A.
Formulasi
Kebijakan Publik
1.
Perumusan
Permasalahan
Secara
umum bahwa konsep pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan dipahami berbeda oleh
aparat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemahaman mereka tentang
pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan ternyata berbeda dengan ‘empowerment’
yang selama ini dianggap sebanding dengan istilah ‘pemberdayaan’. Bedanya
adalah pemahaman terhadap istilah ‘pemberdayaan’ pada umumnya tidak dikaitkan
dengan unsur ‘kekuasaan’ atau fenomena adanya ‘relasi kekuasaan yang timpang
antara perempuan dan lak-laki’, tetapi dipahami sebagai sebuah upaya
meningkatnya akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya (ekonomi, politik,
social, bidaya, dll) dan meningkatnya kemampuan perempuan di berbagai bidang
(pendidikan, keterampilan, dll).
Pemahaman
terhadap ‘pemberdayaan’ dan‘pemberdayaan perempuan’ semacam itu berdampak pada
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sejak masa orde baru tepatnya tahun 1978
sampai tahun 1998 telah banyak dokumen resmi Negara dan kebijakan Negara yang
menyatakan: 1) Pentingnya peran atau keterlibatan perempuan dalam pembangunan;
dan 2) Pentingkan meningkatkan kapasitas perempuan di berbagai bidang. Baru
pada tahun 1999 masa pemerintah
reformasi isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dipahami sebagai salah
satu hambatan proses pembangunan dan istilah ‘pemberdayaan perempuan’ muncul.
Namun kenyataan adanya fakta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender
sepertinya dipahami setengah hati, artinya analisis pemerintah terhadap keadaan
tersebut adalah dikarenakan rendahnya kapasitas perempuan. Mereka belum melihat
dan mengakui (atau mungkin enggan melihat dan enggan mengakui) ada satu hal
lain yang cukup penting yaitu kenyataan adanya relasi kekuasan yang timpang
antara perempuan dan laki-laki di segala bidang
Pendekatan
Pemberdayaan Perempuan yang dimaksud didasarkan pada asumsi bahwa untuk
memperbaiki posisi perempuan,meskipun ada beberapa intervensi dari luar diri
perempuan tetapi jika tanpa disertai upaya meningkatkan kekuasaan perempuan
mengubah sendiri situasinya maka upaya memperbaiki posisi perempuan hanya
angan-angan belaka. pendekatan pemberdayaan perempuan yang digunakan adalah
selain didasarkan pada asumsi bahwa pemberdayaan perempuan tersebut
sesungguhnya dapat dicapai oleh diri perempuan sendiri (the inside out) juga didasarkan asumsi bahwa ‘intervensi
positif’ dari luar (the
outside in).Kebijakan pemerintah tentang pemberdayaan perempuan dapat
dianggap sebagai intervensi yang berasal dari luar diri perempuan, oleh karena
itu kebijakan ini harus didorong sebagai bagian dari ‘intervensi positif’
sebagai upaya pencapaiapan pemberdayaan perempuan
2.
Agenda
Kebijakan
Pada
umumnya istilah ‘pemberdayaan’ dalam wacana pemerintah dan kebijakan negara
disandingkan dan tidak terlepas dari wacana pembangunan. Pembangunan yang
dimaksud adalah sebagai suatu kegiatan pengubahan berencana dan direncanakan
memiliki tujuan untuk mengadakan perubahan perilaku (kondisi, afeksi dan
keterampilan) positif dari khalayak sasaran pembangunan yang diharapkan dan
dirancang untuk dapat menghasilkan kemanfaatan bagi orang banyak masyarakat
secara keseluruhan.
Pembangunan
yang dijalankan oleh bangsa Indonesia pada masa ini disebut dengan Pembangunan Nasional yang mengacu pada Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, yaitu satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang selanjutnya disebut RPJP), menengah (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah selanjutnya disebut RPJM) dan
tahunan (Rencana Pembangunan Tahunan selanjutnya disebut RPT) yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di
tingkat Pusat dan Daerah.
Dalam
naskah RPJM Nasional tahun 2004-2009 secara spesifik kembali perempuan
disebut-sebut sebagai subyek pembangunan. Agak mirip dengan naskah GBHN tahun
1978 yang mensyaratkan pembangunan dapat dilakukan secara menyeluruh jika
perempuan dan lak-laki ikut serta secara maksimal dalam berbagai bidang. Namun
untuk rumusan RPJM 2004-2009 ini istilah yang digunakan tidak hanya pada ‘peran
serta’ dan ‘proses pembangunan yang diharapkan menyeluruh’ tetapi sudah ditekankan pada konsekuensi
proses pembangunan yang menyeluruh tersebut sebagai syarat berhasil tidaknya
tujuan pembangunan selama jangka menengah ini. Hal ini dapat dilihat dari rumusan agenda untuk mewujudkan
Indonesia yang adil dan demokratis adalah melalui terjaminya keadilan gender
bagi peningkatan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan serta
meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak
3.
Pemilihan
Alternatif Kebijakan
Istilah
‘empowerment’
ini banyak dikritik oleh pemerintah dan beberapa LSM karena selalu dikaitkan
dengan ide ‘mengambil alih kekuasaan’, padahal sebenarnya tidak demikian. Bahwa pemberdayaan juga memiliki pengertian
‘power’, kekuasaan dan kekuatan. Dengan pengertian seperti itu maka
pemberdayaan bisa diberi batasan luas sebagai penguasaan atas asset material,
sumber-sumber intelektual dan ideologi.
Pemberdayaan
juga sebagai sebuah proses menantang hubungan kekuasaan yang ada dan memperoleh
penguasaan yang lebih besar atas sumber-sumber kekuasaan. Pemberdayaan terwujud
sebagai re-distribusi (pembagian kembali) kekuasaan, apakah antar negara, klas,
kasta, etnis, gender dan individu. Seiring dengan pemahaman tersebut maka
tujuan pemberdayaan perempuan sekurang-kurangnya adalah:
1. Untuk
menantang ideologi patriarkhi, yaitu dominasi laki-laki atas perempuan.
2. Mengubah
struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidaksamaan sosial
(termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan, media, proses politik,
model-model pembangunan, dan pranata pemerintah).
3. Memberi
kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses kepada dan penguasaan
terhadapsumber-sumber material maupun informasi.
Maka
dari itu jelaslah bahwa proses pemberdayaan harus mempersoalkan semua struktur
dan sumber kekuasaan. pandangan tentang
konsep pemberdayaan, memberi kemampuan
ekonomis tidak dengan sendirinya meningkatkan posisi sosial perempuan.
Kenyataan empiris memperlihatkan bahwa perempuan yang mapan dari segi pendidkan
dan mempunyai pekerjaan dengan upah yang baik masih tetap bisa mengalami
perlakuan pelecehan, bahkan penganiayaan
oleh suami. Oleh karena itu yang perlu diperjuangkan adalah memperbaiki keadaan maupun posisi kaum perempuan itu sendiri bukan hanya memperbaiki kapasitas
4.
Penetapan
Kebijakan
Kebijakan
mengenai pemberdayaan perempuan selalu dikaitkan dengan strategi
pengarusutamaan gender (PUG). Sejak saat itu semua program pembangunan baik di
tingkat Nasional maupun daerah harus memuat program pembangunan pemberdayaan
perempuan yang mengacu pada strategi PUG. Kebijakan tersebut tertuang
dalam Instruksi Presiden RI No.9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional. Melalui inpres tersebut Presiden mengintruksikan
kepada jajaran eksekutif (Gubernur, Bupati dan Walikota) untuk melaksanakan
strategi pengarusutamaan gender sebagai bagian pembangunan nasional.
Satu
tahun setelah itu menteri pemberdayaan perempuanmengeluarkan surat keputusan,
yaitu SK No. 23/SK/Meneg.PP/VI/2001 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemberdayaan Perempuan di Provinsi,
Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom. Surat keputusan ini juga merupakan
pedoman untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai otonom, khususnya
pada pasal 2(4b).Dalam naskah penjelasannya surat keputusan tengan standar SPM
menyatakan bahwa maksud dan tujuan penetapan SPM di bidang pemberdayaan perempuan adalah: (1) Sebagai
salah satu cara untuk menjamin dan mendukung
pelaksanaan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota; (2)
Sebagai bagian dan akuntabilitas kinerja pemerintah Kabupaten/Kota dalam
penyelenggaraan pembangunan pemberdayaan perempuan, kesejahteraan dan
perlindungan anak di daerah; dan (3) Sebagai instrument pembinaan dan pegawasan pemerintah terhadap daerah, khususnya
dalam melaksanakan pembangunan pemberdayaan perempuan.
5.
Model
Formulasi Kebijakan
Dari
uraian diatas bahwa adanya kesenjangan gender yang begitu luas. Tuntutan tentang Pemberdayaan perempuan dan
tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak asasi manusia dan
ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan saja,
karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan dalam proses pembangunan
masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan.
Dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional oleh Presiden Abdurrahman
Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu strategi yang dapat
membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam pembangunan nasional.
Sehingga model perumusan/Formulasi kebijakan tersebut adalah model sistem yang
mana kebijakan muncul dari tuntutan/ dukungan dari yang berkepentingan lalu
ditranformasikan kedalam sebuah proses penyusunan kebijakan dan mengahsilkan
output kebijakan tentang pengarusutamaan gender.
B.
Implementasi
Kebijakan
Kebijakan
pemberdayaan perempuan diimplementasikan
melalui program pemberdayaan perempuan. Koordinasi program pemberdayaan
perempuan oleh pemerintah dilakukan di tingkat Nasional (Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan), Provinsi Badan/Kantor/Bidang/Sub Bidang Pemberdayaan
Perempuan tingkat Provinsi), Kabupaten/Kota (Kantor/Badan/Bidang/Sub Bidang Pemberdayaan
Perempuan tingkat kabupaten/kota).
Secara
garis besar program pemberdayaan perempuan meliputi atau semua bermuara pada:
(1) meningkatkan kualitas hidup perempuan; (2) meningkatkan perlindungan perempuan;
(3) penguatan kelembagaan PUG; dan (4) keserasian kebijakan peningkatan
kualitas anak dan perempuan. Beberapa hal penting bahwasanya kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah tidak semua diketahui oleh perempuan yang seharusnya
menjadi sasaran utama dari kebijakan tersebut. Program pemberdayaan perempuan
yang dirasakan positif oleh perempuan adalah: (1) Program pemberdayaan perempuan
yang dapat menyelesaikan lebih dari satu masalah; (2) program pemberdayaan perempuan yang meningkatkan kapasitas
(pengetahuan, keterampilan) dan (3) program pemberdayaan perempuan yang
meningkatkan ‘kualitas hidup perempuan’.
Kebijakan-kebijakan
yang mengatur pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan di bagi menjadi beberapa
sektor yaitu :
a. Sektor
Pendidikan
Peraturan
Bersama menteri pemberdayaan perempuan, menteri dalam negeri dan menteri
pendidikan nasional mengenai percepatan pemberantasan buta aksara perempuan
adalah salah satu diantara kebijakan pemberdayaan perempuan spesifik di
bidangpendidikan. Kebijakan ini muncul karena sampai dengan dikeluarkannya
peraturan bersama ini tahun 2005 jumlah buta aksara perempuan masih tinggi yang
mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya perempuan.
b. Sektor
Kesehatan
Kebijakan
pemberdayaan perempuan spesifik bidang kesehatan yang melibatkan berbagai
instansi pemerintah terkai tadalah Rencana Aksi Nasional Pemenuhan Hak Reproduksi
Perempuan (RAN-PHRP) yang dicanangkan tahun 2008 - 2013. Ruang lingkup hak
reproduksi perempuan yang dimaksud adalah kesehatan reproduksidan hak
reproduksi perempuan
c. Sektor
Politik
Kebijakan
di bidang politik yang dimaksud disini adalah kebijakan yang terkait dengan
partisipasi politik, secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitannya dengan
kewajiban sebagai warga Negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik. Mengacu
pada pengertian tersebut maka indikator yang dapat dilihat apakah kebijakan
Negara di bidang politik telah membawa pengaruh positif atau tidak berpengaruh positif
bagi perempuan adalah dengan melihat keterlibatan perempuan di public untuk
mempengaruhi kebijakan publik. Untuk dapat mempengaruhi kebijakan public salah
satu caranya adalah dengan menduduki posisi-posisi strategis, diantaranya : 1)
legeslatif; 2) Sebagai PNS yang menduduki jabatan eselon 1,2 (kepala kantor).
d. Sektor
Ekonomi
Untuk
mengakomodir kepentingan perempuan mengembangkan potensi di bidang ekonomi ini,
pemerintah beberapa waktu lalu mencanangkan dan mensosialisasikan Program
Perempuan Keluarga Sehat dan dan Sejahtera (Perkassa) dan Program Kredit Usaha
Rumah Tangga (Krista). Kedua program ini sengaja dibentuk untuk memberdayakan
perempuan agar mereka dapat berkiprah lebih banyak dan secara profesional dapat
membangun ekonomi demi kesejahteran keluarga.
C.
Evaluasi
Kebijakan
Pemahaman ‘setengah hati’ terhadap
pemberdayaan berdampak pada implementasi kebijakan atau program-program
pemberdayaan perempuan di tingkat yang paling tinggi hingga rendah. Sehingga
evaluasi kebijakan merupakan cara yang tepat untuk mengungkapkan seberapa jauh
kebijakan tersebut diimplementasikan
Adapun evaluasi terhadap kebijakan
tersebut
·
Walau secara umum
kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender telah ada di berbagai sektor,
namun cakupannya masih terbatas dan umumnya masih dalam bentuk wacana (belum
dilaksanakan). Hal ini terutama disebabkan oleh masih sangat terbatasnya pemahaman
tentang kaitan gender dengan isu-isu spesifik sektor pada unit-unit kerja yang
ada.
·
Masih banyak perencana yang beranggapan
bahwa kebijakan/program/kegiatan di sektor mereka sebagai ’netral gender.’
·
Rencana Aksi Daerah sebagai penerapakan
dari kebijakan/program/kegiatan nasional yang responsif gender serta tindak
lanjut pelaksanaan PUG di daerah dapat dikatakan belum ada.
·
Masih terbatasnya penelitian-penelitian
tentang isu-isu gender yang terkait dengan isu-isu spesifik sektor sebagai data
pembuka wawasan.
·
Program pemberdayaan perempuan yang
dicanangkan oleh pemerintah tidak didasarkan pada kebutuhan perempuan sungguh
·
Program pemberdayaan perempuan pada
umumnya hanya terfokus pada akses perempauan terhadap sumberdaya tertentu dan
peningkatan kapasitas perempuan terhadap keterampilan tertentu.
·
Masih ada program-program pemberdayaan masyarakat
yang sulit diakses oleh perempuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar