LEGAL REASONING (LOGIKA HUKUM)
TERHADAP JUDICIAL REVIEW UU ANTITERORISME SEBAGAI PRODUK BARGAINING POLITIK
Anggi Yoga Pramanda (K6414007)
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
089622342254
Abstrak
Produk hukum bisa
saja memuat isi yang keluar dari batas
proporsional muatan materi yang ditentukan,baik karena tidaktahuan maupun
karena kepentingan kelompok politik yang sifatnya jangka pendek. Judicial review merupakan instrumen
hukum yang dapat mengawal isi peraturan perundang-undangan melalui uji materi.
Dalam keinginan untuk membangun dan menegakakn sistem hukum tertentu,setiap
langkah pembentukan hukum dalam semua hierarkinya (peraturan
perundang-undangan) harus sesuai dengan desain tujuan negara kemudian
melahirkan sistem hukum itu. Dasar-dasar dari sistem hukum tersebut biasanya
diletakkan di dalam UUD atau konstitusi. Jika ada isi peraturan
perundang-undangan yang salah atau menyimpang dari UUD,maka harus ada cara
untuk membenarkan. Dan salah satu cara membenarkan, agar semua produk hukum
sesuai dengan sistem hukum yang hendak dibangun adalah judicial review,yakni pengujian oleh lembaga yudisial atas suatu
peraturan perundang-undangan: apakah ia sejalan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkis lebih tinggi? Dan lembaga yudisial
berhak menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan batal atau
dibatalkan karena isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Apa
pengganti perarutan yang dibatalkan tersebut?
Kata kunci : politik, uji
materi,subtansial,kekosongan hukum
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi
dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan
politik. Di Indonesia, konfigurasi politik berkembang melalui tolak tarik
antara yang demokratis dan otoriter,sedangkan karakter produk hukum
mengikutinya dalam tolak tarik antara yang renponsif dan konservatif. Sementarai
itu,untuk membangun terti tata hukum dan meminimalisasikan pengaruh politik,’judicial review’ sebenarnya dapat
dijadikan alat kontrol atau pengawal yang baik. Tetapi,ketentuan-ketentuan
tentang judicial review di dalam berbagai peraturan perundangan era Orde Baru
ternyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak dapat
dioperasionalkan.
Struktur
hukum dapat berkembang segala konfigurasi politik yang ditandai dengan
keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi berbagai bidang hukum, tetapi
pelaksanaan fungsi dan penegakan hukum cenderung semakin lemah.
Ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan
oleh terjadinya ganguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan
fungsi hukum tersebut.
Asumsi
dasar yang dipergunakan kajian ini adalah hukum merupakan produk politik
sehingga karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentuak atau diwarnai
oleh imbangan kekuatan dan konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini
dipilih berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk
keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari
pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalngan para politisi. Meskipun
dari sudut “ das sollen” ada
pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun kajian ini
lebih melihat sudut “ das sein” atau
empiriknya bahwa hukumlah yang dalam kenyataannnya ditentukan oleh konfigurasi
politik yang melatarbelakanginya. Untuk kasus Indonesia terjadi juga fenomena
menonjolnya fungsi instrumental hukum sebagi sarana kekuasaan politik dominan
yang lebih terasa bila dibandingakn dengan fungsi-fungsi politik dominan yang
lebih terasa bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Bahkan ,fenomena
itu dapat di lihat dari pertumbuhan pranata hukum,nilai dan prosedur, perundang
undangan dan birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagi
kondisi dan proses pembangunan melainkan juga menajdi penopang tangguh struktur
politik, ekonomi, dan sosial.
Karena
produk hukum merupakan refleksi dari konfigurasi politik yang melahirkannya,
maka ada kemungkinan bahwa setiap produk hukum yang lebih tinggi yang menjadi
dasarnya. Dengan kata lain, aada kemungkinan bahwa UU sebagai produk politik
memuat isi yang tidak sesuai dengan UUD. Untuk itu disarankan judicial review terhadap UU segera
dilembagakan. Melalui judicial review
setiap produk hukum dapat dinilai konsistensinya dengan UUD dan jika tidak
konsisten UU tersebut dapat dinyatakan batal. UUD 1945 tidak menyebut adanya judicial review, tetapi UUD tersebut
juga tidak melarang, sehingga secara prinsip tidak ada larangan
konstitusionalnya, bahkan untuk kemanfaatannya “tertib tata hukum” pelembagaan
UU diperlukan.
Permasalahn
yang mengemuka justru lebih kompleks di atas sekedar deklarasi bahwa sebuah UU dinilai bertentangan dengan UUD dan
secara otomatis tidak berguna lagi. Permasalahan yang selama ini luput dari
perhatian adalah landasan hukum aman lagi yang memungkinkan dijadikan sebagai
pegangan pasca sebuah UU dinyatakan tidak berlaku? Apakah UU yang lama, yang
secara subtansial telah diganti oleh UU yang baru dan dinyatakan bertentangan
dengan UUD itu? Atau UU yang dinyatakan tak berlaku itu masih mempunyai
kekuatan hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
hukum nasional
Dalam
sistem hukum nasional Indonesia berdasarkan UUD 1945, hukum perundang-undangan
meliputi UUD, Tap MPR, UU. Perppu,PP,Keppres, Keputusan Menteri,dan seterusnya.
UUD dan Tap MPR ditetapkan oleh MPR, sedangkan UU dibentuk presidenn dengan
persetujuan DPR. Sementara itu,Perppu ditetapkan oleh presiden, tetapi dalam masa
sidang berikutnya harus sudah mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui
Perppu meningkat statusnya menjadi UU, dan jika ditolak DPR,maka Perppu itu
harus dicabut dan tidak dapat lagi diajukan ke DPR dalam masa persidangan
berikutnya.
Peraturan
Pemerintah ditetapkan oleh pemerintah tanpa harus disetujui DPR. PP biasanya
atas perintah UU atau untuk melaksanakn suatu UU. Oleh karena itu, PP tidak
bisa berdiri sendiri tanpa pendelegasian materiil dari UU yang sudah ada lebih
dahulu. Adapun Keputusan Presiden, dibentuk oleh Presiden sendiri tanpa perlu
diikaitkan dengan pendelegasian materiil dari UU. Artinya materi yang dimuat
dalam Keppres dapat sepenuhnya bersifat mandiri dalam rangka kewenangan
Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Keputusan
Presiden dapat saja dibuat untuk melaksanakan perintah UUD,GBHN,UU, ataupun PP.(Jimlie
Asshidiqie 2012:8)
Di
tingkat daerah ,ada pula Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, dan sebagainya.
Ketentuan membegani pembuatan hukum di tingkat daerah ini, seyogianya juga mengikuti
pola di tingkat pusat. Misalnya, Peraturan Daerah di buat oleh Gubernur dengan
persetujuan DPRD. Akan tetapi, DPRD sendiri dapat pula berinisiatif mengajukan
rancangan Perda seperti hak inisiatif DPR pusat untuk mengajukan RUU tertentu
kepada pemerintah. Akan tetapai, karena restrukturisasi pemerintahan daerah
dalam rangka kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di masa yang akan
datang, ketentuan mengenai pembuatn hukum seperti ini masih harus disesuaikan
dengan perkembanagn pelaksanaan kebijakan desentralisasi itu nantinya.
Misalnya, jika nanti DPRD tingkat Provinsi di tiadakan, dan DPRD hanya ada di
tingkat Kabupaten/ Kota, maka otomatis ketentuan mengenai Peraturan Daerah itu
hanya akan ada di tingka provinsi yang di keluarkan oleh Gubernur yang hanya
akan berperan sebagai kepala Wilayah, masih perlu dipikirkan baik bentuknya
maupun otoritas kedudukannya sebagai produk hukum di tingkat provinsi.
Dalam
penelitian ini yang akan diteliti adalahs sampai sejauhmana hukum positif
tertulis yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lainnya. Hal ini dapat
dilakukan melalui jalur vertikal yaitu, melihat apakah suatu peraturan
perundang undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Apabila yang dilakukan
adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal, maka yang termasuk
dalam ruang lingkupnya adalah berbagai peraturan perundang undangan yang
derajatnya berbeda yang mengatur bidang yang sama. Derajat atau hierarki
peraturan perundang undangan diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang peraturan
perundang-undangan .
a. Bentuk
peraturan perundang undangan RI menurut UU No 12 tahun 2011, secara hierarki
adalah sebagai berikut
-
UUD 1945
-
TAP MPR
-
UU/PERPPU
-
PP
-
PERPRES
-
PERDA PROVINSI
-
PERDA KABUPATEN/KOTA
b. Sesuai
dengan sistem konstitusi yang dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945, UUD 1945
adalah bentuk peraturan perundang undangan yang tertinggi yang menjadi dasar
dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan di bawahnya.
c. Sesuai
pula prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan harus
berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.(Suratman 2014:63-64)
Setiap
peraturan perundang-undangan harus mempunyai dasar hukum pada peraturan
perundang undangan tingkatan lebih tinggi tingkatannya. Peraturan
perundang-undangan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah dapat
dituntut untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum. Konsekuensi ini telah ada
walaupun tidak di atur.(Hasan Suryono 2015:127)
Konsekuensi
penting dari prinsip-prinsip tersebut
harus diadakan mekanisme yang menjamin dan menjaga agar prinsip tersebut tidak
disimpangi dan dilanggar. Mekanisme yaitu ada sistem pengujian secara yudisial
atas sikap setiap peraturan perundang-undangan aturan kebijakan maupun tindakan
pemerintahan lainnya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya atau tingkat tertinggi, yaitu UUD.
Konsekuensi
tersebut, tata urutan tidak akan berarti suatu peraturan perundang-undangan
tingkat lebih rendah dapat tetap berlaku walaupun bertentangan dengan peraturan
perundang undangan tingkat lebih tinggi. Dengan demikian ,adanya pengujian
secara yudisial ini menjadi sangat penting dalam tata urutan peraturan
perundang undangan.
B.
Hukum
dan politik
Di
dalam masyarakat modern yang demokratis,prototipe dari kedaulatan dapat dilihat
dari sistem legislatifnya. Kedudukan badan legislatif sebagai penentu
kebijakan(policy) yang merupakan
penggunaan aktual dari kekuasaan yang ada, merupakan salah satu sumber utama
dari konsepsi mengenai tujuan hukum yang juga merupakn ukuran untuk melakukan
evaluasi terhadap efisiensi dari struktur peranan yang dipergunakan.(Samsul
Wahidin 2014:167)
Tukar
menukar kebijakan untuk mengipretasikan kebijakan-kebijakan demikian itu
mungkin akan mengakibatkan suatu perpecahan, oleh karena badan legislatif yang
merupakan sasaran dari pengaruh perilaku yang ganjil dalam menampung pendapat
umum dari tuntutan-tuntutan pribadi mengenai berbagai kelompok kepentingan,
kerap kali menetapkan kebijakan yang
bertentangan. Pengadilan yang dalam situasi demikian ini harus mampu untuk
memilih di antara beberapa kebijakan negara yangyang berbeda.
Bahwa
pengadilan harus memilih di antar kebijakan-kebijakan yang bertentangan,
berarti bahwa pengadilan memiliki jenis keluaran sekunder untuk sistem politik
sebagi penukaran untuk memperoleh masukan sekunder dari pemaksaan(enforcement). Hal ini berarti bahwa
pengadilan menjadi suatu legitimator keputusan-kepitusan legislatif, dan hal
ini menambah ketergantungan politik pada keberhasilan dari penyelesaian suatu
perkara.
Didasarkan
pula pada alasan bahwa hukum itu adalah produk politik yang pasti tidak steril
dari kepentingan-kepetntinagn politik para anggota-anggota lembaga yang
membuatnya. Sebagai produk politik
kelompok dan jangka pendek yang secara subtansial bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi hierarkinya. Selain itu, sebagai produk politik,
hukum bisa berisi hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi
oleh karena DPR sebagai lembaga politik banyak beranggotakan orang-orang yang
tak biasa berpikir menurut disiplin ilmu hukum.
C.
Konfigurasi
politik dan Produk hukum
Asumsi
hukum merupakan produk politik mengatakan pada fakta bahwa produk hukum
tertentu merupakan produk politik tertentu pula. Konfigurasi politik yang
demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom,
sedangkan konfigurasi politik yang otoriter (nondemokratis) akan melahirkan
produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks atau menindas. Berdasarkan
indikator-indikator tersebut, maka konsep-konsep itu kemudian diberi pengertian
konseptual yang khusus, yaitu: ( Mahfud MD 2010:67)
1. Konfigurasi
politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperananya potensi rakyat secara maksimal untuk turut
serta dalam menentukan kebijakan negara.
2. Konfigurasi
politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi
yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak
teragregasi dan terartikulasi secara proporsional
3. Produk
hukum responsif/ otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan
pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di
dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam
masyarakat.
4. Produk
hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan
visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatnya tidak mengundang
partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
D.
Judicial
review
Di
Indonesia, sudah ada peraturan tentang judicial
review, tetapi ia terbatas pada peraturan perundang undangan yang
derajatnya dibawah UU. Peraturan perundang-undangan yang mengatur judicial review terhadap peraturan
perundang undangan yang derajatnya
dibawah UU antara lain UU no 14 tahun 1985.
Terlihat
juga fakta bahwa hampir setiap UU (tertulis yang berkarakter konservatif)
memberikan “space” yang luas kepada
pemerintah untuk menginterpretasikan dengan berbagai peraturan pelaksanaan
melalui delegasi perundang-undangan maupun droit
function, yakni menentukan secara sepihak materi peraturan yang bersifat
enunsiatif. Kenyataan ini dapat juga memberi peluang kepada pemerintah untuk
membuat peraturan pelaksanaan atas UU
menurut visi dan kekuatan politik sendiri.
Berbicara
tentang judicial review di dalam
politik hukum tak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hukum
perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan. Sebab,judicial review itu bekerja atas dasar
peraturan perundang undangan yang tersusun secara hierarkis. Pengujian oleh
lembaga yudisial dalam yudicial review
adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya satu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarkis.
Judicial review tak bisa dioperasikan tanpa peraturan perundangang-undangan
yang tersusun secara hierarkis.
Bagir
Manan mengatakan bahwa hukum perundang-undanagn adalah hukum tertulis yang
dibentuk dengan cara tertetntu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan
dalam bentuk tertulis. Hukum perundang-undangan yang menenekankan pada bentuk
tertulis ini terkait erat dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang menganut legisme dan civil law. Dalam hal ini
dapat dikemukakan bahwa ada dua tradisi dan sistem yang melahirkan konsepsi
negara hukum, yaitu(1) Tradisi Eropa Kontinental dengan civil law yang menekankan pada hukum tertulis dengan tekanan pada
kepastian hukum. (2) Tradisi Anglo Saxon dengan common law yang menekankan pada yurisprudensi guna mencapai
penengakan rasa keadilan.
Karena
hukum adalah produk politik,sebagai produk politik, bisa saja UU berisi hal-hal
yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Minimal ada dua hal yang dapat menyebabkan sebuah UU memuat hal
yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Pertama, pemerintah dan DPR
sebagai lembaga legislatif yang mebuat UU adalah lembaga politik yang sangat
mungkin membuat UU atas dasar kepentingan politik mereka sendiri atau kelompok
yang dominan di dalamnya. Sebagai produk politik,UU itu tak lain merupakan
kristalisasi( legalisasi) atas kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan
yang bisa saja produknya bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Dalam konteks
inilaha perlunya adanya judicial review
atau constituional review untuk membersihkan UU dari unsur
kepentingan politik yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi.
Kedua,
pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik, dalam faktanya lebih banyak berisi
orang-orang yang bukan ahli hukum atau kurang bisa berfikir menurut logika
hukum. Mereka direkrut atas dasar ketokohannya dan berhasil meraih dukungan
politik tanpa pertimbangan keahlian di bidang hukum. Dengan fakta seperti itu,
sangat mungkin para politisi di lembaga legislatif itu membuat UU yang isinya
bertentangan dengan UUD atau konstitusi akibat ketidakpahaman mereka. Itulah
sebabnya, hak uji materiil atau judicial
review oleh lembaga kekuasaan kehakiman diperlukan untuk membersihkan UU
dari berbagai isi yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi.
E.
Subtansi
hak uji materiil
Kinerja
mahkamah konstitusi menguji secar materiil(judicial review) terhadap materi sebuah
UU sungguh tidak sederhana. Hal ini mengingat bahwa produk hukum berupa UU (
dalam arti formal) dibuat melalui mekanisme yang demikian ketat. Secara formal
sebuah UU yang telah disetujui oleh DPR sebagai lembaga pembentuk UU dalam
sistem UUD 1945, merupakan produk final dan dipandang telah mencerminkan
aspirasi masyarakat. Kehadiran sebuah produk UU sering diwarnai oleh
kontroversi, friksi, bahkan konflik di tengah masyarakat baik ketika dibuat
maupun ketika dilaksanakan.(Samsul Wahidin 2014:189)
Pada
sisi lain produk hukum berupa UU itu hakekatmya adalah merupakan sebuah hasil
akhir dari bargaining politik dari
berbagai organisasi masa, khususnya kekuatan sosial politik di dalam parlemen
dengan kepentingan masing masing yang sering tidak sejalan. Dengan kondisi ini,
sebuah produk hukum berupa UU masih bisa mengandung penyimpangan dan tidak
sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UUD 1945 sebagai produk hukum dengan
hierarki tertinggi. Pemaknaan terhadap produk bargaining politik itulah yang pada akhirnya melahirkan klausula di
dalam UU dan inilah akhirnya menjadi legal
reasoning peninjauan produk hukum berupa undang-undang oleh mahkamah
konstitusi yang tentunya punya visi dan perspektif yang tidak selalu sama
dengan pembentuk UU.
Merujuk
pada ketentuan yang ada dalam pasal 24 C dan Tap MPR No III/MPR/2000 ternyata
masih ada sisi lain yang secara subtansial menjadi amsalah mendasar dan selama
ini luput dari perhatian para pembentuk UU. Ketentuan tersebut adalah klausula
bahwa begitu Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan versi kedua-bahwa sebuah
UU dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka secara otomatis UU dinilai
bermasalah itu pun tidak berlaku. Para pengadu uji materiil bisa bernapas lega
mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan pertama dan terakhir
untuk kewenangan menguji secara materiil terhadap UU.
Ketentuan
ini merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme uji materiil sebelumnya(vide pasal 26 UU no 14 tahun 1970) bahwa
begitu mahkamah agung menyatakan sebuah produk hukum bertentangan dengan produk
hukum diatasnya, maka instansi pembuat produk hukum tersebut harus
mencabutnya.permasalahn muncul bagaimana jika instansi yang bersangkutan tidak
mau mencabut. Hal inilah yang menjadi ganjalan sehingga rumusan itu
disempurnakan bahwa ketika sebuah UU dinyatakan betentangan dengan UUD maka mutatis mutandis, tanpa menunggu
pencabutan UU oleh pembuatnya maka otomatis tidak berlaku.
Permasalahan
yang mengemuka justru lebih kompleks di atas sekedar deklarasi bahwa sebuah UU
dinilai bertentangan dengan UUD dan secara otomatis tidak berguna lagi.
Permasalahan yang selama ini luput dari perhatian adalah landasan hukum aman
lagi yang memungkinkan dijadikan sebagai pegangan pasca sebuah UU dinyatakan
tidak berlaku? Apakah UU yang lama, yang secara subtansial telah diganti oleh
UU yang baru dan dinyatakan bertentanagn dengan UUD itu? Atau UU yang
dinyatakan tak berlaku itu masih mempunyai kekuatan hukum?
Sebagai
contoh tanpa berpretensi untuk menilai kinerja Mahkamah Kontitusi yang susah
payah di bentuk, seandainya UU kelistrikan yang diuji simpulannya betentangan
dengan UUD, dasar hukum mana yang dipakai oelh lemabga kelistrikan nasional
untuk bekerja? Sementara UU kelistrikan yan usianya sudah cukup lama itu sudah
berkembang jauh, baik sisi program kerja, kelembagaan , dan juga anggaran?
Apakan mutatis mutandis dinyatakan
tidak berlaku itu kemudian lembaga kelistrikan nasional mendasarkan diri pada
UU yang sudah tenggelam karena sudah dicabut oleh UU kelistrikan yang baru dan
dinyatakan bertentangan dengan UUD itu?
Jika
UU tentang penyiaran pun dijuji materinya dan dinyatakan bertentangan dengan
UUD, misalnya apa dasar hukum kebijakan penyiaran kalau UU tentang penyiaran
yang dijadikan pegangan oleh elemen penyiaran? Sementara berdasarkann UU tersebut
telah dibuat berbagai kelembagaan bahkan permanen, baik di pusat maupun di
daerah yang sifatnya sudah demikian jauh dan kompleks. Atas dasar UU yang
dinyatakan tidak berlaku itu sudah dibuat begitu banyak program dengan
komplesitas permasalahannya.
Dalam
perpekstif kultural, nampak bahwa kultur hukum kita masih terpola pada
pemikiran sempit dengan memberikan penilaian tentang suatu atas dasar hitam
putih. Tetapi dampak yang ditimbulkan setelah itu? Ternyata ibarat pepatah
kinerja Mahkamah Konstitusi itu seperti menyelesaikan masalah tetapi dengan
membuat masalah baru.
Sebagai
bahan pemikiran, ada asas hukum yang menyatakan bahwa sebelum ada aturan yang
baru maka aturan yang lama dijadikan sebagai patokan kinerja untuk mencegah
kekosongan hukum(vide pasal III
aturan peralihan). Kalau sudah demikian, maka ada dua arti. Pertama ,secara
kelembagaan dipergunakan UU yang lama (UU yang digantikan oleh UU yang diuji).
Kalau ini yang terjadi maka sungguh ganjil sebab UU yang lama itu dipastiakn out of date, tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman dan tentu sudah tidak
punya nilai keadilan serta kepastian hukum.
Kalau
arti kedua yang dipegang bahwa aturan lam itu dipergunakan sebelumnya ada
atauran yang baru itu berarti bahwa UU yang dinyatakan tidak berlaku itu tetap
berfungsi sampai adanya UU pengganti. Bukankah kalau demikian kinerja Mahkamah
Konstitusi itu hanya sia-sia? Soalnya UU baru yang diharapkan sebagai pengganti
ini bisa hadir dalam waktu yang lama.
Apa
lagi dengan dinyatakannya bertentangan
dengan UUD itu berarti secara subtansial merendahakan kinerja lembaga pembentuk
UU yang dengan susah payah melahirkan sebuah UU. Mereka mungkin enggan
membentuk UU baru sebagai pengganti. Kalau sudah demikian tentu kekosongan
hukum justru yang berimpilikasi kepada adanya ketidakpastian hukum justru akan
semakin menguat.
F.
Ketika
MK menguji UU anti nterorisme
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Antiterorisme merupakan paradigma
pendekatan baru dalam dimensi hukum di Indonesia. Inilah contohnya pergeseran pendekatan
hukum yang mula-mula bersifat represif menjadi pendekatan yang sifatnya
preventif. Represitas pendekatan pada UU tersebut dapat ditelisik sejak dimunculkannya
wacana ISA yang menjadi cikal bakal keluarnya perpu dan akhirnya disetujui
menjadi UU Anti Terorisme tersebut.
Bahwa
secara subtansial isi dari UU itu cenderung membungkam aspirasi yang secara
riil muncul ditengah masyarakat Indonesia. Juga UU itu lebih berpihak kepada
kepentingan asing(khususnya Amerika dan Australia) yang trauma dan ketakutan
terhadap teroris dan menekan negara lain untuk mencegah tindakan teror dengan
menggunakan versi mereka.
Pendekatan
yang lebih preventif terbaca dari pengakuan dan inti dari putusan MK yang
teridri dari dua poin penting yaitu,pertama, bahwa UU tersebut bertentangan
dengan pasal 28 ( i) UUD 1945 dan kedua, pengakuan bahwa peraturan
perundang-undangan di Iindonesia khususnya yang berlevel Undang- Undang telah
cukup dapat menjaring pelaku teror untuk diadili berdasarkan ketentuan hukum
positif di Indonesia, selain UU yang sangat keras tetapi tidak cukup menakutkan
bagi pelakunya.
Sekurangnya
ada tiga hal yang menajdi dampak berikut dibatalkannya UU anti terorisme itu.
Pertama, tentang legal reasoning
(logika hukum). Dalam hal perpekstif ini, putusan yang diajtuhkan Mk dapat
disebiut sangat sesuai denga paradigma logika hukum tentang kepercayaan
terhadap aturan yang sudah ada dan menjadi dasar dalam penegakan hukum di tanah
air atas perbuatan teror. Bahwa sejatinya yang paling penting dari permasalahan
terorisme adalah penegakan, bukan peraturannya.
Hal
diatas menggeser paradigma sosial selama ini menajdi dasar logika para penegakan
hukum bahwa jika ada indikasi pelanggran hukum , maka dibuat hukumnya dulu
sehingga ada kesan bahwa permasalahn hukum dapat diselesaikan dengan dibuatnya
peraturan. Akibat banyaknya aturan hukum yang mengatur perbuatan sejenis, pada
tahap berikunya menyebabkan para praktisi hukum bersilang sengketa mengenai
dasar hukum untuk menjerat suatu pelanggarn hukum. Legal reasoning yang dibangun dari keputusan itu adalah bahwa
sejatinya peraturan di tanah air, termasuk perbuatan pidana yang ekstrem pun
sudah ada aturannya dan tidak memerlukan aturan khusus lagi.
Kedua,
tentang legitimasi bahwa putusan ini mrupakan langkah maju untuk pertama
kalinya dalam kerja Mk telah memutuskan pertentangan sebuah UU dengan konstitusi
secara keseluruhan. Kendati pun yang diputuskan oleh MK adalah
subtansi(materiil) yaitu pertentangan UU dengan pasal 28 (i) namun aspek yang
lebih mendasar dari itu adalah soal legalitas lembaga tersebuit dalam
menjatuhkan putusan. Selama,ini yang dilakukan oleh MK adalah memutuskan
klausula ( pasal tertentu) bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi. Seperti ketentuan tentang boleh atau tidaknya anggota dan simpatisan
PKI dan organisasi terlarang lain berpolitik yang merupakan satu ketentuan
pasal dalam UU.
Dijatuhkannya
putusan pertentangan UU secara keseluruhan memberikan legalitas yang menunjukan
kemandirian MK. Hal ini memberi kepercayaan lebih besar lagi kepada lembaga
tersebut dan memberi harapan baru kepada masyarakat akan kesungguhan kinerja
lembaga tersebut. Juga menharuskan lebih konsistennya pembuat peraturan
terhadap tata urutan perarutan perundang-undangan (vide UU no 12 tahun 2011) dengan lebih konsisten memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya (khususnya UUD 1945)
sebagai dasar pembuatan peraturan pelaksana khususnya pada level Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui,MK mengadili dan memutus perkara apakah ada pertentangan
antara pasal-pasal (atau Undang-Undangnya sendiri) dengan ketentuan UUD sebagai
acuan yang harus dijadikan sebagai dasar hukum.
Ketiga,putusan
tentang pertentangan UU Anti Terorisme itu akan menjadi paradigma baru dalam
perilaku aparat penegak hukum,khusunya kepolisian dan kejaksaan. Selama ini,
kionerja mereka diibaratkan hanya secara mekanis taat kepada Undang-Undang dan
harus menerapkan secara konsisten.
Untuk
sampai pada pola perilaku ini pun dibutuhkan waktu yang cukup lama sebagai
upaya menanamkan kestabilan. Putusan itu merobah perilaku tersebut dan
keharusan konstitusional untuk tak lagi menjadikan UU itu sebagi dasar hukum
beserta konsekuensinya. Konsekuensi dimaksud adalah sesuai dengan asas hukum
keberlakuan sebuah putusan (vide UU
MK bahwa begitu putusan dijatuhkan tidak ada banding, apalagi kasasi) maka penyidikan
dan kinerja penuntutan yang didasarkan atas ketentuan UU itu harus dibatalkan.
Pembatalan
sebagaimana dimaksud, tidak dnegan serta merta membebaskan seseorang tetapi
cukup mengganti dengan dasar hukum yang lain. Dalam konteks inilah, yang juga
terbaca oleh MK sehingga keputusan tersebut tidak akan mempengaruhi kinerja
dari aparat penegak hukum atas putusan yang telah dijatuhakn pada kasus yang
sudah final meskipun didasarkan oleh UU tersebut.
Misalnya
tidak akan berpengaruh terhadap putusan atas Amrozi dkk. dalam kasus Bom Bali.
Demikian pula orang yang sekarang ini ditahan dan telah diekseskusi atas
tuduhan melanggar UU Anti Terorisme, tidak harus ditbebaskan karena ketiadaan
dasar hukum tetapi cukup menggatinya dengan ketentuan UU yang lain, dan itu
ibarat barang tersedia dengan sangat cukup termasuk yang konvesional,yaitu
KUHP.
Putusan
yang dijatuhkan oleh MK itu pada sisi lain menjadi dasar untuk memperkokoh
pendidikan hukum (educative law) bagi
penegak hukum agar mereka secara profesional mengenakan ketentuan pasal
tertentu kepada tersangka tidak asal menyesuaikan diri antar unsur-unsur materi
pasal dengan apa yang dilakukan tersangka. Penegak hukum dituntut untuk
benar-benar menjadi hamba hukum dan tidak semata menjadi hamba peraturan (pelaksan Undang-Undang).
Di
sisni ada keharusan mecermati lebih kritis tiap ketentuan yang akan dikenakan
sesuai dengan kondisi perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, ke depan
sangat diharapkan lahir keputusan yang benar-benar didasarkan pada objektivitas
seperti putusan atas UU Antiterorisme ini. Bukan semata putusan yang secara
sempit menganulir ketentuan UU tetapi ternyata tidak ada penggantinya sehingga
putusan yang dijatuhkan sama bohong.
Hal
itu disebabkan asa hukum bahwa sebelumnya ada peraturan yang menggantikan maka
peraturan lama yang dipakai. Karena peraturan baru belum ada, maka peraturan
lama (yang dinyatakan tidak berlaku) itu tetap dijadikan sebagai dasar hukum.
Keputusan Mahkamah Agung atas peraturan perundang di bawah UU sebagai ranah
kinerja MA dalam Hak Uji Materiil banyak yang seperti ini sehingga putusan yang
dijatuhkan justru tambah meruwetkan rimba hukum Indonesia
BAB III
KESIMPULAN
Politik
hukum nasional sebagi arahan isi bagi pembanguan sistem hukum nasional dikawal
juga oleh pelembagaan atau kewenangan untuk melakukan judicial review atau uji materi, baik oleh Mahkamah Konstitusi
maupun oleh mahkamah agung, sesuai dengan hierarki masing-masing. Dengan
demikian,dari sudut materi atau subtansi,politik hukum nasional sudah
menyediakan instrumen yang cukup kuat untuk mengawal konsistensi setiap
peraturan perundang undangan. Yang menjadi masalah adalah pada unsur penegakan hukum yang banyak dikotori oleh bargaining politik. Budaya hukum yang
dianggap buruk dan tidak kondusif bagi pembangunan sistem hukum sebenarnya
dapat diatasi dengan penegakan hukum yang tegas, termasuk penegakan hukum
terhadap penegak hukum melalui institusi dan leadership yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Suryono,Hasan. 2015. Konsep Dasar Hukum Kenegaraan dan
Pemerintahan. Yogyakarta. Penerbit Ombak.
Suratman dan Philip
Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum.
Bandung. Alfabeta.
Mahfud MD,Moh. 2010. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.
Wahidin,Samsul. 2014. Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Asshidiqie,Jimlie. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta.
Sinar Grafika.
UUD 1945
UU NO 16 TAHUN 2003
tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar