ETNISITAS
DAN DISINTEGRASI NASIONAL
Konflik Sampit Kalimatan Barat
Sebagai tugas mata kuliah Integrasi Nasional
Dosen Pengampu:
Dra.Ch Baroroh,M.Si
Disusun oleh:
Nama : Anggi Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam
adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian
yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak
dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun
kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri (individu)
maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam
akan timbul pertentangan atau konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fenomena
dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak
hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga
bertujuan pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian
yang akan selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan
sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita
pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara semua jenis
konflik, yang paling berbahaya adalah konflik antar etnis. Berhubungan dengan
hal tersebut karya tulis ilmiah ini dibuat.
2. Rumusan
Masalah
a.
Apa penyebab dari konflik antar etnis?
b.
Apa dampak dari konflik antar etnis?
c.
Apa solusi dari konflik antar etnis?
3. Tujuan
Penulisan
a.
Penyebab konflik antar etnis.
b.
Dampak dari konflik antar etnis.
c.
Solusi dari konflik antar etnis.
4. Manfaat
Penulisan
a.
Mengetahui penyebab konflik antar etnis.
b.
Mengetahui dampak dari konflik antar etnis.
c.
Mengetahui solusi dari konflik antar etnis.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Masalah
Etnisitas
Kasus
kalimantan Barat berbeda dengan kasus yang terjadi di Timor Timur dan Aceh,
namun memiliki sedikit kesamaan dengan kasus ambon ,jika kasus Timor Timur dan
Aceh sarat akan muatan “nasionalisme lokal” atau sentimentil separatisme yang
kuat,kasus Kalimantan Barat cukup diwarnai oleh konflik etnik yang mengakar
antara penduduk asli Dayak (yang kemudian didukung oleh masyarakat melayu ) dan
masyarakat pendatang madura ,faktor keagamaan jelas tidak begitu penting dalam
konflik ini ,karena ketiga etnik yang terlibat dalam kerusuhaan massal tersebut
tidak dibedakan atas garis keagamaan ,kelompok pertama terdiri dari masyarakat
Dayak ,yang sebagian besar beragama kristen dan masyarakat Melayu yang beragama
islam ,kelompok ke dua adalah masyarakat Madura –yang sebagaimana masyarakat
melayu beragama islam ,karena itu ,faktor faktor yang memotivasi kerusuhaan
massal di kalimantan Barat bukan masalah keagamaan melainkan masalah Etnik.
Namun ,seseorang harus berhati-hati sebelum
menyimpulkan bahwa kerusuhan di kalimantan barat memang disebab kan oleh faktor
etnisitas semata ,kenyataanya,faktor etnik baru muncul belakangan ketika akar
konflik mulai memanas,motif etnik –kelihatanya-jarang menjadi point utama untuk
menjustifikasi konflik dan kekerasan antara 2 kelompok ,masing –masing kelompok
etnik membuat stereotip terhadap etnik lainya ,yang digunakan sebagai justifikasi
untuk menyerang kelompok lain.
Mempertimbangkan
ini semua ,kasus kalimantan barat sama sekali tidak berhubungan dengan
kemunculan nasionalisme lokal dan pemisahan diri,kasus tersebut secara umum
disebabkan oleh deprivasi ekonomi yang dikemas dengan etnisitas.
Kerusuhan massal Kalimantan Barat kebanyakan terjadi
di daerah sambas dan Pontianak di akhir tahun 1996,dan terus berlanjut hingga
awal 1997.skala kerusuhan belum pernah terjadi sebelumnya ,dilaporkan bahwa
lebih dari 1.720 orang terbunuh di Sanggau Ledo(sambas),peristiwa banyaknya
orang yang terbunuh sebagai akibat dari kerusuhan ,Sanggau Ledo ini,mulai pula
merasuk kedaerah-daerah lain dikalimantan Barat,khususnya Pontianak ,ibu kota
provinsi Kalimantan Barat ,lebih jauh ,rumah-rumah dan bangunan bangunan milik
masyarakat madura-yang tak terhitung jumlahnya – dirusak total,serta ribuaan
masyarakat madura diusir dan harus dievakuasi secara permanen dari wilayah
Sambas dan pontianak ,Mereka sebagaian besar masih ditempatkan di kamp-kamp
pengungsian untuk sementara ,hal ini merupakan penderitaan kemanusiaan yang
cukup disayangkan ,kebanyakan pengungsi madura tidak bisa pulang ke madura
,karena dilahirkan di Kalimantan barat ,dan tidak lagi memilliki keluarga serta
harta benda di tanah kelahirannya itu
Meskipun kerusuhan berskala besar ini menimbulkan
penderitaan ,kerusuhaan massal antara masyarakat Dayak danmasyarakat madura ini
merupakan hal baru ,selama 47 tahun terakhir ,setidaknya tercatat 11 insiden
kerusuhaan massal terjadi,meskipun pada skala lebih rendah ,ini berarti
,rata-rata sebuah pertikaian terjadi setiap 5 tahun sekali,karena itu ,konflik
dan kerusuhaan massal sudah menjadi unsur paten dalam hubungan antaretnik di
Kalimantan Timur.
Bagaimana kita menjelaskan kasus kalimantan barat ?tak
ada satu penjelasan pun yang dapat menjawabnya pertanyaan tersebut ,penjelasan
terhadap kasus tersebut tidak hanya terletak pada berbagai faktor dikalimantan
timur sendiri ,melainkan juga kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di jakarta,
pada tingkat kalimantan barat ,tidak ada keraguan bahwa konflik dan kekerasan
massal berakar dari hubungan yang tidak lazim antar penduduk asli Dayak dan
pendatang baru Madura ,sebagaimana disebutkan sebelumnya ,konflik antara kedua
kelompok etnik tersebut mengakibatkan konflik dan pertikaian yang datang dan
pergih selama lebih dari 50 tahun terakhir,dalam konteks ini ,pertikaian
berdarah 1997-1998 bukan merupakan hal baru ,namun lebih merupakan
pengulanganmasalah-masalaah sebelumnya yang tak terselesaikan .
Perbedaan budaya antara kedua kelompok etnik tersebut
kelihatanya merupakan faktor terpenting disamping hubungan tidak lazim diantar
mereka,di Kalimantan Barat ,secara umum masyarakat madura dipandang
agresif,keras kepala,licik,dan tidak menghormati budaya,kebiasaan dan sensitivitas
penduduk lokal ,masyarakat madura juga diduga keras membawa celurit kemana pun
mereka pergih ,stereotip masyarakat madura ini tentunya bukan merupakan hal
baru, sejak zaman penjajahan belanda ,stereotip masyarakat madura tetap tidak
berubah ,stereotip masyarakat madura tersebut menjelaskan 2 kemungkinan saja
,yaitu : pertama bahwa stereotip tersebut memang benar dan merupakan bagian
dari masyarakat madura ;atau kedua,bahwa masyarakat madura tidak berubah
meskipun telah bertempa tinggal diluar kampung halamanya ,yaitu kalimantan
barat.
Disisi lain ,banyak orang luar termaksud etnik jawa
atau mungkin juga madura menciptakan stereotip tersendiri terhadap masyarakat
Dayak kebanyakan orang dayak dipandang sebagai masyarakat yang tidak
keberadaban ,yang tujuan umumnya adalah berburu kulit kepala manusia ,stereotip
,sikap dan kebiasaan sehari-hari masyarakat madura yang diamati oleh masyarakat
Dayak –oleh juga masyarakat melayu- di kalimantan barat tidak hanya menciptakan
benturan budaya ,namun sekaligus menciptakan permusuhan dan kebencian diantara
mereka ,sebagaimana kasus hubungan muslim dan kristen di Ambon ,hubungan yang
tidak lazim antara masyarakat dayak dan madura tidak pernah boleh dibicarakan
secara terbuka pada massa soeharto ,sehingga digolongkan pada kedalam isu
S.A.R.A
Selama beberapa waktu ,kerusuhan massal diantara
masyarakat Dayak dan madura kelihatan mereda,namun kasus tersebut masih jauh
dari penyelesaian ,karena itu ,kita dituntut untuk dapat mengantisipasi
kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan lebih lanjut ,para pemimpin formal
atau pun informal pada tingkat kalimanan Barat maupun nasional,belum memikirkan
diskusi-diskusi dan kebijakan kebijakan serius seputar masalah ini .
1)
Penyebab Konflik antar Etnis
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan
antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang
berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan
asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang
terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan
yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam
skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru
tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik
antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah
terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan
pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi,
psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula
diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar
etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan
bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan
tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus.
Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga
sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman
(2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi
terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2)
Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas
yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan
(ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar
etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada
benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan
ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan
kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur
ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara
yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik
dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana
seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme
yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan
orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat
seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih
berprasangka, yang akan menjadi konflik.
2) Dampak dari
Konflik antar Etnis
Konflik dapat berdampak positif dan juga negatif.
Dampak positif dari konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu perubahan
seluruh personel di dalam posisi dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan
personel di dalam posisi dominasi dan ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan
kelas subordinat dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut
Lewis Coser adalah fungsi konflik yang positif mungkin paling jelas dalam
dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi
ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup
bertambah besar. Sedangkan dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan
hubungan antarindividu dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan
hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya
dominasi kelompok pemenang.
3)
Solusi dari Koflik antar Etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik
bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi
tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut
serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha
mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak
oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan
kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang
dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan
yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan,
dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian
yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little,
didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh
dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan
merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat
nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik,
namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan
mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1. suatu perselisihan yang langsung dihentikan
oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang
memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan
memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari
dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2. penghentian pertikaian oleh pihak ketiga
tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak
yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4. keadaan ketika kedua belah pihak yang
bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik
tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak
mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. penyelesaian perkara atau sengketa
di pengadilan dengan
mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek kualitas warga sukubangsa
1)
Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan
berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap
eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di
Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2) Perlunya diberikan pemahaman
kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan
prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan
bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut
masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang
mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam
masyarakat.
3) Adanya kesediaan dari kedua belah
pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang
telah terjadi.
b. Penerapan model Polmas secara
sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya
perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah
konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga
yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati
dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua
belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat
dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang
kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya
perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi
pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan
hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan.
Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para
tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron
dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar
permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh,
dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi
permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk
mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya
berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak
hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi
inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak
menyatukan dirinya, bahkan ia besikap konfrontatif dengan pihak lain.
Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan
hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta
pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah
akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood.
Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, akibat
yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi dengan mencegah untuk menjadi
terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang
“pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan
aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan
perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
2. Saran
Mari bersama-sama menjaga agar konflik tidak mudah
terjadi di lingkungan hidup kita dan berusahalah untuk menghindarinya. Selalu
bertoleransi, saling menghormati satu sama lain dan jangan jadikan perbedaan
suatu masalah. Karena Indonesia adalah “Bhinnekka Tunggal Ika” jadi walaupun
berbeda tetap satu bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
http://smartpsikologi.blogspot.com
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
Darmanik,
Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara
Nurseno.2007.
Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar