Selasa, 07 Februari 2017

Dependensi, Hibridisasi, Perang ,Konflik




1)      Setelah kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS, timbul pertanyaan, apakah pemerintahan baru AS di bawah Presiden Trump akan membuat kebijakan yang berbeda terhadap Indonesia, dan juga Asia? Terlalu dini untuk mengetahui secara pasti arah politik luar negeri Presiden Trump, meskipun dalam kampanye pemilihan presiden AS yang lalu, Trump memberi sinyal untuk isu-isu tertentu. Sebagai misal, jika benar Trump yang memenangi pemilihan, diplomasi AS akan lebih konfrontatif dan ofensif ketika berhadapan dengan China, sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama jika ingin diterapkan pemerintahan Trump. Trump tampaknya tidak menyadari bahwa China kini telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia, dan AS akan merugi jika gagal memanfaatkan pertumbuhan ekonomi China.
Kemunculan kekuatan ekonomi baru di Asia Timur, termasuk ASEAN (dan Indonesia di dalamnya) juga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Trump, terlebih di kawasan ini AS juga memiliki kepentingan ekonomi. Pada abad ke-20 mungkin AS masih mendominasi ekonomi dan keamanan dunia, tetapi pada abad ke-21 ini telah terjadi perubahan yang mendasar dengan munculnya pusat-pusat perekonomian baru yang pasarnya masih bertumbuh (the emerging markets), seperti di Asia Timur, yang bisa menjadi mitra strategis bagi AS. Hal ini yang dilakukan pemerintahan Obama dalam politik luar negerinya, seperti terlihat dalam hubungan Indonesia-AS melalui kemitraan komprehensifnya.
Ekonomi politik dunia memang semakin dicirikan dengan saling ketergantungan yang semakin mendalam, baik melalui globalisasi keuangan maupun produksi. Kejayaan dan kebangkitan ekonomi AS setelah Perang Dunia II justru disebabkan oleh sikap terbuka dan menjangkau dunia luar melalui kerja sama, baik di tingkat regional maupun global. Jika tradisi yang sukses itu ditinggalkan, timbul pertanyaan, alternatif apa yang akan ditawarkan Trump. Jika digunakan kerangka analisis subyektif, politik luar negeri AS kemungkinan akan mengikuti karakter dari presiden barunya, dan Trump bisa saja mengubah semua itu, termasuk capaian-capaian hubungan bilateral antara AS dan Indonesia. Namun demikian, pemerintahan Trump, dalam kerangka analisis struktural-obyektif, bisa saja akan mempertahankan (bahkan mungkin meningkatkan) capaian-capaian kerja sama bilateral AS dengan mitra strategisnya di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia, terlebih hal itu membawa kemanfaatan bagi AS.
Dalam kerangka analisis struktural-obyektif, kebijakan luar negeri AS tidak ditentukan semata oleh presiden, tetapi melibatkan mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif sehingga membatasi otoritas presiden dalam meluncurkan kebijakan-kebijakan baru. Belum lagi, secara tradisional dan kelembagaan, selain Kementerian Luar Negeri, sejumlah national agencies, seperti Kementerian Pertahanan (Pentagon), Kementerian Perdagangan, dan badan intelijen (CIA) juga dilibatkan dalam perumusan kebijakan luar negeri. Lembaga-lembaga ini tentu memiliki aturan prosedur dan kepentingan kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya dalam memberikan input analisis kebijakan kepada pemimpin baru, termasuk dalam soal hubungan luar negeri.
Dalam konteks hubungan Indonesia-AS, dengan berbagai pertimbangan mendalam dari kementerian dan badan terkait, bisa saja pemerintahan Trump akan mempertahankan Kemitraan Komprehensif yang sudah disepakati bersama oleh Indonesia dan AS, atau memodifikasinya menjadi lebih kuat sejalan dengan kepentingan pemerintahan AS yang baru. Hal tersebut dilakukan pemerintahan George W. Bush (dari Partai Republik) yang terus memelihara hubungan baik Indonesia-AS yang telah dirintis oleh pemerintahan AS sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Bill Clinton (dari Partai Demokrat). Karena bagi AS, setiap presiden harus memanfaatkan kesempatan (opportunity) yang ada untuk menjalin hubungan luar negeri yang kuat, terutama dengan negara yang dianggap strategis dan akan memberi kemanfaatan yang besar bagi AS. Dikaitkan dengan latar belakang Trump, sebagai pengusaha sukses yang terbiasa mengejar opportunity, hubungan bilateral Indonesia-AS dapat ditingkatkan dalam kerangka itu.
Sebaliknya, bagi Indonesia, kemenangan Trump juga harus dilihat sebagai opportunity untuk membangun hubungan bilateral yang lebih kuat lagi dengan AS. Dari aspek geo-ekonomi misalnya, AS masih sangat strategis bagi Indonesia. AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. AS merupakan salah satu tujuan utama pasar ekspor Indonesia, terutama untuk ekspor komoditi utama seperti karet, gas, dan minyak bumi. Demikian juga dari sisi investasi, AS merupakan salah satu investor utama untuk Indonesia. Kerja sama yang sudah dibina selama ini telah meningkatkan arus investasi AS ke Indonesia dan perdagangan bilateral yang memberi keuntungan kepada kedua pihak.
Hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump juga tidak bisa mengabaikan aspek keamanan kawasan. AS, yang sebagian wilayahnya (di sisi barat) mencakup perairan Pasifik, tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan dan dinamika keamanan di kawasan ini. Stabilitas keamanan di kawasan ini begitu penting bagi AS yang secara tradisional memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan, dan kehadiran Armada ke-7, sebagai salah satu penjaga kepentingan nasional AS di kawasan ini, menjadi petunjuk akan hal itu. Oleh karena itu, menjalin hubungan konstruktif dengan negara-negara di kawasan ini, yang bisa memberi “rasa aman” bagi AS, menjadi sangat penting, dan Indonesia adalah salah satunya. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sejumlah selat strategis dan Alur Laut Kepulauan yang dimilikinya, tidak bisa diabaikan begitu saja oleh AS.
Dari sudut kepentingan Indonesia dan keamanan kawasan, kehadiran AS di Asia juga dibutuhkan untuk mengimbangi dominasi militer China, terutama dalam kaitannya dengan isu Laut China Selatan. Masyarakat di kawasan sudah melihat bagaimana China mengabaikan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang menolak klaim kedaulatan sepihak China di Laut China Selatan. Dominasi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara akan mengecilkan arti ASEAN yang selama ini penuh inisiatif menyusun code of conduct dalam kerangka tata kelola konflik di Laut China Selatan demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.
Bagaimanapun ASEAN adalah platform regional kebijakan luar negeri Indonesia yang bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia di dunia internasional. Hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump, sudah tentu juga perlu dilihat dalam kerangka ASEAN. Forum KTT ASEAN-AS dan ARF, sebagaimana telah disinggung di atas, harus dimanfaatkan oleh pemerintahan Trump untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara kawasan, termasuk Indonesia. Pola hubungan yang sudah terjalin lama ini tidak akan dapat segera diubah. Karena itu, yang terpenting adalah mengidentifikasi kepentingan nasional masing-masing yang ingin diperjuangkan.
Satu hal penting lainnya, yang juga harus menjadi perhatian kedua negara, keberhasilan Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dalam menciptakan demokrasi yang relatif stabil, hendaknya bisa dipahami oleh pemerintahan Trump sebagai soft power yang menginspirasi dunia. Dalam konteks ini, Indonesia bisa menjadi mitra yang penting bagi AS. AS dan Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar kedua dan ketiga, dapat berkolaborasi mempromosikan nilai-nilai perdamaian yang membawa kesejukan bagi dunia
2)       Di era kapitalisme seperti saat ini. Setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi ini sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kapitalisme global. Mereka akan langsung bisa menjawab ketika ditanya tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini, walaupun tidak bisa memberikan istilah yang tepat untuknya. Setiap orang langsung dapat mendeteksi bahwa ada ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung saat ini. Wajah ekonomi saat ini terus berjalan menuju kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub telah membawa mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain terus menyeret mereka yang miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang terus membengkak.
Perkembangan kapitalisme global di abad ini sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor, dan didukung berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Menurut Triono (2007) berbagai sektor maupun lembaga itu diantaranya adalah:
(a)     Sektor keuangan
Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan menciptakan lembaga perbankan dan pasar saham. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar dan cepat menggurita.
(b)   Sektor kepemilikan umum
Kaum kapitalis tidak hanya ingin berhenti untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dan lain sebagainya. (Terkait Baca: UU no 22 Tahun 2001 tentang Migas),
(c)   Sektor kepemilikan Negara
Kaum kapitalis juga melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melegosahamnya ke pasar, dengan harga yang murah (melalui resep IMF “Privatisasi”).
(d)   Sektor kekuasaan
Kaum kapitalis juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan (Pengusaha jadi Penguasa). Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka (Penjajahan ekonomi sudah masuk tataran dilegalkan melalui berbagai produk hukum, seperti Perpu, Undang-undang dll yang sering tidak menguntungkan/memihak rakyat).
(e)    Sektor moneter
Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin terus mereka lakukan. Kaum kapitalis menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem moneter dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari  seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas (Sejak 14 Agustus 1997 Indonesia menganut  Freely Floating Exchange Rate System).
(f)     Sektor pendidikan
Sektor pendidikan, sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan kaum kapitalis, yaitu kebutuhan untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skillyang tinggi dan mau digaji dengan sangat murah. Caranya adalah dengan melemparkan dunia pendidikan ke pasar bebas. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus dihabisi, sehingga biaya pendidikan bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang pragmatis,
Jika menggunakan tolok ukur di atas, maka jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru tepatnya dimulai sejak Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme(Tambunan, 1998).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah dipaksakan kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi, baik liberalisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).
Kebijakan Pakto 88, Pakdes 88 dan Pakjan 90 (yang berisi deregulasi di sektor perbankan dan pasar modal) dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu.
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia sehingga menjadi suatu krisis multidimensional. Setelah krisis moneter 1997 dan memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomianIndonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Kenyataan menurut Triono (2001) ini dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu:
a.       Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah untuk komoditi strategis secara bertahap.
b.       Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoIdengan pihak IMF.
c.        Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi.
d.       Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT.
Kecendrungan liberalisasi ekonomi sebenarnya bisa dilihat sejak awal Orde Baru berdiri. Hal ini ditandai dengan kembali bergabungnya Indonesia menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia. Indonesia sendiri sebenarnya telah terdaftar menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia sejak tahun 1954. Untuk memperlihatkan dukungannya terhadap kebijakan Neoliberalisme, Pemerintahan Orde Baru kemudian mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor VI tahun 1968 dan UU Nomor XI tahun 1971.
Paham Neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. IMF (Internasional Monetary Funds) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), subsidi terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk asing melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Pemerintah mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an.  Setelah 1991-1992, deregulasi dan liberalisasi mulai melambat dengan naiknya kelompok baru, yang dikenal dengan sebutan konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin, yang memunculkan kritik luas bahkan di kalangan komunitas Neoliberal. Walaupun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi BUMN tidak terjadi. Sejumlah badan usaha milik negara yang masih menguasai sektor-sektor penting, antara lain, Perusahaan Listrik Negara (listrik), Pertamina (migas), Krakatau Steel (baja), dan bank-bank pemerintah.
Pemerintah menyatakan akan mengambil sejumlah langkah yang mendukung kompetisi di tingkat domestik dengan cara mempercepat privatisasi dan memperbesar peran swasta dalam penyediaan infrastruktur. Untuk melaksanakan privatisasi, pemerintah mulai mencabut aturan yang membatasi kepemilikan saham maksimal 49 persen oleh investor asing untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, serta membentuk komite privatisasi. Restrukturisasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mulai mendapat bentuk nyata ketika rencana pemerintah yang lebih rinci mengenai langkah dan strategi privatisasi BUMN disampaikan kepada IMF(Internasional Monetary Funds) melalui Letter of Intent 10 April 1998.

3)       Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin penting sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu negara. rumusan HAM yang telah ada dalam Undang-Undang Dasar perlu dilengkapi dengan memasukan pandangan mengenai HAM yang berkembang saat ini
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap, sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM terutama dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya kurang diperhatikan. Salah satu contohnya adalah, ketidakbecusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat miskin bukanlah dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia, melainkan hanya dilihat sebagai persoalan programatik prosedural dan kewajaran tanpa ukuran yang jelas, baik arah maupun dasar perumusannya.
Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap. Di sisi lain, konsep tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, mengenal apa yang disebut kewajiban asasi (human obligations), sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Konsep human obligation sini dimaksudkan untuk melengkapi bahwa persoalan hak-hak asasi manusia tidak sekedar persoalan di tanggung jawab negara, tetapi ada pula kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia termasuk wilayah-wilayah yang tidak mungkin seratus persen dijangkau oleh negara. Seperti contoh persoalan kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan keyakinan atau agama dalam keluarga, eksploitasi anak-anak dalam ekonomi keluarga, dan masih ada contoh lainnya yang mana negara tidak bisa terlibat sepenuhnya karena ada faktor non-negara seperti tradisi atau budaya. Dan terakhir, bahwa penjelajahan terhadap konsepsi hak asasi manusia, dengan
Konsekuensi perubahan konstitusi, baik dalam soal hak-hak dan kewajiban asasi serta tanggung jawab pemerintah, akan menunjukkan suatu corak konstitusionalisme tersendiri. Hal ini bukan soal latah dengan memperbandingkannya atau mengadopsi dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang telah banyak diakui oleh negara-negara di dunia. Tetapi ini merupakan upaya mencari konsepsi yang lebih baik dan kontekstual dengan menyesuaikannya dalam dinamika, kondisi sosial politik bangsa Indonesia, sehingga akan lebih menjelaskan kepribadian konstitusi kita. Inilah strategi memperkuat corak konstitusionalisme yang penting untuk masa depan Indonesia,khususnya masa depan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

4)      Homogenisasi terjadi ketika globalisasi membawa kita kepada kebudayaan yang konvergen, dimana sebuah budaya menjadi dominan pada suatu negara sehingga terjadi keseragaman atau standarisasi terhadap suatu budaya  tertentu. Homogenisasi menerima begitu saja budaya yang masuk.  Sedangkan hibridisasi adalah percampuran antara dua atau lebih budaya tanpa ada yang mendominasi. Hal ini berbeda dengan homogenisasi yang cenderung didominasi oleh satu budaya.    Hibridisasi menghadirkan fenomena baru terkait dengan aspek budaya dan identitas. Hibridisasi  juga  merujuk pada proses saling mengikatnya budaya  satu dengan  budaya lainnya. Budaya tersebut  mengadopsi nilai-nilai yang dianggap baik  dan meninggalkan nilai-nilai  yang dianggap kurang baikdari masing-masing budaya. Proses hibridisasi ini memberikan warna baru pada kebudayaan lokal yang ada
Proses  homogenisasi  sudah berlangsung sejak dimulainya era liberalisasi Indonesia pada zaman Presiden Soeharto. Sejak masa liberalisasi, budaya-budaya asing masuk Indonesia sejalan dengan masuknya pengaruh-pengaruh lainnya. Perusakan budaya dimulai sejak masa teknologi informasi seperti satelit dan internet berkembang. Sejak masa itu, konsumsi informasi menjadi kian tak terbatas.  Semua kalangan di Indonesia dapat memperoleh informasi apapun tanpa adanya batasan dan cenderung menyerapnya tanpa mempertimbangkan efek positif dan negatif bagi identitas kulturalnya.  Modus dan skala globalisasi di masa kini memang telah berubah. Sekarang, dunia mengalami Revolusi  4T(Technology, Telecomunication, Transportation, Tourism) yang memiliki efek pendorong global dominan sehingga batas antarwilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya  global village
Kondisi itu memunculkan permasalahan pada melunturnya nilai-nilai identitas kultural.  Bukti nyata dapat disaksikan pada gaya bahasa, gaya berpakaian, pola konsumsi, dan teknologi informasi.  Dahulu, bahasa Indonesia dijadikan alat komunikasi utama, tetapi sekarang penggunaan bahasa persatuan ini dicampuradukkan dengan bahasa Inggris sehingga muncul kata-kata “dicancel”, “didelay”, “disoundingkan”, “menchallenge”, “mengendorse”, dan banyak kata campuran lainnya. Di berbagai kesempatan seringkali terlihat masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih modern.
Dahulu, anak-anak Indonesia sangat akrab dengan tokoh boneka dalam film“Unyil” yang mencitrakan kehidupan khas Indonesia, tetapi sekarang anak-anak Indonesia lebih senang menonton “Upin & Ipin” yang menyimbolkan kehidupan khas masyarakat Malaysia. Karena itu, wajar jika sering ditemukan adanya anak-anak Indonesia yang berbahasa Indonesia dengan logat Melayu khas Malaysia.
Dari sisi berpakaian juga tampak perilaku yang cenderung lebih mengikuti busana asing daripada busana khas Indonesia. Jas yang sebenarnya merupakan pakaian khas orang-orang Eropa lebih dipilih sebagai pakaian resmi para pejabat Indonesia daripada kain batik yang telah diakui dunia sebagai warisan budaya asli Indonesia. Pola konsumsi sebagian  masyarakat juga beralih pada makanan-makanan cepat saji (fastfood) yang bisa didapatkan di restoran. Pizza, spaghetti, hamburger, fried chicken dianggap lebih  menarik  daripada makanan lokal. Aneka makanan itu menawarkan kepraktisan. Masyarakat menilai globalisasi telah mendorong terciptanya kecepatan, efisiensi, efektivitas yang bermuara pada kepraktisan dalam segala hal.

5)       Menurut Ramlan Surbakti (1992:149) menyebutkan pengertian konflik yaitu “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang
Konflik sangatlah beragam, dan dilihat dalam ruang yang luas dan konpleks dapat dilihat dari berbagai dimensinya. Banyak basis kolektivitas sosial merupakan sumberdaya yang memungkinkan hubungan antarkelompok sosial. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya  sebuah konflik, yang sewaktu–waktu dapat berkembang menjadi sebuah konflik yang besar.  Melihat formasi konflik muncul dari perubahan sosial, kemudian membawanya menuju proses tranformasi konflik kekerasan atau konflik tanpa kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial yang lebih extrim dalam posisi tertekan suatu kelompok akan melakukan apapun untuk mempertahankan norma-norma yang mereka miliki. Setiap skala memiliki latarbelakang dan arah perkembangannya, masyarakat manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala  antara perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruksi bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan
Wrightsman (1993) mengatakan bahwa kompetisi adalah aktivitas dalam mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain  atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi. Salah satunya adalah competitive reward structure dimana tujuan yang dicapai sesorang memiliki hubungan negatif,  artinya ketika kesuksesan telah tercapai oleh satu pihak maka pihak lain akan mengalami kekalahan
Kompetisi merupakan bagian dari konflik, dimana konflik dapat terjadi karena perjuangan individu untuk memperoleh hal-hal langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lainnya, dimana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga menundukan sainganya. Dengan potensi yang ada pada dirinya,indovidu berusaha untuk memaksakan kehendak untuk mendapatkan pengakuan atas kemenangannya dalam memperebutkan kesempatan.
Namun konflik harus dibedakan dengan persaingan atau kompetisi, karena persaingan meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan orang tertentu untuk mencapai tujuannya. Di dalam persaingan juga hampir tidak terdapat interaksi atau saling ketergantungan antara kedua individu tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa persaingan bisa saja menimbulkan konflik, tetapi tidak semua konflik mencakup persaingan
Quincy Wright mendefInisikan perang sebagai suatu keadaan hukum yang secara seimbang memperbolehkan dua kelompok atau lebih yang saling bermusuhan melakukan suatu konflik dengan didukung oleh kekuatan senjata. Perang akan dipertimbangkan kondisi hukum yang sama memungkinkan dua atau lebih kelompok bermusuhan untuk melaksanakan suatu konflik dengan kekerasan bersenjata
Dalam hukum humaniter, suatu keadaan dikatakan perang berdasarkan dua unsur, yaitu
1.      Adanya konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah.
2.      Intensitas penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir.
Sejalan dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan sangketa bersenjata (armed conflict). Hal ini dikarenakan orang berusaha untuk agresor. Tetapi dalam kenyataannya tetap ada konflik yang secara teknis intensitasnya sama dengan perang
Pada dasarnya kompetisi adalah penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Kompetisi juga sering disebut win-lose orientation, cara ini dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik dengan mengambil sikap salah satu pihak mengalah dengan pertimbangan untuk menjaga ketentraman dan menjaga kelangsungan hidup hubungan yang baik. Disamping itu, juga untuk menjaga agar tidak terjadi kehancuran atau keretakan hubungan.
Kompetisi yang merupakan kata yang lazim diartikan sebagai persaingan ini, kerap digunakan dalam suatu pertandingan atau perlombaan dalam terminologi bahasa Indone-sia. Kata ini merujuk pada suatu usaha atau upaya untuk memperebutkan sesuatu, salah satunya kemenangan. Di dalam studi konflik dan perdamaian, kata ini dimaknai sebagai salah satu dari lima gaya berkonflik, selain kompromi, akomodasi, kolaborasi danpenghindaran. Oleh karena itu, kata ini tidak hanya dimaknai secara negatif tetapi juga dapatdimaknai secara positif, sebanding dengan makna yang diberikan kepada konflik yang dihadapi.
Konflik dan kekerasan merupakan antitesis dari perdamaian. Konflik, sebagaimana perdamaian, adalah sebuah relasi di antara satu kelompok atau lebih. Sebuah relasi yang muncul dari adanya kontradiksi (contradiction) antara sikap (attitude) dan perilaku (behaviour). Galtung (2003: 161) menyebutnya dengan istilah segitiga konflik, yaitu  kontradiksi dalam suatu kondisi konflik yang bermula dari adanya ketidakcocokan tujuan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai.
Sebuah kondisi yang dapat terwujud manakala sebuah konflik dapat ditransformasikan secara kreatif tanpa adanya kekerasan. Resolusi konflik merupakan istilah yang komprehensif dalam usaha menghadapi konflik. Resolusi konflik mengimplikasikan bahwa sumber utama konflik telah diketahui dan ditransformasikan. Hal  ini menyiratkan bahwa perilakunya tidak lagi kental dengan kekerasan, sikapnya tidak lagi membahayakan, serta strukturnya telah berubah
Berbagai macam proses resolusi konflik dapat dilakukan, bisa melalui mediasi, rekonsiliasi, fasilitasi, ataupun negosiasi. Resolusi konflik menawarkan solusi yang memuaskan yang dapat diterima oleh kedua pihak yang bertikai, serta dapat memberikan hubungan yang positif secara terus menerus antar kedua belah pihak yang sebelumnya saling bermusuhan. Jadi, resolusi konflik pada hakikatnya  berorientasi pada usaha untuk mewujudkan perdamaian yang positif. Perdamaian yang mampu menyingkap sebuah konflik dengan cara yang kreatif dan tanpa kekerasan.
Perdamaian dalam pengertian negatifnya adalah suatu kondisi tidak adanya peperangan, konflik kekerasan, ketegangan dan huru hara kerusuhan berskala besar, sistematis dan kolektif. Namun demikian, berlanjutnya tindak kekerasan seperti terorisme, diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas dan kaum wanita serta anak-anak, kekerasan struktural oleh sebab-sebab kimiskinan dan pengangguran, intoleransi agama, dan rasisme serta sentimen kesukuan,bisa dikatakan merupakan keadaan tidak adanya situasi damai bagi mereka yang menjadi korban. Oleh karena itu, perdamaian harus dirumuskan pula secara lebih positif, tidak hanya dengan meniadakan peperangan dan konflik bersenjata berskala besar, melainkan juga memberantas berbagai tindak kekerasan, ketidakadilan, kriminalitas, penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang lebih kuat serta berkuasa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata damai diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak bermusuhan, tidak ada perang, tidak ada perselisihan, berbaik kembali, adanya suasana tentram. Bahwa kata damai menyangkut berbagai aspek kehidupan, misalnya: dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan kata perdamaian adalah merupakan bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar “damai” ditambah dengan awalan “per” dan akhiran “an”. Dalam penambahan imbuhan ini, kata perdamaian menjadi suatu kata yang di dalamnya terdapat unsur kesenjangan untuk berbuat dan melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, tidak berseteru atau bermusuhan, dan lain-lain. Jika ditarik sebuah kesimpulan, pendapat saya dari ketiga istilah tersebut yang dapat menimbulkan sebuah perdamaian ialah ketiga-tiganya yaitu baik kompetisi, konflik, maupun perang.


DAFTAR PUSTAKA
Makmur Keliat, “Politik Luar Negeri AS ke Depan”, Kompas, 10 November 2016.
Aleksius Jemadu, “Makna Kemenangan Donald Trump untuk Indonesia”,  Kompas, 11 November 2016.
Rachbini, Didik J., Republika 27 Juni 2001
Tambunan, Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Triono, Dwi Condro, Makalah Seminar Setengah Hari dengan tema Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian Indonesia,Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus 2001.
Wignyosoebroto,  Soetandyo (2002) Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam-HuMa
Manan, Bagir (2004) Perkembangan UUD 1945.Yogyakarta: FH UII Press
A.     Safril Mubah,2011 Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya Homogenisasi Global. FISIP UNAIR
Ritha Safithri , 2011. Mediasi dan Fasilitas Konflik Dalam Membangun Perdamaian.FISIP UNTAD
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar