Minggu, 10 Januari 2016

Legal Reasoning(logika hukum) terhadap Judicial Review UU Antiterorisme sebagai Produk Bargaining Politik



LEGAL REASONING (LOGIKA HUKUM) TERHADAP JUDICIAL REVIEW UU ANTITERORISME SEBAGAI PRODUK BARGAINING POLITIK

Anggi Yoga Pramanda (K6414007)
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
                                                      089622342254        

Abstrak
Produk hukum bisa saja memuat isi yang  keluar dari batas proporsional muatan materi yang ditentukan,baik karena tidaktahuan maupun karena kepentingan kelompok politik yang sifatnya jangka pendek. Judicial review merupakan instrumen hukum yang dapat mengawal isi peraturan perundang-undangan melalui uji materi. Dalam keinginan untuk membangun dan menegakakn sistem hukum tertentu,setiap langkah pembentukan hukum dalam semua hierarkinya (peraturan perundang-undangan) harus sesuai dengan desain tujuan negara kemudian melahirkan sistem hukum itu. Dasar-dasar dari sistem hukum tersebut biasanya diletakkan di dalam UUD atau konstitusi. Jika ada isi peraturan perundang-undangan yang salah atau menyimpang dari UUD,maka harus ada cara untuk membenarkan. Dan salah satu cara membenarkan, agar semua produk hukum sesuai dengan sistem hukum yang hendak dibangun adalah judicial review,yakni pengujian oleh lembaga yudisial atas suatu peraturan perundang-undangan: apakah ia sejalan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis lebih tinggi? Dan lembaga yudisial berhak menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan batal atau dibatalkan karena isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Apa pengganti perarutan yang dibatalkan tersebut?  Kata kunci : politik, uji materi,subtansial,kekosongan hukum







BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia, konfigurasi politik berkembang melalui tolak tarik antara yang demokratis dan otoriter,sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak tarik antara yang renponsif dan konservatif. Sementarai itu,untuk membangun terti tata hukum dan meminimalisasikan pengaruh politik,’judicial review’ sebenarnya dapat dijadikan alat kontrol atau pengawal yang baik. Tetapi,ketentuan-ketentuan tentang judicial review di dalam berbagai peraturan perundangan era Orde Baru ternyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak dapat dioperasionalkan.
Struktur hukum dapat berkembang segala konfigurasi politik yang ditandai dengan keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi berbagai bidang hukum, tetapi pelaksanaan fungsi dan penegakan hukum cenderung semakin lemah. Ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya ganguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi hukum tersebut.
Asumsi dasar yang dipergunakan kajian ini adalah hukum merupakan produk politik sehingga karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentuak atau diwarnai oleh imbangan kekuatan dan konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalngan para politisi. Meskipun dari sudut “ das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun kajian ini lebih melihat sudut “ das sein” atau empiriknya bahwa hukumlah yang dalam kenyataannnya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Untuk kasus Indonesia terjadi juga fenomena menonjolnya fungsi instrumental hukum sebagi sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa bila dibandingakn dengan fungsi-fungsi politik dominan yang lebih terasa bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Bahkan ,fenomena itu dapat di lihat dari pertumbuhan pranata hukum,nilai dan prosedur, perundang undangan dan birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagi kondisi dan proses pembangunan melainkan juga menajdi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, dan sosial.
Karena produk hukum merupakan refleksi dari konfigurasi politik yang melahirkannya, maka ada kemungkinan bahwa setiap produk hukum yang lebih tinggi yang menjadi dasarnya. Dengan kata lain, aada kemungkinan bahwa UU sebagai produk politik memuat isi yang tidak sesuai dengan UUD. Untuk itu disarankan judicial review terhadap UU segera dilembagakan. Melalui judicial review setiap produk hukum dapat dinilai konsistensinya dengan UUD dan jika tidak konsisten UU tersebut dapat dinyatakan batal. UUD 1945 tidak menyebut adanya judicial review, tetapi UUD tersebut juga tidak melarang, sehingga secara prinsip tidak ada larangan konstitusionalnya, bahkan untuk kemanfaatannya “tertib tata hukum” pelembagaan UU diperlukan.
Permasalahn yang mengemuka justru lebih kompleks di atas sekedar deklarasi bahwa sebuah UU dinilai bertentangan dengan UUD dan secara otomatis tidak berguna lagi. Permasalahan yang selama ini luput dari perhatian adalah landasan hukum aman lagi yang memungkinkan dijadikan sebagai pegangan pasca sebuah UU dinyatakan tidak berlaku? Apakah UU yang lama, yang secara subtansial telah diganti oleh UU yang baru dan dinyatakan bertentangan dengan UUD itu? Atau UU yang dinyatakan tak berlaku itu masih mempunyai kekuatan hukum?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem hukum nasional
Dalam sistem hukum nasional Indonesia berdasarkan UUD 1945, hukum perundang-undangan meliputi UUD, Tap MPR, UU. Perppu,PP,Keppres, Keputusan Menteri,dan seterusnya. UUD dan Tap MPR ditetapkan oleh MPR, sedangkan UU dibentuk presidenn dengan persetujuan DPR. Sementara itu,Perppu ditetapkan oleh presiden, tetapi dalam masa sidang berikutnya harus sudah mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui Perppu meningkat statusnya menjadi UU, dan jika ditolak DPR,maka Perppu itu harus dicabut dan tidak dapat lagi diajukan ke DPR dalam masa persidangan berikutnya.
Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh pemerintah tanpa harus disetujui DPR. PP biasanya atas perintah UU atau untuk melaksanakn suatu UU. Oleh karena itu, PP tidak bisa berdiri sendiri tanpa pendelegasian materiil dari UU yang sudah ada lebih dahulu. Adapun Keputusan Presiden, dibentuk oleh Presiden sendiri tanpa perlu diikaitkan dengan pendelegasian materiil dari UU. Artinya materi yang dimuat dalam Keppres dapat sepenuhnya bersifat mandiri dalam rangka kewenangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Keputusan Presiden dapat saja dibuat untuk melaksanakan perintah UUD,GBHN,UU, ataupun PP.(Jimlie Asshidiqie 2012:8)
Di tingkat daerah ,ada pula Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, dan sebagainya. Ketentuan membegani pembuatan hukum di tingkat daerah ini, seyogianya juga mengikuti pola di tingkat pusat. Misalnya, Peraturan Daerah di buat oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD. Akan tetapi, DPRD sendiri dapat pula berinisiatif mengajukan rancangan Perda seperti hak inisiatif DPR pusat untuk mengajukan RUU tertentu kepada pemerintah. Akan tetapai, karena restrukturisasi pemerintahan daerah dalam rangka kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di masa yang akan datang, ketentuan mengenai pembuatn hukum seperti ini masih harus disesuaikan dengan perkembanagn pelaksanaan kebijakan desentralisasi itu nantinya. Misalnya, jika nanti DPRD tingkat Provinsi di tiadakan, dan DPRD hanya ada di tingkat Kabupaten/ Kota, maka otomatis ketentuan mengenai Peraturan Daerah itu hanya akan ada di tingka provinsi yang di keluarkan oleh Gubernur yang hanya akan berperan sebagai kepala Wilayah, masih perlu dipikirkan baik bentuknya maupun otoritas kedudukannya sebagai produk hukum di tingkat provinsi.
Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalahs sampai sejauhmana hukum positif tertulis yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur vertikal yaitu, melihat apakah suatu peraturan perundang undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Apabila yang dilakukan adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal, maka yang termasuk dalam ruang lingkupnya adalah berbagai peraturan perundang undangan yang derajatnya berbeda yang mengatur bidang yang sama. Derajat atau hierarki peraturan perundang undangan diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan .
a.       Bentuk peraturan perundang undangan RI menurut UU No 12 tahun 2011, secara hierarki adalah sebagai berikut
-          UUD 1945
-          TAP MPR
-          UU/PERPPU
-          PP
-          PERPRES
-          PERDA PROVINSI
-          PERDA KABUPATEN/KOTA
b.      Sesuai dengan sistem konstitusi yang dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945, UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundang undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan di bawahnya.
c.       Sesuai pula prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.(Suratman 2014:63-64)
Setiap peraturan perundang-undangan harus mempunyai dasar hukum pada peraturan perundang undangan tingkatan lebih tinggi tingkatannya. Peraturan perundang-undangan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum. Konsekuensi ini telah ada walaupun tidak di atur.(Hasan Suryono 2015:127)
Konsekuensi penting  dari prinsip-prinsip tersebut harus diadakan mekanisme yang menjamin dan menjaga agar prinsip tersebut tidak disimpangi dan dilanggar. Mekanisme yaitu ada sistem pengujian secara yudisial atas sikap setiap peraturan perundang-undangan aturan kebijakan maupun tindakan pemerintahan lainnya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi, yaitu UUD.
Konsekuensi tersebut, tata urutan tidak akan berarti suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dapat tetap berlaku walaupun bertentangan dengan peraturan perundang undangan tingkat lebih tinggi. Dengan demikian ,adanya pengujian secara yudisial ini menjadi sangat penting dalam tata urutan peraturan perundang undangan.
B.     Hukum dan politik
Di dalam masyarakat modern yang demokratis,prototipe dari kedaulatan dapat dilihat dari sistem legislatifnya. Kedudukan badan legislatif sebagai penentu kebijakan(policy) yang merupakan penggunaan aktual dari kekuasaan yang ada, merupakan salah satu sumber utama dari konsepsi mengenai tujuan hukum yang juga merupakn ukuran untuk melakukan evaluasi terhadap efisiensi dari struktur peranan yang dipergunakan.(Samsul Wahidin 2014:167)
Tukar menukar kebijakan untuk mengipretasikan kebijakan-kebijakan demikian itu mungkin akan mengakibatkan suatu perpecahan, oleh karena badan legislatif yang merupakan sasaran dari pengaruh perilaku yang ganjil dalam menampung pendapat umum dari tuntutan-tuntutan pribadi mengenai berbagai kelompok kepentingan, kerap kali  menetapkan kebijakan yang bertentangan. Pengadilan yang dalam situasi demikian ini harus mampu untuk memilih di antara beberapa kebijakan negara yangyang berbeda.
Bahwa pengadilan harus memilih di antar kebijakan-kebijakan yang bertentangan, berarti bahwa pengadilan memiliki jenis keluaran sekunder untuk sistem politik sebagi penukaran untuk memperoleh masukan sekunder dari pemaksaan(enforcement). Hal ini berarti bahwa pengadilan menjadi suatu legitimator keputusan-kepitusan legislatif, dan hal ini menambah ketergantungan politik pada keberhasilan dari penyelesaian suatu perkara.
Didasarkan pula pada alasan bahwa hukum itu adalah produk politik yang pasti tidak steril dari kepentingan-kepetntinagn politik para anggota-anggota lembaga yang membuatnya. Sebagai produk politik  kelompok dan jangka pendek yang secara subtansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya. Selain itu, sebagai produk politik, hukum bisa berisi hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi oleh karena DPR sebagai lembaga politik banyak beranggotakan orang-orang yang tak biasa berpikir menurut disiplin ilmu hukum.
C.    Konfigurasi politik dan Produk hukum
Asumsi hukum merupakan produk politik mengatakan pada fakta bahwa produk hukum tertentu merupakan produk politik tertentu pula. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter (nondemokratis) akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks atau menindas. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka konsep-konsep itu kemudian diberi pengertian konseptual yang khusus, yaitu: ( Mahfud MD 2010:67)
1.      Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperananya  potensi rakyat secara maksimal untuk turut serta dalam menentukan kebijakan negara.
2.      Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional
3.      Produk hukum responsif/ otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.
4.      Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatnya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
D.    Judicial review
Di Indonesia, sudah ada peraturan tentang judicial review, tetapi ia terbatas pada peraturan perundang undangan yang derajatnya dibawah UU. Peraturan perundang-undangan yang mengatur judicial review terhadap peraturan perundang undangan yang  derajatnya dibawah UU antara lain UU no 14 tahun 1985.
Terlihat juga fakta bahwa hampir setiap UU (tertulis yang berkarakter konservatif) memberikan “space” yang luas kepada pemerintah untuk menginterpretasikan dengan berbagai peraturan pelaksanaan melalui delegasi perundang-undangan maupun droit function, yakni menentukan secara sepihak materi peraturan yang bersifat enunsiatif. Kenyataan ini dapat juga memberi peluang kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan atas UU  menurut visi dan kekuatan politik sendiri.
Berbicara tentang judicial review di dalam politik hukum tak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hukum perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan. Sebab,judicial review itu bekerja atas dasar peraturan perundang undangan yang tersusun secara hierarkis. Pengujian oleh lembaga yudisial dalam yudicial review adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarkis. Judicial review tak bisa dioperasikan tanpa peraturan perundangang-undangan yang tersusun secara hierarkis.
Bagir Manan mengatakan bahwa hukum perundang-undanagn adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara tertetntu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Hukum perundang-undangan yang menenekankan pada bentuk tertulis ini terkait erat dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang menganut legisme dan civil  law. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa ada dua tradisi dan sistem yang melahirkan konsepsi negara hukum, yaitu(1) Tradisi Eropa Kontinental dengan civil law yang menekankan pada hukum tertulis dengan tekanan pada kepastian hukum. (2) Tradisi Anglo Saxon dengan common law yang menekankan pada yurisprudensi guna mencapai penengakan rasa keadilan.
Karena hukum adalah produk politik,sebagai produk politik, bisa saja UU berisi hal-hal yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Minimal ada dua hal  yang dapat menyebabkan sebuah UU memuat hal yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Pertama, pemerintah dan DPR sebagai lembaga legislatif yang mebuat UU adalah lembaga politik yang sangat mungkin membuat UU atas dasar kepentingan politik mereka sendiri atau kelompok yang dominan di dalamnya. Sebagai produk politik,UU itu tak lain merupakan kristalisasi( legalisasi) atas kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan yang bisa saja produknya bertentangan dengan UUD atau konstitusi. Dalam konteks inilaha perlunya adanya judicial review atau constituional  review untuk membersihkan UU dari unsur kepentingan politik yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi.
Kedua, pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik, dalam faktanya lebih banyak berisi orang-orang yang bukan ahli hukum atau kurang bisa berfikir menurut logika hukum. Mereka direkrut atas dasar ketokohannya dan berhasil meraih dukungan politik tanpa pertimbangan keahlian di bidang hukum. Dengan fakta seperti itu, sangat mungkin para politisi di lembaga legislatif itu membuat UU yang isinya bertentangan dengan UUD atau konstitusi akibat ketidakpahaman mereka. Itulah sebabnya, hak uji materiil atau judicial review oleh lembaga kekuasaan kehakiman diperlukan untuk membersihkan UU dari berbagai isi yang bertentangan dengan UUD atau konstitusi.
E.     Subtansi hak uji materiil
Kinerja mahkamah konstitusi menguji secar materiil(judicial review) terhadap materi sebuah UU sungguh tidak sederhana. Hal ini mengingat bahwa produk hukum berupa UU ( dalam arti formal) dibuat melalui mekanisme yang demikian ketat. Secara formal sebuah UU yang telah disetujui oleh DPR sebagai lembaga pembentuk UU dalam sistem UUD 1945, merupakan produk final dan dipandang telah mencerminkan aspirasi masyarakat. Kehadiran sebuah produk UU sering diwarnai oleh kontroversi, friksi, bahkan konflik di tengah masyarakat baik ketika dibuat maupun ketika dilaksanakan.(Samsul Wahidin 2014:189)
Pada sisi lain produk hukum berupa UU itu hakekatmya adalah merupakan sebuah hasil akhir dari bargaining politik dari berbagai organisasi masa, khususnya kekuatan sosial politik di dalam parlemen dengan kepentingan masing masing yang sering tidak sejalan. Dengan kondisi ini, sebuah produk hukum berupa UU masih bisa mengandung penyimpangan dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UUD 1945 sebagai produk hukum dengan hierarki tertinggi. Pemaknaan terhadap produk bargaining politik itulah yang pada akhirnya melahirkan klausula di dalam UU dan inilah akhirnya menjadi legal reasoning peninjauan produk hukum berupa undang-undang oleh mahkamah konstitusi yang tentunya punya visi dan perspektif yang tidak selalu sama dengan pembentuk UU.
Merujuk pada ketentuan yang ada dalam pasal 24 C dan Tap MPR No III/MPR/2000 ternyata masih ada sisi lain yang secara subtansial menjadi amsalah mendasar dan selama ini luput dari perhatian para pembentuk UU. Ketentuan tersebut adalah klausula bahwa begitu Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan versi kedua-bahwa sebuah UU dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka secara otomatis UU dinilai bermasalah itu pun tidak berlaku. Para pengadu uji materiil bisa bernapas lega mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan pertama dan terakhir untuk kewenangan menguji secara materiil terhadap UU.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme uji materiil sebelumnya(vide pasal 26 UU no 14 tahun 1970) bahwa begitu mahkamah agung menyatakan sebuah produk hukum bertentangan dengan produk hukum diatasnya, maka instansi pembuat produk hukum tersebut harus mencabutnya.permasalahn muncul bagaimana jika instansi yang bersangkutan tidak mau mencabut. Hal inilah yang menjadi ganjalan sehingga rumusan itu disempurnakan bahwa ketika sebuah UU dinyatakan betentangan dengan UUD maka mutatis mutandis, tanpa menunggu pencabutan UU oleh pembuatnya maka otomatis tidak berlaku.
Permasalahan yang mengemuka justru lebih kompleks di atas sekedar deklarasi bahwa sebuah UU dinilai bertentangan dengan UUD dan secara otomatis tidak berguna lagi. Permasalahan yang selama ini luput dari perhatian adalah landasan hukum aman lagi yang memungkinkan dijadikan sebagai pegangan pasca sebuah UU dinyatakan tidak berlaku? Apakah UU yang lama, yang secara subtansial telah diganti oleh UU yang baru dan dinyatakan bertentanagn dengan UUD itu? Atau UU yang dinyatakan tak berlaku itu masih mempunyai kekuatan hukum?
Sebagai contoh tanpa berpretensi untuk menilai kinerja Mahkamah Kontitusi yang susah payah di bentuk, seandainya UU kelistrikan yang diuji simpulannya betentangan dengan UUD, dasar hukum mana yang dipakai oelh lemabga kelistrikan nasional untuk bekerja? Sementara UU kelistrikan yan usianya sudah cukup lama itu sudah berkembang jauh, baik sisi program kerja, kelembagaan , dan juga anggaran? Apakan mutatis mutandis dinyatakan tidak berlaku itu kemudian lembaga kelistrikan nasional mendasarkan diri pada UU yang sudah tenggelam karena sudah dicabut oleh UU kelistrikan yang baru dan dinyatakan bertentangan dengan UUD itu?
Jika UU tentang penyiaran pun dijuji materinya dan dinyatakan bertentangan dengan UUD, misalnya apa dasar hukum kebijakan penyiaran kalau UU tentang penyiaran yang dijadikan pegangan oleh elemen penyiaran? Sementara berdasarkann UU tersebut telah dibuat berbagai kelembagaan bahkan permanen, baik di pusat maupun di daerah yang sifatnya sudah demikian jauh dan kompleks. Atas dasar UU yang dinyatakan tidak berlaku itu sudah dibuat begitu banyak program dengan komplesitas permasalahannya.
Dalam perpekstif kultural, nampak bahwa kultur hukum kita masih terpola pada pemikiran sempit dengan memberikan penilaian tentang suatu atas dasar hitam putih. Tetapi dampak yang ditimbulkan setelah itu? Ternyata ibarat pepatah kinerja Mahkamah Konstitusi itu seperti menyelesaikan masalah tetapi dengan membuat masalah baru.
Sebagai bahan pemikiran, ada asas hukum yang menyatakan bahwa sebelum ada aturan yang baru maka aturan yang lama dijadikan sebagai patokan kinerja untuk mencegah kekosongan hukum(vide pasal III aturan peralihan). Kalau sudah demikian, maka ada dua arti. Pertama ,secara kelembagaan dipergunakan UU yang lama (UU yang digantikan oleh UU yang diuji). Kalau ini yang terjadi maka sungguh ganjil sebab UU yang lama itu dipastiakn out of date, tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan tentu sudah tidak  punya nilai keadilan serta kepastian hukum.
Kalau arti kedua yang dipegang bahwa aturan lam itu dipergunakan sebelumnya ada atauran yang baru itu berarti bahwa UU yang dinyatakan tidak berlaku itu tetap berfungsi sampai adanya UU pengganti. Bukankah kalau demikian kinerja Mahkamah Konstitusi itu hanya sia-sia? Soalnya UU baru yang diharapkan sebagai pengganti ini bisa hadir dalam waktu yang lama.
Apa lagi dengan dinyatakannya  bertentangan dengan UUD itu berarti secara subtansial merendahakan kinerja lembaga pembentuk UU yang dengan susah payah melahirkan sebuah UU. Mereka mungkin enggan membentuk UU baru sebagai pengganti. Kalau sudah demikian tentu kekosongan hukum justru yang berimpilikasi kepada adanya ketidakpastian hukum justru akan semakin menguat.
F.     Ketika MK menguji UU anti nterorisme
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Antiterorisme merupakan paradigma pendekatan baru dalam dimensi hukum di Indonesia. Inilah contohnya pergeseran pendekatan hukum yang mula-mula bersifat represif menjadi pendekatan yang sifatnya preventif. Represitas pendekatan pada UU tersebut dapat ditelisik sejak dimunculkannya wacana ISA yang menjadi cikal bakal keluarnya perpu dan akhirnya disetujui menjadi UU Anti Terorisme tersebut.
Bahwa secara subtansial isi dari UU itu cenderung membungkam aspirasi yang secara riil muncul ditengah masyarakat Indonesia. Juga UU itu lebih berpihak kepada kepentingan asing(khususnya Amerika dan Australia) yang trauma dan ketakutan terhadap teroris dan menekan negara lain untuk mencegah tindakan teror dengan menggunakan versi mereka.
Pendekatan yang lebih preventif terbaca dari pengakuan dan inti dari putusan MK yang teridri dari dua poin penting yaitu,pertama, bahwa UU tersebut bertentangan dengan pasal 28 ( i) UUD 1945 dan kedua, pengakuan bahwa peraturan perundang-undangan di Iindonesia khususnya yang berlevel Undang- Undang telah cukup dapat menjaring pelaku teror untuk diadili berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, selain UU yang sangat keras tetapi tidak cukup menakutkan bagi pelakunya.
Sekurangnya ada tiga hal yang menajdi dampak berikut dibatalkannya UU anti terorisme itu. Pertama, tentang legal reasoning (logika hukum). Dalam hal perpekstif ini, putusan yang diajtuhkan Mk dapat disebiut sangat sesuai denga paradigma logika hukum tentang kepercayaan terhadap aturan yang sudah ada dan menjadi dasar dalam penegakan hukum di tanah air atas perbuatan teror. Bahwa sejatinya yang paling penting dari permasalahan terorisme adalah penegakan, bukan peraturannya.
Hal diatas menggeser paradigma sosial selama ini menajdi dasar logika para penegakan hukum bahwa jika ada indikasi pelanggran hukum , maka dibuat hukumnya dulu sehingga ada kesan bahwa permasalahn hukum dapat diselesaikan dengan dibuatnya peraturan. Akibat banyaknya aturan hukum yang mengatur perbuatan sejenis, pada tahap berikunya menyebabkan para praktisi hukum bersilang sengketa mengenai dasar hukum untuk menjerat suatu pelanggarn hukum. Legal reasoning yang dibangun dari keputusan itu adalah bahwa sejatinya peraturan di tanah air, termasuk perbuatan pidana yang ekstrem pun sudah ada aturannya dan tidak memerlukan aturan khusus lagi.
Kedua, tentang legitimasi bahwa putusan ini mrupakan langkah maju untuk pertama kalinya dalam kerja Mk telah memutuskan pertentangan sebuah UU dengan konstitusi secara keseluruhan. Kendati pun yang diputuskan oleh MK adalah subtansi(materiil) yaitu pertentangan UU dengan pasal 28 (i) namun aspek yang lebih mendasar dari itu adalah soal legalitas lembaga tersebuit dalam menjatuhkan putusan. Selama,ini yang dilakukan oleh MK adalah memutuskan klausula ( pasal tertentu) bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti ketentuan tentang boleh atau tidaknya anggota dan simpatisan PKI dan organisasi terlarang lain berpolitik yang merupakan satu ketentuan pasal dalam UU.
Dijatuhkannya putusan pertentangan UU secara keseluruhan memberikan legalitas yang menunjukan kemandirian MK. Hal ini memberi kepercayaan lebih besar lagi kepada lembaga tersebut dan memberi harapan baru kepada masyarakat akan kesungguhan kinerja lembaga tersebut. Juga menharuskan lebih konsistennya pembuat peraturan terhadap tata urutan perarutan perundang-undangan (vide UU no 12 tahun 2011) dengan lebih konsisten memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya (khususnya UUD 1945) sebagai dasar pembuatan peraturan pelaksana khususnya pada level Undang-Undang. Sebagaimana diketahui,MK mengadili dan memutus perkara apakah ada pertentangan antara pasal-pasal (atau Undang-Undangnya sendiri) dengan ketentuan UUD sebagai acuan yang harus dijadikan sebagai dasar hukum.
Ketiga,putusan tentang pertentangan UU Anti Terorisme itu akan menjadi paradigma baru dalam perilaku aparat penegak hukum,khusunya kepolisian dan kejaksaan. Selama ini, kionerja mereka diibaratkan hanya secara mekanis taat kepada Undang-Undang dan harus menerapkan secara konsisten.
Untuk sampai pada pola perilaku ini pun dibutuhkan waktu yang cukup lama sebagai upaya menanamkan kestabilan. Putusan itu merobah perilaku tersebut dan keharusan konstitusional untuk tak lagi menjadikan UU itu sebagi dasar hukum beserta konsekuensinya. Konsekuensi dimaksud adalah sesuai dengan asas hukum keberlakuan sebuah putusan (vide UU MK bahwa begitu putusan dijatuhkan tidak ada banding, apalagi kasasi) maka penyidikan dan kinerja penuntutan yang didasarkan atas ketentuan UU itu harus dibatalkan.
Pembatalan sebagaimana dimaksud, tidak dnegan serta merta membebaskan seseorang tetapi cukup mengganti dengan dasar hukum yang lain. Dalam konteks inilah, yang juga terbaca oleh MK sehingga keputusan tersebut tidak akan mempengaruhi kinerja dari aparat penegak hukum atas putusan yang telah dijatuhakn pada kasus yang sudah final meskipun didasarkan oleh UU tersebut.
Misalnya tidak akan berpengaruh terhadap putusan atas Amrozi dkk. dalam kasus Bom Bali. Demikian pula orang yang sekarang ini ditahan dan telah diekseskusi atas tuduhan melanggar UU Anti Terorisme, tidak harus ditbebaskan karena ketiadaan dasar hukum tetapi cukup menggatinya dengan ketentuan UU yang lain, dan itu ibarat barang tersedia dengan sangat cukup termasuk yang konvesional,yaitu KUHP.
Putusan yang dijatuhkan oleh MK itu pada sisi lain menjadi dasar untuk memperkokoh pendidikan hukum (educative law) bagi penegak hukum agar mereka secara profesional mengenakan ketentuan pasal tertentu kepada tersangka tidak asal menyesuaikan diri antar unsur-unsur materi pasal dengan apa yang dilakukan tersangka. Penegak hukum dituntut untuk benar-benar menjadi hamba hukum dan tidak semata menjadi hamba peraturan (pelaksan Undang-Undang).
Di sisni ada keharusan mecermati lebih kritis tiap ketentuan yang akan dikenakan sesuai dengan kondisi perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, ke depan sangat diharapkan lahir keputusan yang benar-benar didasarkan pada objektivitas seperti putusan atas UU Antiterorisme ini. Bukan semata putusan yang secara sempit menganulir ketentuan UU tetapi ternyata tidak ada penggantinya sehingga putusan yang dijatuhkan sama bohong.
Hal itu disebabkan asa hukum bahwa sebelumnya ada peraturan yang menggantikan maka peraturan lama yang dipakai. Karena peraturan baru belum ada, maka peraturan lama (yang dinyatakan tidak berlaku) itu tetap dijadikan sebagai dasar hukum. Keputusan Mahkamah Agung atas peraturan perundang di bawah UU sebagai ranah kinerja MA dalam Hak Uji Materiil banyak yang seperti ini sehingga putusan yang dijatuhkan justru tambah meruwetkan rimba hukum Indonesia













BAB III
KESIMPULAN
Politik hukum nasional sebagi arahan isi bagi pembanguan sistem hukum nasional dikawal juga oleh pelembagaan atau kewenangan untuk melakukan judicial review atau uji materi, baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh mahkamah agung, sesuai dengan hierarki masing-masing. Dengan demikian,dari sudut materi atau subtansi,politik hukum nasional sudah menyediakan instrumen yang cukup kuat untuk mengawal konsistensi setiap peraturan perundang undangan. Yang menjadi masalah adalah pada unsur  penegakan hukum yang banyak dikotori oleh bargaining politik. Budaya hukum yang dianggap buruk dan tidak kondusif bagi pembangunan sistem hukum sebenarnya dapat diatasi dengan penegakan hukum yang tegas, termasuk penegakan hukum terhadap penegak hukum melalui institusi dan leadership yang kuat.












DAFTAR PUSTAKA
Suryono,Hasan. 2015. Konsep Dasar Hukum Kenegaraan dan Pemerintahan. Yogyakarta. Penerbit Ombak.
Suratman dan Philip Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung. Alfabeta.
Mahfud MD,Moh. 2010. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Wahidin,Samsul. 2014. Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Asshidiqie,Jimlie. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.
Sinar Grafika.
UUD 1945
UU NO 16 TAHUN 2003 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar