Kamis, 20 Oktober 2016

Hukum Kebiasaan, Hukum Nasional dan Hukum Internasional




11)      Hukum kebiasaan berasal dari praktek-praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya melalui suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain, maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan internasional. Terbentuknya suatu hukum kebiasaan  didasari oleh praktek yang sama, dilakukan secara konstan tanpa adanya pihak yang menantang serta diikuti oleh banyak negara. Hukum kebiasaan agar menjadi sumber hukum, harus terunifikasi dan berkesesuaian. Hal ini menjadi dasar munculnya perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan unifikasi dari hukum kebiasaan internasional.
Dewasa ini perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang utama dan memegang peranan penting dalam hubungan internasional. Karena hampir sebagian besar hasil hubungan antar negara atau hubungan internasional dituangkan dalam instrumen perjanjian internasional. Melalui perjanjian internasional mereka merumuskan hak dan kewajiban. Hukum perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta dan kekuatan perjanjian internasional terletak dalam andagium Pacta Sunt Servanda yang mewajibkan negara-negara untuk melakukan itikat baik kewajiban-kewajibannya. Satu kelebihan perjanjian internasional dibandingkan dengan hukum kebiasaan adalah sifatnya tertulis, memudahkan pembuktian dibandingkan hukum kebiasaan yang tidak tertulis sehingga kadang sulit untuk membuktikan atau menemukannya.
Pada awal sejarah pertumbuhan hukum internasional, hukum kebiasaan internasional menduduki tempat yang utama sebagai sumber hukum internasional. Kemudian dengan semakin banyaknya negara merdeka semakin intesifnya negara mengadakan perjanjian internasional maka menjadikan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional yang utama. Suatu perjanjian internasional merumuskan praktek-praktek dan kebiasaan negara-negara telah menuangkan kedalam berbagai bentuk dengan berbagai macam sebutan atau nama dari  yang paling resmi hingga paling sederhana. Namun apapun bentuk dan sebutannnya yang diberikan pada perjanjian internasional yang hasil kesepakatan tersebut tidak mengurangi kekuatan mengikatnya suatu perjanjian bagi para pihak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika ada perbedaan ketentuan antara hukum perjanjian dan hukum kebiasaan maka yang tetap dipakai adalah hukum perjanjian internasional yang mana telah mengikat kepada pihak yang membentuknya.

22)      Berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional atau yang  dikenal dengan istilah implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional dapat ditinjau dari aspek teoritis maupun aspek praktek-praktek negara dalam melakukan implemnatasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. Disamping itu juga praktek dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya.
Proses implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional biasanya dilakukan malalui prosedur ratifikasi melalui undang-undang nasionalnya, dengan maksud agar ketentuan hukum internasional dapat mengikat dalam suatu negara. Ratifikasi ini dilakukan terhadap perjanjian-perjanjian internasional , misalnya konvensi, protokol, kovenan maupun perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang berlaku memerlukan ratifikasi.
Implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional sebenarnya juga tidak semata-mata tergantung dan kemauan negara melalui proses ratifikasi, namun ada juga ketentuan-ketentuan dari hukum internasional yang secara langsung mengikat negara tanpa melalui proses persetujuan atau ratifikasi. Ketentuan hukum internasional tersebut bersumberkan pada hukum kebiasaan internasional atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal.
Perbincangan tentang pro konta pidana mati sesungguhnya adalah perbincangan yang tidak akan pernah mati. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan sudut pandang di dalam mendiskusikan persoalan disekitar pro dan kontra pidana mati. Moral-etik,HAM, norma religius, hingga efektivitas merupakan sudut pandang yang sering digunakan untuk menyusun argumen baik mereka yang pro maupun yang kontra. Salah satu aspek yang sebenarnya bisa digunakan untuk menilai hukuman mati adalah aspek hukum internasional.
Indonesia sebagai negara memiliki kelebihan tersendiri sebagai subyek hukum internasional dibandingkan dengan subyek hukum yang lainnya. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, mengakui kedaulatan negara lain dan negara lain menghormati kaidah tata pergaulan internasional yang berlaku. Sejatinya hukuman mati yang diterapkan di Indonesia untuk kasusu narkoba telah sejalan dengan konvensi internasional. Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika yang tertuang dalam UU Nomor 22 rtahun 1997 tentang Narkotika (Kompas 1/5/2015). Ditambahkan pula bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia bukan merupkan extrajudicial atau summary or arbitration execution yang melanggar norma HAM. Tetapi merupakan tindakan hukum yang telah melalui due process of law dan semu tingkatan upaya hukum telah ditempuh.
Kedaulatan hukum adalah sebuah norma dan aturan yang harus dijalankan dan diterapkan atas tindakan kejahatan. Begitu pula kedaulatan hukum sebuah negara adalah mutlak hak setiap negara yang harus dihormati oleh negara lain sebagaimana contoh pidana mati yang masih tetap diperlakukan di Indonesia.

33)      Secara garis besar terdapat dua teori mengenai pengakuan dalam hukum internasional. Kelompok pertama adalah yang dikenal sebagi teori konstitutif. Suatu teori yang menegaskan bahwa tindakan pengakuan dari negara-negara lainnya yang memiliki pengaruh atas terciptanya atau dimulainya eksistensi negara baru. Negara baru itu memerlukan pengakuan dari negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar negara. Menurut teori ini pengaruh negara-negara yang telah eksis terlebih dahulu sangat dominan untuk menentukan eksistensi negara baru. Sedangkan teori deklaratoir adalah teori yang berpahaman bahwa suatu pengakuan dari negara-negara lain hanyalah bersifat mempertegas atau menuatkan keadaan yang menunjukan eksistensi negara yang mendapatkan pengakuan. Teori deklaratoi ini merupakan reaksi dari teori konstitutif yang menyebutakan bahwa pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu negara oleh negara lain.
Disamping kedua teori itu, terdapat juga teori yang dinamakan teori jalan tengah.teori ini lahir karena pandangan beberapa sarjana yang menganggap bahwa kedua teori sebelumnya kurang memuaskan, dan dianggap sangat bertolak belakang. Menurut teori jalan tengah, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi itu. untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
Apabila mengacu pada Konvensi Montevideo 1933 tentang kriteria sebuah negara, maka jelaslah bahwa Palestina menurut kriteria tersebut adalah negara. Syarat atau kriteria untuk dapat disebut negara telah terpenuhi, dan juga seperti yang kita ketahui bahwa Palestina telah mendapatkan pengakuan dari berbagai negara-negara yang mendukung perjuangannya, ini bisa dilihat dari hubungan diplomatik yang Palestina lakukan dengan negara-negara tersebut. Akan tetapi, tetap saja eksistensi Palestina sebagai sebuah negara masih belum jelas.
Berdasarkan realitas yang terjadi inilah yang kemudian menunjukan bahwa kriteria untuk dapat dianggap sebagai negara menurut Konvensi Montevideo 1933 saja belum cukup untuk membuat sebuah negara dapat hidup seutuhnya sebagai sebuah negara beserta hak dan kewajiban yang setara dengan negara-negara lainnya. Dibutuhkan sebuah pemberian status yang jelas oleh PBB terhadap sebuah negara baru tersebut untuk menegasakan eksistensinya dalam kehidupan internasional.
Pada dasarnya keberadaan negara baru tersebut tidak harus diikuti oleh pengakuan negara-negara didunia. Tanpa pengakuan dari negara lain, suatu negara tetap memiliki hak untuk mempertahankan kesatuan dan kemerdekaan negaranya demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi negaranya. Problem utama Palestina hingga sekarang belum diakui oleh PBB sebagai suatu negara yang berdaulat khususnya Amerika Serikat yang memegang hak veto dikarenakan masih terjadinya perebutan wilayah dengan israel  sehingga tidak menimbulkan kejelasan tentang batas wilayah yang dimiliki oleh Palestina, yang kedua ialah pemerintahan Palestina sendiri masih bersifat dualisme antara HAMAS dan Fatah sehingga menimbulkan pemerintahan yang tidak berdaulat. Sehingga dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sebuah negara baru bisa dikatakan negara apabila memiliki tiga unsur negara sehingga dapat menjalin hubungan diplomatik sebagai negara yang berdaulat khususnya menjadi anggota PBB yang mana eksistensi sebuah negara baru tidak dapat diingkari lagi sehingga semua negara khususnya Israel dapat menghormati hak-hak  negara Palestina sebagai negara yang memiliki status penuh . Sehingga untuk bisa dikatakan menjadi sebuah negara yang berdaulat yang diakui oleh dunia harus sesuai dengan teori pengakuan konstitutif

44)      Yang dimaksud pemerintahan yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain dimuka bumi. Akan tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara terbatas pada wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatan suatu negara terbatas pada kedaulatan negara lain. Suatu negara harus memiliki pemerintah, baik seorang atau beberapa orang yang mewakili warganya sebagai badan politik serta hukum dinegaranya, dan pertayhanan wilayah negaranya. Pemerintah dengan kedaulatan yang dimilikinya merupakan penjamin stabilitas internal dalam negaranya, disamping merupakan penjamin kemampuan memenuhi kewajibannya dalam pergaulan internasional. Pemerintah inilah yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka mencapai kepentingan nasional negaranya, baik itu di dalam negaranya dalam rangka mempertahankan integritas negaranya, maupun di luar negaranya melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu.
Sama dengan pengakuan terhadap suatu negara baru, pengakuan terhadap pemerintahan baru tidak lepas dari kepentingan politik semata. Pengakuan terhadap pemerintahan yang baru berkaitan dengan unsur negara yang ketiga yaitu pemerintahah yang berdaulat, serta unsur kemampuan untuk mengadakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Pada dasarnya pengakuan terhadap pemerintahan baru berakibat hukum bagi negara yang diakui dan negara yang mengakui (diplomatik). Akan tetapi pengakuan juga berakibat hukum pada tindakan-tindakan negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya itu tidak dapat diuji.
Berdasarkan kasus perubahan pemerintahan baru di Myanmar, maka doktrin yang tepat atas pemerintahan baru tersebut ialah doktrin legitimasi. Doktrin legitimasi menyatakan bahwa pemerintahan yang dibentuk secara konstitusional, hak setiap bangsa untuk mengubah dan membentuk pemerintahannya. Pergantian pemerintah secara normal dan konstitusional, maka pemerintahan baru tidak memerlukan pengakuan menurut hukum internasional, karena sudah sah sehingga pengakuan dari negara lain tidak diharuskan. Myanmar dikuasai militer sejak 1962. Saat junta militer mengambil alih kekuasaan, pemerintah tidak lagi memiliki konstitusi negara. Junta militer mengatakan, konstitusi baru tersebut akan membuka jalan menuju negara demokratis. Dari uraian diatas pemerintahan baru Myanmar tidaklah harus diakui oleh internasional karena perubahan pemerintahan Myanmar sendiri berganti secara konstitusional berdasar konstitusi baru Myanmar tahun 2008.

55)      Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarakan definisi pengungsi sebagai sesorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan agama, ras, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut. Secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar dan mengalami penindasan. Rasa takut yang berdasar inilah yang membedakan pengungsi dengan jenis migran lainnya, seberat apapun situasi dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Suaka adalah bentuk perlindungan dari dipulangkannya seseorang ke suatu negara yang ditakuti, yang memungkinkan pengungsi dapat memenuhi syarat untuk menetap disuatu negara yang pada akhirnya dapat menjadi penduduk tetap yang sah. Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya. Sehingga istilah pencari suaka sangat berkaitan erat dengan pengungsi. Terdapat perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi. Draft UNHCR mendefinisikan pencari suaka sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa sesorang adalah pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu. Sehingga, pencari suaka merupakan tahapan sebelum menjadi pengungsi. Adapun pengaturan antara pengungsi dan pencari suaka adalah Konvensi  Tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi. Karena pencari suaka merupakan proses sesorang untuk mendapatkan status sebagai pengungsi, maka pengaturannya pencari suaka sama dengan pengungsi.

66)      Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalah antar Negara penerima dengan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi pengungsi dan membantu pengungsi sering menjadi permasalahan utama dalam penetapan status mereka. Apalagi tidak semua negara penerima merupakan peratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Krisis pengungsi dan pencari suaka bukan hanya merupakan masalah Eropa semata. Tidak hanya di Suriah, konflik dan kekerasan di berbagai belahan dunia telah menyebabkan jutaan orang terpaksa menjadi pengungsi. Mayoritas pemerintahan di seluruh dunia enggan menerima mereka karena khawatir kebijakan tersebut menciptakan “faktor pendorong” untuk menarik lebih banyak pencari suaka untuk datang ke negaranya.
Dewan Keamanan PBB harus mendiskusikan kerangka resolusi untuk menangani krisis migran Eropa ini. Upaya penyelesaian isu pencari suaka harus dimulai dari hulu, yakni dari negara asal para pencari suaka. Penanganan masalah di hilir atau disaat para pencari suaka telah sampai di negara-negara tujuan setelah melalui perjuangan hidup dan mati sangat tidak manusiawi. Sebagaimana ketentuan dalam hukum internasional lainnya, ketentuan tersebut mengikat seluruh negara yang menjadi pihak dalam konevensi tersebut, sedangkan negara-negara non pihak, kewajiban-kewajiban perlindungan dan penanganan pengungsi lebih tergantung pada kerelaan dari negara non pihak tersebut. Sekalipun demikian, prinsip peraturan yang tidak mengikat untuk negara-negara non pihak pada konvensi tersebut tidak serta merta menhapuskan kewajiban universal lainnya dalam memberikan perlindungan dan penegakan HAM.

77)      Batas wilayah menunjukan tempat awal mula dan berakhirnya sesuatu, juga menandai kepemilikan atas sesuatu. Untuk batas daratan biasanya terdapat penegasan batas yang dilakukan dengan menandai perbatasan dengan memasang tanda-tanda atau patok-patok batas di sepanjang garis perbatasan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan untuk batas alam seperti gunung, sungai, danau,dll. Lalu bagaimana dengan danau dan sungai? Yang tidak bisa dilayari ialah bahwa sungai dan danau tersebut dibagi dua sama atau dengan garis tengah menurut konfigursi sungai dan danau yang ada. Sedangkan untuk bisa dilalui ialah garis tengah daerah tersebut bebas untuk dilalui.
Untuk menentukan batas laut kedua negara, maka ada dua konsep yang digunakan, yaitu konsep Teritorial Laut dan Zona Ekonomi Eksklusif. Konsep tersebut adalah perangkat yang disepakati melalui konvensi hukum laut  UNCLOS 1982, yaitu adanya konsep Laut Teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil dari garis dasar yang dipakai untuk menentukan batas Laut Teritorial suatu negara. untuk wilayah laut ada yang menambahkan dengan wilayah Zona Tambahan, yaitu nilai strategis batas wilayah laut dengan Zona Tambahan selebar 12 mil laut yang mengelilingi laut wilayah selebar 12 mil laut. Selain Laut Teritorial, ZEE, dan Zona Tambahan ada juga Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan daerah dasar laut dibawah laut teritorial sampai dengan batas maksilam 300 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman 2500 meter. Batas suatu negara di laut kemudian ditetapkan dengan menarik garis-garis pangkal yang menghubungkan rangkaian titik-titik terluar yang disebut titik dasar.
Konvensi paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara diatasnya. Konsekuensinya adalah memberikan hak kepada negara untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka. Ratifikasi konvensi 1919 berjalan lambat sehingga muncul konvenci 1944. Konvensi 1944 menyatakan hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Apabila mempelajarai konvensi 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara baik itu secara horisontal maupun vertikal. Untuk wilayah udara secara horisontal dapat diselesaikan dengan melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional,sehingga menimbulkan kebebasan yang diawasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar