata ,kenyataanya,faktor etnik baru muncul belakangan ketika akar konflik mulai memanas,motif etnik –kelihatanya-jarang menjadi point utama untuk menjustifikasi konflik dan kekerasan antara 2 kelompok ,masing –masing kelompok etnik membuat stereotip terhadap etnik lainya ,yang digunakan sebagai justifikasi untuk menyerang kelompok lain.
Mempertimbangkan ini semua ,kasus kalimantan barat sama sekali tidak berhubungan dengan kemunculan nasionalisme lokal dan pemisahan diri,kasus tersebut secara umum disebabkan oleh deprivasi ekonomi yang dikemas dengan etnisitas.
Kerusuhan massal Kalimantan Barat kebanyakan terjadi di daerah sambas dan Pontianak di akhir tahun 1996,dan terus berlanjut hingga awal 1997.skala kerusuhan belum pernah terjadi sebelumnya ,dilaporkan bahwa lebih dari 1.720 orang terbunuh di Sanggau Ledo(sambas),peristiwa banyaknya orang yang terbunuh sebagai akibat dari kerusuhan ,Sanggau Ledo ini,mulai pula merasuk kedaerah-daerah lain dikalimantan Barat,khususnya Pontianak ,ibu kota provinsi Kalimantan Barat ,lebih jauh ,rumah-rumah dan bangunan bangunan milik masyarakat madura-yang tak terhitung jumlahnya – dirusak total,serta ribuaan masyarakat madura diusir dan harus dievakuasi secara permanen dari wilayah Sambas dan pontianak ,Mereka sebagaian besar masih ditempatkan di kamp-kamp pengungsian untuk sementara ,hal ini merupakan penderitaan kemanusiaan yang cukup disayangkan ,kebanyakan pengungsi madura tidak bisa pulang ke madura ,karena dilahirkan di Kalimantan barat ,dan tidak lagi memilliki keluarga serta harta benda di tanah kelahirannya itu
Meskipun kerusuhan berskala besar ini menimbulkan penderitaan ,kerusuhaan massal antara masyarakat Dayak danmasyarakat madura ini merupakan hal baru ,selama 47 tahun terakhir ,setidaknya tercatat 11 insiden kerusuhaan massal terjadi,meskipun pada skala lebih rendah ,ini berarti ,rata-rata sebuah pertikaian terjadi setiap 5 tahun sekali,karena itu ,konflik dan kerusuhaan massal sudah menjadi unsur paten dalam hubungan antaretnik di Kalimantan Timur.
Bagaimana kita menjelaskan kasus kalimantan barat ?tak ada satu penjelasan pun yang dapat menjawabnya pertanyaan tersebut ,penjelasan terhadap kasus tersebut tidak hanya terletak pada berbagai faktor dikalimantan timur sendiri ,melainkan juga kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di jakarta, pada tingkat kalimantan barat ,tidak ada keraguan bahwa konflik dan kekerasan massal berakar dari hubungan yang tidak lazim antar penduduk asli Dayak dan pendatang baru Madura ,sebagaimana disebutkan sebelumnya ,konflik antara kedua kelompok etnik tersebut mengakibatkan konflik dan pertikaian yang datang dan pergih selama lebih dari 50 tahun terakhir,dalam konteks ini ,pertikaian berdarah 1997-1998 bukan merupakan hal baru ,namun lebih merupakan pengulanganmasalah-masalaah sebelumnya yang tak terselesaikan .
Perbedaan budaya antara kedua kelompok etnik tersebut kelihatanya merupakan faktor terpenting disamping hubungan tidak lazim diantar mereka,di Kalimantan Barat ,secara umum masyarakat madura dipandang agresif,keras kepala,licik,dan tidak menghormati budaya,kebiasaan dan sensitivitas penduduk lokal ,masyarakat madura juga diduga keras membawa celurit kemana pun mereka pergih ,stereotip masyarakat madura ini tentunya bukan merupakan hal baru, sejak zaman penjajahan belanda ,stereotip masyarakat madura tetap tidak berubah ,stereotip masyarakat madura tersebut menjelaskan 2 kemungkinan saja ,yaitu : pertama bahwa stereotip tersebut memang benar dan merupakan bagian dari masyarakat madura ;atau kedua,bahwa masyarakat madura tidak berubah meskipun telah bertempa tinggal diluar kampung halamanya ,yaitu kalimantan barat.
Disisi lain ,banyak orang luar termaksud etnik jawa atau mungkin juga madura menciptakan stereotip tersendiri terhadap masyarakat Dayak kebanyakan orang dayak dipandang sebagai masyarakat yang tidak keberadaban ,yang tujuan umumnya adalah berburu kulit kepala manusia ,stereotip ,sikap dan kebiasaan sehari-hari masyarakat madura yang diamati oleh masyarakat Dayak –oleh juga masyarakat melayu- di kalimantan barat tidak hanya menciptakan benturan budaya ,namun sekaligus menciptakan permusuhan dan kebencian diantara mereka ,sebagaimana kasus hubungan muslim dan kristen di Ambon ,hubungan yang tidak lazim antara masyarakat dayak dan madura tidak pernah boleh dibicarakan secara terbuka pada massa soeharto ,sehingga digolongkan pada kedalam isu S.A.R.A
Selama beberapa waktu ,kerusuhan massal diantara masyarakat Dayak dan madura kelihatan mereda,namun kasus tersebut masih jauh dari penyelesaian ,karena itu ,kita dituntut untuk dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan lebih lanjut ,para pemimpin formal atau pun informal pada tingkat kalimanan Barat maupun nasional,belum memikirkan diskusi-diskusi dan kebijakan kebijakan serius seputar masalah ini .


1)      Penyebab Konflik antar Etnis
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
2)      Dampak dari Konflik antar Etnis

Konflik dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf  Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel  di dalam posisi dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi dan ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi konflik yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar. Sedangkan dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
3)      Solusi dari Koflik antar Etnis

Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab.  Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif.  Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi.  Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
                       
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
   
1. suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2.  penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4.  keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5.  penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

a.    Aspek kualitas warga sukubangsa
1)                Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2)    Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3)    Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.

b.   Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.





























BAB III
PENUTUP
1.      Simpulan
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan  mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme.  Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya, bahkan ia besikap konfrontatif dengan pihak lain.  Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil.  Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood.  Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi dengan mencegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.

2.        Saran
Mari bersama-sama menjaga agar konflik tidak mudah terjadi di lingkungan hidup kita dan berusahalah untuk menghindarinya. Selalu bertoleransi, saling menghormati satu sama lain dan jangan jadikan perbedaan suatu masalah. Karena Indonesia adalah “Bhinnekka Tunggal Ika” jadi walaupun berbeda tetap satu bangsa.
  





DAFTAR PUSTAKA
http://smartpsikologi.blogspot.com
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
Darmanik, Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara
Nurseno.2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri




Tidak ada komentar:

Posting Komentar