Kamis, 20 Oktober 2016

Multikultural




Jawab pertanyaan berikut dengan jelas !
  1. Dalam pemakaian sehari-hari, kita menyamakan begitu saja konsep-konsep seperti bangsa (nation), negara (state), negeri (country), masyarakat (society), dan rakyat (people). Yang paling problematis menurut Geertz adalah konsep “negeri” dan “bangsa “. Kalau keduanya disamaratakan begitu saja, maka konsep yang pertama akan ditelan oleh konsep yang terakhir, dan ini sebuah imajinasi yang mengecoh, karena seolah-olah sebuah negeri hanya didiami oleh satu bangsa saja.  “Bangsa” dijelaskan oleh Geertz merupakan sekumpulan orang dengan Bahasa, darah, sejarah dan tanah yang sama, dan “negeri” sebagai teritorium atau tanah dari kumpulan orang itu. Dalam arti ini, negeri merupakan arena politis, political space tempat interaksi sosial ditata, peluang-peluang hidup dan sumber-sumber produktif dibagikan, sedangkan bangsa adalah kekuatan politis dari arena itu. Jelaskan bagaimana kita mengidentifikasi  bangsa Indonesia jika mengacu pada pernyataan Geertz tersebut.
  2. Yugoslavia merupakan contoh dari ketidakcocokan isi dan kenyataan dari konsep-konsep bangsa dan negeri yang sering disamakan begitu saja. Bekas Yugoslavia tercabik-cabik oleh kekuatan-kekuatan nasional yang sekarang menjadi negara-negara kecil. Bukan hanya itu, dari luar negeri ini juga diserang lewat separatisme Makedonia, permusuhan dengan Hongaria dan Bulgaria. Gerak penghancuran itu dimulai dengan perang Yugoslavia, melalui perang Serbia-Kroasia, dan berakhir dengan perang Bosnia. Yugoslavia hanyalah contoh kecil bagaimana identifikasi bangsa dan negeri tidak berfungsi. Berdasarkan kasus yang menimpa Yugoslavia, bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia mengantisipasi agar kasus yang menimpa Yugoslavia tidak dialami Indonesia?
      3. Apa perbedaan antara konsep kebudayaan masyarakat plural dengan masyarakat multikultural dalam hubungannya dengan identitas? Jelaskan dan berikan contohnya.
      4. Dalam mewujudkan integrasi nasional Indonesia, bangsa Indonesia sering menghadapi persoalan yang sangat dilematis. Menurut pendapat saudara, integrasi nasional yang seperti apa yang hendak dikembangkan di Indonesia, yang masyarakatnya majemuk (pluralis) itu?
       5. Vico (17-18 M) adalah salah satu orang yang pertama menggunakan pandangan historis mengenai manusia dan menekankan keunikan dari setiap masyarakat. Jika mengacu pada pandangan Vico, bagaimana anda memandang komunitas budaya yang ada di Indonesia? Jelaskan dan berikan contohnya.
 JAWABAN

1.      Untuk bisa mengenali sebuah bangsa kita harus terlebih dahulu mempelajari identitas dari bangsa tersebut. Identititas adalah suatu ciri yang dimiliki suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Namun demikian identitas suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan dari manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi dengan bangsa lain didunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu identitas suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis. Arti dinamis yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain didunia internasional.

2.      Konsekuensi dari multikulturalisme adalah sikap menentang dan anti terhadap atau setidaknya bermasalah dengan monokulturalisme dan asimilasi yang merupakan norma-norma wajar dari sebuah bangsa sejak abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif, sebab yang dituju oleh monokulturalisme adalah homogenitas sekalipun homogenitas itu masih pada tahap harapan atau wacana dan belum terwujud. Sementara itu ,asimilasi adalah timbulnya keinginan bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan mengurangi perbedaan- perbedaan untuk mewujudkan menjadi satu kebudayaan baru. Pertentangan antara multikulturalisme dan monokulturalisme tampak nyata sekali dari asumsi dasar yang saling berseberangan, yang satu melegitimasi perbedaan-perbedaan yang lain  meminimalisir perbedaan baru.
Oleh karena itu setiap konflik yang terjadi diantara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Pada tingkat tertentu keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Oleh karena tanpa keduanya suatu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Akan tetapi sifat-sifat masyarakat majemuk, telah menyebabkan landasan terjadinya integrasi nasional
Dengan adanya struktur masyarakat Indonesia dan masalah multikultural, maka diperlukan kebijakan pemerintah yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat, dengan cara tetap menghormati pranata, struktur, dan kebiasaan yang ada (social sustainability). Indonesia yang multikultural ini akan tetap bertahan sebagai sebuah negara kesatuan, apabila elemen-elemen pendukung kebersamaan tetap dipertahankan. Kecenderungan dominasi mayoritas (suku dan agama) harus ditata kembali agar rasa memiliki bangsa ini tidak luntur. Gejolak yang terjadi di berbagai daerah (Aceh,Kalimantan Tengah, Maluku, Irian Jaya, dan sebagainya), membutuhkan penanganan yang serius. Kelalaian tidak memperhatikan multikultural bangsa, dimasa mendatang akan menjadi bom waktu yang sangat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa harusdiciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku..

3.      Pluralisme bangsa adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman di dalam suatu bangsa. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis, tetapi pluralisme bukan sekedar pengakuan terhadap hal tersebut. Namun mempunyai implikasi-implikasi politis,sosial,ekonomi. Oleh sebab itu, pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi tetapi tidak mengakui pluralisme di dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme ternyata berkenaan dengan hak hidup kelompokkelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas tersebut mempunyai budaya masing-masing dan keberadaan mereka diakui negara termasuk budayanya.
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena masyarakat plural itu tampak dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapusaknya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi munculnya masyarakat multikultural.
Lahirnya masyarakat multikultural berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan terhadap adanya masyarakat  budaya yang plural, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula masyarakat multikultural harus disadari sebagai masyarakat yang memiliki suatu ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia dan kemanusiaanya yang secara operasional mewujud melalui pranata-pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari. Dalam konteks ini, masyarakat multikultural adalah suatu konsep yang masyarakatnya melegitimasi keaneka ragaman budaya.
Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga memerlukan kajian filosofis terhadap multikulturalisme sebagai sebuah ideologi.

4.      Upaya penyeragaman kebudayaan dengan cara dominasi satu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya seperti yang dilakukan selama ini tampaknya dimaksudkan agar tercapai persatuan bangsa yang terintegrasi dalam tataran nasioanal. Padahal hakekat integrasi nasional dalam tataran sosio-antropoldis mencakup arena yang lebih luas dan tidak sekedar untuk penyelesaian sekitar konflik sosial yang berlatar etnik. Sebab, seperti telah dikemukakan bahwa pemisahan dan pembelahan sosial yang berlangsung di Indonesia wujud dalam berbagai bentuk dan tingkat. Itu artinya, penyelesaian melalui penyeragaman kebudayaan atas nama kebudayaan nasioanal, seperti selama ini justru dapat menimbulkan ancaman disintegrasi.
Semuanya itu tidaklah dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan Indonesia sebagai wahana pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan yang selama ini memang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan manusia, hanya sayang bahwa dalam hal ini , orang sering lupa yaitu manusia manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia dengan berbagai budaya masalah ini menjadi masalah yang sangat diperlukan perhatian
Kesimpulannya, masalah kebijakan kebudayaan yang terkait dengan integrasi nasional menjadi penting  direnungkan kembali setelah sekian puluh tahun masyarakat Indonesia menjalani kehidupan bernegara. Dalam konteks untuk mencari dasar integrasi nasioanal melalui gejala empirik yakni : (1) pengentasan kemiskinan tanpa mebedak-bedakan etnik (2) ketidakseimbangan capaian ekonomi di antara etnik dan menghilangkan kesan monopoli terhdaap kegiatan ekonomi serat penguasaan penghunian kawasan tempat tinggal oleh suatu golongan atau etnik tertentu (3) kebebaan dan hak asasi individu yang diajmin dalam perlembagaan (4) sistem pendidikan diperankan sebagai agen sosialisasi untuk memupuk kepribadian dan kesadaran bangsa, dan (5) peranan Bahasa Indonesia bukan hanya sebagi alat komunikasi tetapi juga melahirkan suatu identitas kebangsaan.

5.  Sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat indonesia yang terdiri dari komunitas-komunitas budaya yang mempunyai aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Indonesia, memang tidak jauh dari kebenaran. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari komunitas-komunitras budaya yang besar maupun yang kecil itu masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagi perwujudan berbangsa aktif mereka terhadap lingkungan pendukung masing-masing. Demikian aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Indonesia itu dipahami sebagai kerangka acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan, serta sebagai ciri pengenal yang membedakan diri dari komunitas budaya yang lain
Memandang kebudayaan sebagai kata sifat untuk membedakan mana kehidupan yang berbudaya dan tidak berbudaya, membedakan antara kehidupan manusia yang berbudaya dan makhluk lain seperti hewan dan benda-benda lain yang tidak meiliki potensi budaya. Dalam memandang kebudayaan sebagi kata sifat maka unsur nilai-nilai atau sebagai kompleksitas nilai-nilai yang kemudian beroperasi pada berbagai level kehidupan. Konfigurasi nilai yang dimiliki berbagai komunitas budaya yang berbeda kemudian melahirkan konstruksi budaya yang berbeda-beda pada komunitas budaya itu.
Penetapan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional serta mencabut larangan kegitaan warga etnis China merupakan sebuah keputusan politis ini tidak hanya menjadi simbol pengakuan politis dan kultural keberadaan warga Indonesia keturunan China di Indonesia, tapi juga memberikan pelajaran bagaimana seharusnya membangun iklim multikulturalisme. Pengakuan akan identitas masyarakat China merupakan syarat mutlak bagi seorang warga Indonesia keturunan China untuk mengaktualisasikan dirinya secara utuh sebagai subjek. Membela hak-hak kaum minoritas menunjukan bahwa pluralisme bukan sekedar faktum seperti yang dikemukakan para pemikir liberalisme sekular, tapi anugrah ilahi yang harus dihormati dan dikembangkan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar