1) Setelah kemenangan Trump dalam pemilihan
presiden AS, timbul pertanyaan, apakah pemerintahan baru AS di bawah Presiden
Trump akan membuat kebijakan yang berbeda terhadap Indonesia, dan juga Asia?
Terlalu dini untuk mengetahui secara pasti arah politik luar negeri Presiden
Trump, meskipun dalam kampanye pemilihan presiden AS yang lalu, Trump memberi
sinyal untuk isu-isu tertentu. Sebagai misal, jika benar Trump yang memenangi
pemilihan, diplomasi AS akan lebih konfrontatif dan ofensif ketika berhadapan
dengan China, sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama jika ingin
diterapkan pemerintahan Trump. Trump tampaknya tidak menyadari bahwa China kini
telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia, dan AS akan merugi jika
gagal memanfaatkan pertumbuhan ekonomi China.
Kemunculan
kekuatan ekonomi baru di Asia Timur, termasuk ASEAN (dan Indonesia di dalamnya)
juga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Trump, terlebih di kawasan ini AS
juga memiliki kepentingan ekonomi. Pada abad ke-20 mungkin AS masih mendominasi
ekonomi dan keamanan dunia, tetapi pada abad ke-21 ini telah terjadi perubahan
yang mendasar dengan munculnya pusat-pusat perekonomian baru yang pasarnya
masih bertumbuh (the emerging markets),
seperti di Asia Timur, yang bisa menjadi mitra strategis bagi AS. Hal ini yang
dilakukan pemerintahan Obama dalam politik luar negerinya, seperti terlihat
dalam hubungan Indonesia-AS melalui kemitraan komprehensifnya.
Ekonomi
politik dunia memang semakin dicirikan dengan saling ketergantungan yang
semakin mendalam, baik melalui globalisasi keuangan maupun produksi. Kejayaan
dan kebangkitan ekonomi AS setelah Perang Dunia II justru disebabkan oleh sikap
terbuka dan menjangkau dunia luar melalui kerja sama, baik di tingkat regional
maupun global. Jika tradisi yang sukses itu ditinggalkan, timbul pertanyaan,
alternatif apa yang akan ditawarkan Trump. Jika digunakan kerangka analisis
subyektif, politik luar negeri AS kemungkinan akan mengikuti karakter dari
presiden barunya, dan Trump bisa saja mengubah semua itu, termasuk
capaian-capaian hubungan bilateral antara AS dan Indonesia. Namun demikian,
pemerintahan Trump, dalam kerangka analisis struktural-obyektif, bisa saja akan
mempertahankan (bahkan mungkin meningkatkan) capaian-capaian kerja sama
bilateral AS dengan mitra strategisnya di kawasan Asia Timur, termasuk
Indonesia, terlebih hal itu membawa kemanfaatan bagi AS.
Dalam
kerangka analisis struktural-obyektif, kebijakan luar negeri AS tidak
ditentukan semata oleh presiden, tetapi melibatkan mekanisme checks and balances antara eksekutif dan
legislatif sehingga membatasi otoritas presiden dalam meluncurkan
kebijakan-kebijakan baru. Belum lagi, secara tradisional dan kelembagaan,
selain Kementerian Luar Negeri, sejumlah national
agencies, seperti Kementerian Pertahanan (Pentagon), Kementerian
Perdagangan, dan badan intelijen (CIA) juga dilibatkan dalam perumusan
kebijakan luar negeri. Lembaga-lembaga ini tentu memiliki aturan prosedur dan
kepentingan kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya dalam memberikan input
analisis kebijakan kepada pemimpin baru, termasuk dalam soal hubungan luar
negeri.
Dalam
konteks hubungan Indonesia-AS, dengan berbagai pertimbangan mendalam dari
kementerian dan badan terkait, bisa saja pemerintahan Trump akan mempertahankan
Kemitraan Komprehensif yang sudah disepakati bersama oleh Indonesia dan AS,
atau memodifikasinya menjadi lebih kuat sejalan dengan kepentingan pemerintahan
AS yang baru. Hal tersebut dilakukan pemerintahan George W. Bush (dari Partai
Republik) yang terus memelihara hubungan baik Indonesia-AS yang telah dirintis
oleh pemerintahan AS sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Bill Clinton
(dari Partai Demokrat). Karena bagi AS, setiap presiden harus memanfaatkan
kesempatan (opportunity) yang ada
untuk menjalin hubungan luar negeri yang kuat, terutama dengan negara yang
dianggap strategis dan akan memberi kemanfaatan yang besar bagi AS. Dikaitkan
dengan latar belakang Trump, sebagai pengusaha sukses yang terbiasa mengejar opportunity, hubungan bilateral
Indonesia-AS dapat ditingkatkan dalam kerangka itu.
Sebaliknya,
bagi Indonesia, kemenangan Trump juga harus dilihat sebagai opportunity untuk membangun hubungan
bilateral yang lebih kuat lagi dengan AS. Dari aspek geo-ekonomi misalnya, AS
masih sangat strategis bagi Indonesia. AS merupakan salah satu mitra dagang
utama Indonesia. AS merupakan salah satu tujuan utama pasar ekspor Indonesia,
terutama untuk ekspor komoditi utama seperti karet, gas, dan minyak bumi.
Demikian juga dari sisi investasi, AS merupakan salah satu investor utama untuk
Indonesia. Kerja sama yang sudah dibina selama ini telah meningkatkan arus
investasi AS ke Indonesia dan perdagangan bilateral yang memberi keuntungan
kepada kedua pihak.
Hubungan
Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump juga tidak bisa mengabaikan aspek
keamanan kawasan. AS, yang sebagian wilayahnya (di sisi barat) mencakup
perairan Pasifik, tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan dan dinamika
keamanan di kawasan ini. Stabilitas keamanan di kawasan ini begitu penting bagi
AS yang secara tradisional memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan,
dan kehadiran Armada ke-7, sebagai salah satu penjaga kepentingan nasional AS
di kawasan ini, menjadi petunjuk akan hal itu. Oleh karena itu, menjalin
hubungan konstruktif dengan negara-negara di kawasan ini, yang bisa memberi
“rasa aman” bagi AS, menjadi sangat penting, dan Indonesia adalah salah
satunya. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sejumlah selat strategis
dan Alur Laut Kepulauan yang dimilikinya, tidak bisa diabaikan begitu saja oleh
AS.
Dari
sudut kepentingan Indonesia dan keamanan kawasan, kehadiran AS di Asia juga
dibutuhkan untuk mengimbangi dominasi militer China, terutama dalam kaitannya
dengan isu Laut China Selatan. Masyarakat di kawasan sudah melihat bagaimana
China mengabaikan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang menolak
klaim kedaulatan sepihak China di Laut China Selatan. Dominasi salah satu
kekuatan besar di Asia Tenggara akan mengecilkan arti ASEAN yang selama ini
penuh inisiatif menyusun code of conduct
dalam kerangka tata kelola konflik di Laut China Selatan demi menjaga
perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.
Bagaimanapun
ASEAN adalah platform regional
kebijakan luar negeri Indonesia yang bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia
di dunia internasional. Hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Trump,
sudah tentu juga perlu dilihat dalam kerangka ASEAN. Forum KTT ASEAN-AS dan
ARF, sebagaimana telah disinggung di atas, harus dimanfaatkan oleh pemerintahan
Trump untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara kawasan, termasuk
Indonesia. Pola hubungan yang sudah terjalin lama ini tidak akan dapat segera
diubah. Karena itu, yang terpenting adalah mengidentifikasi kepentingan
nasional masing-masing yang ingin diperjuangkan.
Satu hal
penting lainnya, yang juga harus menjadi perhatian kedua negara, keberhasilan
Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dalam
menciptakan demokrasi yang relatif stabil, hendaknya bisa dipahami oleh
pemerintahan Trump sebagai soft power
yang menginspirasi dunia. Dalam konteks ini, Indonesia bisa menjadi mitra yang
penting bagi AS. AS dan Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar kedua dan
ketiga, dapat berkolaborasi mempromosikan nilai-nilai perdamaian yang membawa
kesejukan bagi dunia
2) Di era
kapitalisme seperti saat ini. Setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi ini
sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan
oleh kapitalisme global. Mereka akan langsung bisa menjawab ketika ditanya
tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini, walaupun tidak bisa memberikan
istilah yang tepat untuknya. Setiap orang langsung dapat mendeteksi bahwa ada
ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung saat ini. Wajah ekonomi saat
ini terus berjalan menuju kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub
telah membawa mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain
terus menyeret mereka yang miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang
terus membengkak.
Perkembangan kapitalisme global di abad ini
sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya
sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun
keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor, dan didukung
berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Menurut Triono
(2007) berbagai sektor maupun lembaga itu diantaranya adalah:
(a)
Sektor keuangan
Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar,
tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan
menciptakan lembaga perbankan dan pasar saham. Fungsi utamanya adalah untuk
mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan
untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar dan cepat
menggurita.
(b)
Sektor
kepemilikan umum
Kaum kapitalis tidak hanya ingin berhenti
untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek
untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Mereka juga ingin
menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka
kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya
hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dan
lain sebagainya. (Terkait Baca: UU no 22 Tahun 2001 tentang Migas),
(c)
Sektor
kepemilikan Negara
Kaum kapitalis juga melirik kepada
perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi
efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik
Negara tersebut untuk go public,
dengan jalan melegosahamnya ke pasar, dengan harga yang murah (melalui resep
IMF “Privatisasi”).
(d)
Sektor
kekuasaan
Kaum kapitalis juga ingin memiliki rasa aman
terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat
diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan (Pengusaha jadi
Penguasa). Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika
mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan
berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin
kelestarian kerajaan bisnis mereka (Penjajahan ekonomi sudah masuk tataran
dilegalkan melalui berbagai produk hukum, seperti Perpu, Undang-undang dll yang
sering tidak menguntungkan/memihak rakyat).
(e)
Sektor moneter
Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan
penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin
terus mereka lakukan. Kaum kapitalis menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang
dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah
sistem moneter dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan
pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu;
keuntungan dari seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan
mempermainkan kurs bebas (Sejak 14 Agustus 1997 Indonesia menganut Freely
Floating Exchange Rate System).
(f)
Sektor pendidikan
Sektor pendidikan, sektor ini harus terseret
ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan kaum kapitalis, yaitu kebutuhan
untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skillyang
tinggi dan mau digaji dengan sangat murah. Caranya adalah dengan melemparkan
dunia pendidikan ke pasar bebas. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus
dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus dihabisi, sehingga biaya pendidikan
bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan
tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia
yang pragmatis,
Jika
menggunakan tolok ukur di atas, maka jejak kapitalisme di Indonesia dapat
ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru tepatnya
dimulai sejak Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang
dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui
ideologi komunis.
Menjelang
awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on
Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk
Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap
telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah
semikapitalisme(Tambunan, 1998).
Memasuki
periode akhir 1980-an dan awal1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus
mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita
dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau
telah dipaksakan kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke
arah liberalisasi ekonomi, baik liberalisasi sektor keuangan, sektor industri
maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena
pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk
menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi
sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).
Kebijakan
Pakto 88, Pakdes 88 dan Pakjan 90 (yang berisi deregulasi di sektor perbankan
dan pasar modal) dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi
ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang
selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
Indonesia saat itu.
Masa
pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Kegagalan dari pembangunan
ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan
ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia sehingga menjadi suatu
krisis multidimensional. Setelah krisis moneter 1997 dan memasuki era
reformasi, ternyata kebijakan perekonomianIndonesia tidak bergeser sedikitpun
dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang
telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi
ekonomi. Kenyataan menurut Triono (2001) ini dapat diukur dari beberapa
indikator utama, yaitu:
a.
Dihapuskannya
berbagai subsidi dari pemerintah untuk komoditi strategis secara bertahap.
b.
Nilai
kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan
dalam LoIdengan pihak IMF.
c.
Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang
liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk
didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi.
d.
Peran
serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT.
Kecendrungan
liberalisasi ekonomi sebenarnya bisa dilihat sejak awal Orde Baru berdiri. Hal
ini ditandai dengan kembali bergabungnya Indonesia menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank
Dunia. Indonesia sendiri sebenarnya telah terdaftar menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank
Dunia sejak tahun 1954. Untuk memperlihatkan dukungannya terhadap kebijakan
Neoliberalisme, Pemerintahan Orde Baru kemudian mengeluarkan UU Penanaman Modal
Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor VI tahun 1968 dan
UU Nomor XI tahun 1971.
Paham
Neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak
menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. IMF (Internasional
Monetary Funds) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia
untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan
privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Perencanaan ekonomi sentralistik,
proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam
berbagai sektor ekonomi, berkembangnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), subsidi
terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik
komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah
untuk asing melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi,
dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Pemerintah
mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain,
keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun
1980-an hingga awal tahun 1990-an.
Setelah 1991-1992, deregulasi dan liberalisasi mulai melambat dengan
naiknya kelompok baru, yang dikenal dengan sebutan konglomerat dan melebarnya
kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin, yang memunculkan kritik
luas bahkan di kalangan komunitas Neoliberal. Walaupun deregulasi dan
liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi BUMN tidak terjadi.
Sejumlah badan usaha milik negara yang masih menguasai sektor-sektor penting,
antara lain, Perusahaan Listrik Negara (listrik), Pertamina (migas), Krakatau
Steel (baja), dan bank-bank pemerintah.
Pemerintah
menyatakan akan mengambil sejumlah langkah yang mendukung kompetisi di tingkat
domestik dengan cara mempercepat privatisasi dan memperbesar peran swasta dalam
penyediaan infrastruktur. Untuk melaksanakan privatisasi, pemerintah mulai
mencabut aturan yang membatasi kepemilikan saham maksimal 49 persen oleh
investor asing untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, serta membentuk
komite privatisasi. Restrukturisasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) mulai mendapat bentuk nyata ketika rencana pemerintah yang lebih rinci
mengenai langkah dan strategi privatisasi BUMN disampaikan kepada
IMF(Internasional Monetary Funds) melalui Letter of Intent 10 April 1998.
3) Penambahan
rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan
pemajuannya ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia bukan semata-mata
karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang
makin penting sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu
syarat negara hukum. HAM sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk
mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu
negara. rumusan HAM yang telah ada dalam Undang-Undang Dasar perlu dilengkapi
dengan memasukan pandangan mengenai HAM yang berkembang saat ini
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam
amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun
pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan,
bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan
setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam
pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945
pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak
mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui
secara universal dalam Universal Declaration
of Human Rights 1948.
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi
tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4)
dan (5), yang menyatakan “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.”Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab
konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah,
untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
Secara konsepsional, tanggung jawab negara
yang dimiliki dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional
masih kurang lengkap, sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak
permasalahan HAM terutama dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya kurang
diperhatikan. Salah satu contohnya adalah, ketidakbecusan pemerintah dalam
mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat miskin bukanlah dipandang
sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia,
melainkan hanya dilihat sebagai persoalan programatik prosedural dan kewajaran tanpa
ukuran yang jelas, baik arah maupun dasar perumusannya.
Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam
mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum
normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap. Di sisi lain, konsep
tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, mengenal apa yang
disebut kewajiban asasi (human
obligations), sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2). Dalam
pasal tersebut, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Konsep human
obligation sini dimaksudkan untuk melengkapi bahwa persoalan hak-hak asasi
manusia tidak sekedar persoalan di tanggung jawab negara, tetapi ada pula
kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia termasuk wilayah-wilayah
yang tidak mungkin seratus persen dijangkau oleh negara. Seperti contoh
persoalan kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan keyakinan atau agama dalam
keluarga, eksploitasi anak-anak dalam ekonomi keluarga, dan masih ada contoh
lainnya yang mana negara tidak bisa terlibat sepenuhnya karena ada faktor
non-negara seperti tradisi atau budaya. Dan terakhir, bahwa penjelajahan
terhadap konsepsi hak asasi manusia, dengan
Konsekuensi perubahan konstitusi, baik dalam
soal hak-hak dan kewajiban asasi serta tanggung jawab pemerintah, akan
menunjukkan suatu corak konstitusionalisme tersendiri. Hal ini bukan soal latah
dengan memperbandingkannya atau mengadopsi dengan instrumen hukum hak asasi manusia
internasional yang telah banyak diakui oleh negara-negara di dunia. Tetapi ini merupakan
upaya mencari konsepsi yang lebih baik dan kontekstual dengan menyesuaikannya dalam
dinamika, kondisi sosial politik bangsa Indonesia, sehingga akan lebih
menjelaskan kepribadian konstitusi kita. Inilah strategi memperkuat corak
konstitusionalisme yang penting untuk masa depan Indonesia,khususnya masa depan
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
4) Homogenisasi terjadi ketika globalisasi
membawa kita kepada kebudayaan yang konvergen, dimana sebuah budaya menjadi
dominan pada suatu negara sehingga terjadi keseragaman atau standarisasi
terhadap suatu budaya tertentu.
Homogenisasi menerima begitu saja budaya yang masuk. Sedangkan hibridisasi adalah percampuran
antara dua atau lebih budaya tanpa ada yang mendominasi. Hal ini berbeda dengan
homogenisasi yang cenderung didominasi oleh satu budaya. Hibridisasi menghadirkan fenomena baru
terkait dengan aspek budaya dan identitas. Hibridisasi juga
merujuk pada proses saling mengikatnya budaya satu dengan
budaya lainnya. Budaya tersebut
mengadopsi nilai-nilai yang dianggap baik dan meninggalkan nilai-nilai yang dianggap kurang baikdari masing-masing
budaya. Proses hibridisasi ini memberikan warna baru pada kebudayaan lokal yang
ada
Proses
homogenisasi sudah berlangsung
sejak dimulainya era liberalisasi Indonesia pada zaman Presiden Soeharto. Sejak
masa liberalisasi, budaya-budaya asing masuk Indonesia sejalan dengan masuknya
pengaruh-pengaruh lainnya. Perusakan budaya dimulai sejak masa teknologi
informasi seperti satelit dan internet berkembang. Sejak masa itu, konsumsi
informasi menjadi kian tak terbatas.
Semua kalangan di Indonesia dapat memperoleh informasi apapun tanpa
adanya batasan dan cenderung menyerapnya tanpa mempertimbangkan efek positif
dan negatif bagi identitas kulturalnya.
Modus dan skala globalisasi di masa kini memang telah berubah. Sekarang,
dunia mengalami Revolusi 4T(Technology, Telecomunication,
Transportation, Tourism) yang memiliki efek pendorong global dominan
sehingga batas antarwilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya global village
Kondisi itu memunculkan permasalahan pada
melunturnya nilai-nilai identitas kultural.
Bukti nyata dapat disaksikan pada gaya bahasa, gaya berpakaian, pola
konsumsi, dan teknologi informasi.
Dahulu, bahasa Indonesia dijadikan alat komunikasi utama, tetapi
sekarang penggunaan bahasa persatuan ini dicampuradukkan dengan bahasa Inggris
sehingga muncul kata-kata “dicancel”,
“didelay”, “disoundingkan”, “menchallenge”,
“mengendorse”, dan banyak kata
campuran lainnya. Di berbagai kesempatan seringkali terlihat masyarakat lebih
senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih modern.
Dahulu, anak-anak Indonesia sangat akrab
dengan tokoh boneka dalam film“Unyil” yang mencitrakan kehidupan khas
Indonesia, tetapi sekarang anak-anak Indonesia lebih senang menonton “Upin
& Ipin” yang menyimbolkan kehidupan khas masyarakat Malaysia. Karena itu,
wajar jika sering ditemukan adanya anak-anak Indonesia yang berbahasa Indonesia
dengan logat Melayu khas Malaysia.
Dari sisi berpakaian juga tampak perilaku
yang cenderung lebih mengikuti busana asing daripada busana khas Indonesia. Jas
yang sebenarnya merupakan pakaian khas orang-orang Eropa lebih dipilih sebagai
pakaian resmi para pejabat Indonesia daripada kain batik yang telah diakui
dunia sebagai warisan budaya asli Indonesia. Pola konsumsi sebagian masyarakat juga beralih pada makanan-makanan
cepat saji (fastfood) yang bisa
didapatkan di restoran. Pizza, spaghetti, hamburger, fried chicken dianggap lebih
menarik daripada makanan lokal.
Aneka makanan itu menawarkan kepraktisan. Masyarakat menilai globalisasi telah
mendorong terciptanya kecepatan, efisiensi, efektivitas yang bermuara pada
kepraktisan dalam segala hal.
5) Menurut Ramlan Surbakti (1992:149) menyebutkan
pengertian konflik yaitu “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan,
dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu
dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik
dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau
bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat,
pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang
Konflik sangatlah beragam, dan dilihat dalam
ruang yang luas dan konpleks dapat dilihat dari berbagai dimensinya. Banyak
basis kolektivitas sosial merupakan sumberdaya yang memungkinkan hubungan
antarkelompok sosial. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya sebuah konflik, yang sewaktu–waktu dapat
berkembang menjadi sebuah konflik yang besar.
Melihat formasi konflik muncul dari perubahan sosial, kemudian
membawanya menuju proses tranformasi konflik kekerasan atau konflik tanpa
kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial yang lebih extrim dalam posisi
tertekan suatu kelompok akan melakukan apapun untuk mempertahankan norma-norma
yang mereka miliki. Setiap skala memiliki latarbelakang dan arah perkembangannya,
masyarakat manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam
skala antara perorangan sampai
antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan
mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruksi bagi perubahan sosial masyarakat
dan tidak menghadirkan kekerasan
Wrightsman (1993) mengatakan bahwa kompetisi
adalah aktivitas dalam mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih
untuk berkompetisi tergantung dari struktur
reward dalam suatu situasi. Salah satunya adalah competitive reward structure dimana tujuan yang dicapai sesorang
memiliki hubungan negatif, artinya
ketika kesuksesan telah tercapai oleh satu pihak maka pihak lain akan mengalami
kekalahan
Kompetisi merupakan bagian dari konflik,
dimana konflik dapat terjadi karena perjuangan individu untuk memperoleh
hal-hal langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lainnya, dimana
tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi
juga menundukan sainganya. Dengan potensi yang ada pada dirinya,indovidu
berusaha untuk memaksakan kehendak untuk mendapatkan pengakuan atas
kemenangannya dalam memperebutkan kesempatan.
Namun konflik harus dibedakan dengan
persaingan atau kompetisi, karena persaingan meliputi tindakan-tindakan yang
dilakukan orang tertentu untuk mencapai tujuannya. Di dalam persaingan juga
hampir tidak terdapat interaksi atau saling ketergantungan antara kedua
individu tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa persaingan bisa saja
menimbulkan konflik, tetapi tidak semua konflik mencakup persaingan
Quincy Wright mendefInisikan perang sebagai
suatu keadaan hukum yang secara seimbang memperbolehkan dua kelompok atau lebih
yang saling bermusuhan melakukan suatu konflik dengan didukung oleh kekuatan
senjata. Perang akan dipertimbangkan kondisi hukum yang sama memungkinkan dua
atau lebih kelompok bermusuhan untuk melaksanakan suatu konflik dengan
kekerasan bersenjata
Dalam hukum humaniter, suatu keadaan
dikatakan perang berdasarkan dua unsur, yaitu
1.
Adanya
konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah.
2.
Intensitas
penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir.
Sejalan
dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan
sangketa bersenjata (armed conflict).
Hal ini dikarenakan orang berusaha untuk agresor. Tetapi dalam kenyataannya
tetap ada konflik yang secara teknis intensitasnya sama dengan perang
Pada
dasarnya kompetisi adalah penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak
mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Kompetisi juga sering disebut win-lose orientation, cara ini dilakukan
oleh pihak yang terlibat konflik dengan mengambil sikap salah satu pihak
mengalah dengan pertimbangan untuk menjaga ketentraman dan menjaga kelangsungan
hidup hubungan yang baik. Disamping itu, juga untuk menjaga agar tidak terjadi
kehancuran atau keretakan hubungan.
Kompetisi
yang merupakan kata yang lazim diartikan sebagai persaingan ini, kerap
digunakan dalam suatu pertandingan atau perlombaan dalam terminologi bahasa
Indone-sia. Kata ini merujuk pada suatu usaha atau upaya untuk memperebutkan
sesuatu, salah satunya kemenangan. Di dalam studi konflik dan perdamaian, kata
ini dimaknai sebagai salah satu dari lima gaya berkonflik, selain kompromi,
akomodasi, kolaborasi danpenghindaran. Oleh karena itu, kata ini tidak hanya
dimaknai secara negatif tetapi juga dapatdimaknai secara positif, sebanding
dengan makna yang diberikan kepada konflik yang dihadapi.
Konflik dan
kekerasan merupakan antitesis dari perdamaian. Konflik, sebagaimana perdamaian,
adalah sebuah relasi di antara satu kelompok atau lebih. Sebuah relasi yang
muncul dari adanya kontradiksi (contradiction) antara sikap (attitude) dan
perilaku (behaviour). Galtung (2003: 161) menyebutnya dengan istilah segitiga
konflik, yaitu kontradiksi dalam suatu
kondisi konflik yang bermula dari adanya ketidakcocokan tujuan yang dirasakan
oleh pihak-pihak yang bertikai.
Sebuah
kondisi yang dapat terwujud manakala sebuah konflik dapat ditransformasikan
secara kreatif tanpa adanya kekerasan. Resolusi konflik merupakan istilah yang
komprehensif dalam usaha menghadapi konflik. Resolusi konflik mengimplikasikan
bahwa sumber utama konflik telah diketahui dan ditransformasikan. Hal ini menyiratkan bahwa perilakunya tidak lagi
kental dengan kekerasan, sikapnya tidak lagi membahayakan, serta strukturnya telah
berubah
Berbagai
macam proses resolusi konflik dapat dilakukan, bisa melalui mediasi,
rekonsiliasi, fasilitasi, ataupun negosiasi. Resolusi konflik menawarkan solusi
yang memuaskan yang dapat diterima oleh kedua pihak yang bertikai, serta dapat
memberikan hubungan yang positif secara terus menerus antar kedua belah pihak
yang sebelumnya saling bermusuhan. Jadi, resolusi konflik pada hakikatnya berorientasi pada usaha untuk mewujudkan
perdamaian yang positif. Perdamaian yang mampu menyingkap sebuah konflik dengan
cara yang kreatif dan tanpa kekerasan.
Perdamaian
dalam pengertian negatifnya adalah suatu kondisi tidak adanya peperangan,
konflik kekerasan, ketegangan dan huru hara kerusuhan berskala besar,
sistematis dan kolektif. Namun demikian, berlanjutnya tindak kekerasan seperti
terorisme, diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas dan kaum wanita serta
anak-anak, kekerasan struktural oleh sebab-sebab kimiskinan dan pengangguran,
intoleransi agama, dan rasisme serta sentimen kesukuan,bisa dikatakan merupakan
keadaan tidak adanya situasi damai bagi mereka yang menjadi korban. Oleh karena
itu, perdamaian harus dirumuskan pula secara lebih positif, tidak hanya dengan
meniadakan peperangan dan konflik bersenjata berskala besar, melainkan juga
memberantas berbagai tindak kekerasan, ketidakadilan, kriminalitas, penindasan
dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang lebih kuat serta berkuasa.
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, kata damai diartikan sebagai suatu keadaan yang
tidak bermusuhan, tidak ada perang, tidak ada perselisihan, berbaik kembali,
adanya suasana tentram. Bahwa kata damai menyangkut berbagai aspek kehidupan,
misalnya: dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan kata
perdamaian adalah merupakan bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar
“damai” ditambah dengan awalan “per” dan akhiran “an”. Dalam penambahan imbuhan
ini, kata perdamaian menjadi suatu kata yang di dalamnya terdapat unsur
kesenjangan untuk berbuat dan melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, tidak
berseteru atau bermusuhan, dan lain-lain. Jika ditarik sebuah kesimpulan,
pendapat saya dari ketiga istilah tersebut yang dapat menimbulkan sebuah
perdamaian ialah ketiga-tiganya yaitu baik kompetisi, konflik, maupun perang.
DAFTAR
PUSTAKA
Makmur Keliat, “Politik Luar Negeri AS ke Depan”, Kompas, 10 November 2016.
Aleksius
Jemadu, “Makna Kemenangan Donald Trump
untuk Indonesia”, Kompas, 11 November
2016.
Rachbini,
Didik J., Republika 27 Juni 2001
Tambunan,
Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa
Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta.
Triono,
Dwi Condro, Makalah Seminar Setengah Hari
dengan tema Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian
Indonesia,Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus
2001.
Wignyosoebroto, Soetandyo (2002) Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme: Hubungan Antara Masyarakat
dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta: Elsam-HuMa
Manan,
Bagir (2004) Perkembangan UUD 1945.Yogyakarta:
FH UII Press
A.
Safril
Mubah,2011 Revitalisasi Identitas
Kultural Indonesia di Tengah Upaya Homogenisasi Global. FISIP UNAIR
Ritha
Safithri , 2011. Mediasi dan Fasilitas
Konflik Dalam Membangun Perdamaian.FISIP UNTAD
Arlina Permanasari,
Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum
Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar