BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu
berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok
baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok
tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota
kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup
perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan
dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia. Tidak hanya
lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu
dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin
dirinya sendiri. Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri,
kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah
yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin
dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini?
2. Bagaimana
hakikat menjadi seorang pemimpin?
3. Apa
dan bagaimana rencana memperbaiki bangsa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini.
2. Untuk
mengetahui hakikat menjadi seorang pemimpin.
3. Untuk
mengetahui cara dan rencana untuk memperbaiki bangsa Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KEPEMIMPINAN DI INDONESIA
Kepemimpinan
adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya
dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Dalam perkembangan di Indonesia yang
menjadi tolak ukur adalah pemimpin. Pemimpin yang baik sangat berpengaruh
terhadap kemajuan negara. Tidak sedikit masalah yang muncul menurut masyarakat
adalah kelalaian dari pada pemimpin, padahal disisi lain masyarakat lah yang
kurang dalam memahami masalah tersebut. Namun jika kita berbicara kepemimpinan
di Indonesia maka sebenarnya kita telah menghadapkan diri pada dua corak konsep
tentang kesatuan sosial yang secara konkrit bisa berkaitan, tetapi secara
konseptual berbeda, yaitu Indonesia dan Islam. Sebagai suatu
komunitas “Indonesia” adalah suatu konsep yang berarti ganda, yaitu negara
dan bangsa. Sebagai “negara”, Indonesia adalah ikatan sosial yang
terbentuk karena adanya konsensus politik yang berlanjut. Karena adanya sistem
kekuasaan yang sah. Dalam konteks ini maka hak dan kewajiban seseorangbahkan
status dan kedudukannya ditentukan oleh hal-hal yang telah diletakkan oleh dasar
konsensus politik teresebut. Dengan demikian, pengertian kepemimpinan
semestinyalah diletakkan pada corak hubungan sosial yang ditentukan oleh jauh
atau dekatnya seseorang pada nilai dasar dari masyarakat politik itu. Dengan
kata lain, makin dekat seseorang kepada pusat kekuasaan politik, maka makin
tinggilah ia dalam hirarki sosial. Dalam lingkungan kepegawaian, kepemimpinan
berarti bahwa seseorang yang menduduki hirarki yang tinggi adalah “pemimpin”
bagi mereka yang menduduki jenjang hirarki yang lebih rendah. Sebagai
“bangsa”, kita tak hanya berhadapan dengan kesadaran politik baru yang
telah melampaui batas-batas etnis, tetapi juga pada suatu komuitas yang dibina
berdasarkan nilai-nilai yang diserap dari pengalaman sejarah. Pemimpin dan
kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan,
pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu
organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu
bangsa dan negara. Yang masuk dalam kategori dan saluran kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan Joko Widodo
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) kini menciptakan tradisi baru pelantikan para menteri yang
tergabung dalam Kabinet Kerja 2014-2019, yaitu dengan menggunakan baju batik.
Bahkan sebelumnya saat pengumuman nama-nama menteri, Jokowi mengharuskan para
pembantunya memakai baju dan celana putih di halaman Istana Negara, Jakarta.
Tradisi ini baru pertama kali dalam sejarah pelantikan kabinet dari zaman
Presiden Soeharto hingga SBY, yang umumnya menggunakan stelan jas rapi.
Tidaklah
mengherankan dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang khas itu. Tanpa menafikan kenyataan
bahwa Kepala Negara saat ini tengah menjadi sosok media darling, serangkaian
gaya Jokowi sejak awal masa kepemimpinannya di DKI Jakarta terkesan otentik,
tidak di buat-buat. Sigap dan tanggap bertandang ke permukiman warga miskin
yang terkena bencana kebakaran atau banjir dengan tanpa ekspresi canggung, yang
menguatkan kesan otentik tersebut.
Lihat
saja usai pengucapan sumpah di MPR beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi bersama
Wapres Jusuf Kalla (JK) langsung memulai tradisi baru, yaitu naik kereta kuda
dari Bundaran HI hingga Istana Negara dengan diiringi ribuan warga Jakarta yang
mengelu-elukan, bahkan berjabat tangan selama konvoi perjalanan bersejarah
pemimpin baru di negeri ini.
Tak
hanya itu. Jokowi tetap tampil dengan logat kental Jawa, tanpa usaha untuk
mengubah. Kata,'' ... anu'' sering terlontar namun sungguh ''ajaib'' publik
metropolitan terbesar di Indonesia itu terkesan menerima Jokowi apa adanya.
Menurut
William George dalam buku Rediscovering the Secrets to Creating Lasting Value
Leadership (2003), bahwa yang diperlukan zaman sekarang ini adalah pemimpin
yang otentik. Model kepemimpinan ini adalah sosok berintegritas tinggi,
memiliki komitmen untuk mengembangkan lembaga di mana dia berada. Pemimpin yang
yang memiliki tekad kuat dan mendalam guna mewujudkan lembaganya berguna, bukan
saja bagi segenap orang yang kena-mengena, melainkan juga bagi masyarakat yang
lebih luas.
Salah
satu karakter utama pemimpin otentik adalah mandiri dan swakarsa, menjadi sosok
yang otonom dan penuh prakarsa. Untuk memiliki karakter utama ini, seseorang
tentu harus berani menghadapi tantangan besar, harus mampu menenggang tekanan
dari segala penjuru.
William
menyebutkan, seorang pemimpin otentik harus siap mengalami ''kesepian seorang
pelari jarak jauh'' (the loneliness of the long distance runner). Dengan
seringnya pemimpin mengambil keputusan dan bertindak yang dianggap tak lazim
maka dia harus siap kesepian. Kekukuhan sikap untuk berani berbeda dari
mayoritas, demi tujuan baik yang diyakini, adalah syarat esensial seorang
pemimpin otentik.
Tokoh
selalu lahir dalam ruang dan saat yang tepat, tetapi tak semua orang yang hadir
di ruang dan saat yang sama, menjadi tokoh. Hanya mereka yang mampu membaca
situasi dan mengambil sikap tindakan yang menonjol akan menjadi tokoh. Stephen
Covey dalam bukunya The 8th Habit menyebutkan, ''You will discover that such
influence and leadership comes by choice, not from position or rank'', bahwa
prakarsa adalah persoalan pilihan. Pilihan itulah yang disebut sebagai
kepeloporan atau leadership.
Dalam
kasus Jokowi tampaknya masyarakat telah merasakan otentitas kepemimpinannya.
Semoga kepercayaan kepada Jokowi bukan hanya lahir dari kerinduan masyarakat
yang sangat akut akan kehadiran pemimpin yang otentik di negeri ini. Ini
tantangan terbesar Jokowi untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang otentik
di tengah harapan masyarakat yang begitu besar. Adalah Kabinet Kerja 2014-2019
merupakan wujud nyata kepemimpinan Jokowi bersama JK.
Harapan
yang begitu besar untuk pemecahan seabrek masalah pelik Indonesia, dapat
berisiko menggelincirkan sosok Jokowi menjadi superhero, seperti superman atau
spiderman, yang tidak boleh gagal dan salah. Padahal sesuai ungkapan rocker
juga manusia, pastilah Jokowi juga manusia yang tidak pernah sempurna. Semoga
dia dapat menyurusi alur perjalanan kepemimpinannya tanpa harus tergelincir
akibat perilaku pembantunya.
Kelemahan Gaya Kepemimpinan Joko
Widodo
1.
Sifat kenegarawanan belum
tampak
Banyak yang
mengatakan bahwa kenegaraan akan muncul secara alami. Tidak bisa di buat –
buat. Sebuah karakter yang muncul secara reflek. Jika ada orang yang coba
mengaku sebagai negarawan, maka yang menilainya adalah masyarakat yang
melihatnya. Bicara tentang masyarakat Indonesia tentu banyak jumlahnya, ada 240
juta jiwa. Jika ditanya satu persatu, maka tidak akan
mungkinsilontong.com lakukan. Maka kali ini silontong berdasarkan seorang
mantan Ketua Umum Muhammadiyah, yakni Syafii Ma’arif yang memberikan penilaian.
Beliau yang
bisa dipanggil buya adalah tokoh yang sudah kaya akan pengalaman dalam membaca
karakter orang. Apakah penilaian si buya ini bisa salah? Ya tentu saja
bisa, namun di bandingkan dengan penilaian orang lain,mungkin penilai
buya yang mengatakan Jokowi masih kurang pengalaman bisa masuk akal, karena di
samping umur, Jokowi juga di nilai sebagai kutu loncat. Pantaskan seorang yang
di katakan sebagai kutu loncat dijuluki sebagai negarawan?
2.
Belum Banyak Pengalaman
Ya bisa di
bilang bahwa Jokowi adalah pemain baru di jakarta, karena dulu dia hanya
Walikota Solo yang memimpin kota yang kecil. Lalu saat ini dia belum genap 2
tahun dalam menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju dibursa Capres 2014.
Padahal dia sudah pernah berjanji kepada warga Jakarta untuk menyelesaikan masa
tugas Gubernur DKI sampai selesai.
Jika menjadi
Gubernur saja, Jokowi belum ada pengalaman, bagaimana mau memimpin negara
Indonesia? Ya cocok di katakan bahwa beliau belum banyak pengalaman.
Apatah lagi
banyak kerja-kejra di sebagai Gubernur yang belum tuntas, sehingga ini malah
menambah masalah kota Jakarta yang sudah banyak. Kita semua tahu bahwa masalah
banjir sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya, Belum lagi jika kita
bicara masalah macet, ditambah lagi masalah sampah dan banjir.
Selayaknya
Jokowi menyelesaikan dulu amanahnya sebagai Guberenur, baru maju menjadi Capres
2014. Ya ukurannya adalah apakah beliau sukses dalam memimpin Jakarta, jika
lulus,maka akan mudah baginya untuk menjadi Presiden, gak perlu banyak
pencitraan lagi yang akan menghabiskan uang seperi sekarang ini. Bahkan rakyat
juga dimintai uang oleh tim atau relawan Jokowi untuk membantu kemenangan
Jokowi.
3. Citra Jokowi sebagai pemimpin muda akan luntur.
Banyak yang
bilang bahwa dengan memilih Jusuf Kalla menjadi pasangan Jokowi dalam ajang
Pilpres 2014 bisa memberikan keuntungan bagi pasangan ini untuk menaikkan
elekltabilitas. Namun seorang pengamat politik malah menyatakan berbeda.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana menyatakan:
“bahwa popularitas Jokowi akan pudar dan luntur jika mengambil JK menjadi
pasangan”.
Mungkin
karena orang melihat JK lebih banyak pengalaman dari pada Jokowi. Nah ini
menjadi masalah pribadi Jokowi sendiri, di mana JK ternyata menjadi boomerang
sendiri kepadanya. Lama sudah dia membangun citra diri, tapi bisa luntur dalam
waktu cepat. Tentu bukan Jokowi saja yang akan rugi, juga Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Ya sebuah Partai yang telah bekerja untuk menaikan
elektabilitas Jokowi.
Membangun
citra diri bukanlah perkara mudah, banyak orang yang sudah susah payah, bukan
hanya tenaga, uang dan waktu juga sudah habis banyak, namun tetap saja
Popularitasnya tidak naik juga. Contohnya seperti Abu Rizal Bakri dan pasangan
Wiranto dan Hari Tano (WIN-HT).
4. Petugas
partai
Jokowi adalah jokowi,
manusia biasa dan seorang tukang kayu yang karirnya melejit dari walikota
sampai jadi seorang presiden. Kekurangan utama dari seorang jokowi adalah tidak
mempunyai partai. Efek samping dari hal ini tentunya sebagian besar keputusan
jokowi di recoki oleh pihak partai. Jokowi sebagai presiden tidak lagi menjadi
seorang presiden yang mengambil keputusan secara tegas namun lebih sering
keputusan itu sebagai titipan partainya.
Solusi untuk
permasalahan ini adalah jokowi membuat partai baru misalkan dari relawan
kemarin yang mati matian membela jokowi dengan partai projokowi. Kalau itu
tidak mungkin, jokowi harus berani maju sebagai calon Ketua PDIP, walaupun ini
sangat sulit ditembus karena walaupun PDIP adalah partai "DEMOKRASI"
indonesia, namun kepemimpinannya cenderung oligarki.
Jika kedua hal itu
susah, maka jokowi bisa menyebrang ke KMP dan minta dukungan kepada lawannya
yaitu Prabowo dan Kawan kawannya. Ini adalah solusi yang efektif sehingga
jokowi bisa lebih independent dalam mengambil keputusan.
Dari sini juga bisa
disimpulkan bahwa Seorang pemimpin harus punya pengaruh di lingkungan atau
komunitas yang dibangun. Jokowi itu bisa dikatakan 100% dompleng PDIP, itu
repotnya. Berbeda dengan Prabowo dengan Himpunan taninya, perannya sebagai
pengusaha atau di komunitas pencak silat. Jokowi hanya tukang kayu. SBY juga
sama, sebelum di demokrat, SBY sudah kenyang di dunia militer dan pemerintahan,
tentunya pendukungnya juga banyak. Perhatikan juga dengan Gusdur, walaupun
bukan pemimpin partai, namun Gusdur adalah tokoh INTI dari NU serta PKB waktu
itu. Sudah saatnya jokowi membangun "Komunitas" pendukungnya sendiri
seperti Nasdem atau Partai baru Perindo Hary tanoe.
Sungguh heran
bagaimana seorang presiden masih dicap sebagai petugas Partai bahkan di
pertegas oleh elite Partai pengusungnya. Jokowi harus berani secara tegas
memberikan keterangan press bahwa dirinya seorang presiden indonesia yang tidak
bisa ditekan oleh siapapun, cap petugas partai sudah saatnya
ditanggalkan,
Jokowi juga harus
berani menjewer para elit yang berani mengecap dia hanya petugas partai dan
berani mengambil keputusan yang bersebrangan dengan partai pengusungnya jika
keinginan partai berseberangan dengan keinginan rakyat.
5. Presiden “Boneka”
Jokowi boneka
megawati sudah dari dulu menjadi rahasia umum, hal terbaru yang menjadi bukti
adalah pernyataan jokowi bahwa Calon kapolri bukan pilihannya? WTF! Dari
pengakuan ini jelas bahwa hak Prerogatif presiden sudah dirampas oleh partai
pengusungnya. Seharusnya partai pengusungnya memberi saran dan masukan, bukan memaksakan
"MASUKAN" tadi.
Jokowi bisa lepas
dari predikat boneka jika beliau berani mengambil keputusan yang bersebrangan
dengan keinginan megawati. Saya yakin jika keputusan jokowi pro rakyat
dan tidak mengikuti keinginan partai atau terlihat di setir oleh
megawati, Jokowi akan lepas dari status boneka. .
6. cara bicara dan pidato
Cara bicara dan
pidato jokowi tidak tampak sebagai seorang presiden, banyaknya kata yang
diulang, kalimat yang tidak tersusun rapih, dan terlalu lambat dan nadanya
kurang tegas. Jokowi juga tidak seharusnya banyak basa basi ketika mengumumkan
sesuatu lewat media. Jokowi tidak perlu harus bisa bahasa inggris, yang
penting, Perbaiki gaya bicara agar tampak berwibawa. Perhatikan SBY, Suharto
atau sukarno. Seorang presiden sudah sepantasnya berdiri tegap dan lantang
dalam berucap. Kalau boleh jujur, kalimat yang keluar dari mulut Megawati jauh
lebih terasa rohnya ketimbang seorang jokowi.
Jika jokowi tidak
bisa mengubah cara bicara, minimal cari juru bicara atau sudah seharusnya istana
merekrut ahli pidato dan bahasa tubuh.
B.
PERMASALAHAN
TAHUN SEBELUMNYA
Sampai detik ini
sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa ini. Di bidang politik, hukum
dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Rumah bangsa ini tidak punya
pagar. Kapal-kapal asing bebas keluar masuk menjarah ikan di perut laut
pedalaman. Bahkan negara tetangga tanpa rasa takut memindahkan patok-patok
batas negara. Maklum, peralatan perang tentara kita lawas. Sementara, budaya
koruptif begitu akut dan sistemik ada di seluruh struktur urusan publik. Di
sektor kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang. Angka kemiskinan
tinggi, pendidikan dan kesehatan mahal, anak-anak busung lapar belum
hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu lambat penanganannya.
Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya.
Belum lagi konflik horizontal, baik yang bermotif sara ataupun bermotif
ekonomi. Ini pertanda negara tidak hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai
lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban. Di bidang ekonomi, kita
tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Bahkan, kalah nyali dengan
pemodal asing dalam setiap negosiasi membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita
krisis energi, antre minyak menjadi pemandangan sehari-hari, antre bensin, pemadaman
listrik, dan masih banyak yang lain.
Yang jadi
pertanyaan, kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya.
Tapi, ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu
kegagalan para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang pemimpin
adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi
tanggung jawab dirinya. Ia problem solver
masalah lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade kepemimpinan bangsa ini
justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika pun ada, masih malas
berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya masih tambal sulam.
Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang terselesaikan secara tuntas.
Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat, tercetak di
surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang keluarga rumah
kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre minyak tanah untuk kompor
mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir adalah penyakit akut
yang entah kapan akan enyah dari kehidupan keseharian warga kota.
Repotnya lagi jika
pemimpin yang terpilih justru menjadi problem bagi bangsa ini. Setiap hari
rakyat digempur dengan masalah-masalah yang tidak perlu tapi dibuat pemimpin
jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir semua pemimpin di negeri ini masa
akhir jabatannya adalah tragedi. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir
masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat.
Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun
tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih
menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot
beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Tak heran
jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi bertumpuk dan tidak
pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada hanya sibuk membangun benteng
kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah bangsa diselesaikan dengan
retorika, iklan di media massa, atau setidaknya dengan kata “akan” lewat
statemen di forum kenegaraan. Dengan kata “akan” itu seolah-olah masalah telah
terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang ABG yang mendempul
wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas jerawat. Wajahnya
terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap ada.
Karena itu, bangsa
ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin
seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Yang memahami konsep
kepemimpinan.Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan
juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu.
Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi baru karena
memang diganti dengan yang baru. Banyak cara melakukan perubahan. Ada yang
mengambil jalan radikal revolusioner. Perubahan radikal. Terbuka juga model
persuasif gradual. Hanya saja cara terakhir ini ternuansa kompromi. Di tahun
1998 bangsa ini memilih cara kompromi. Reformasi adalah buah kompromi rejim
Orde Baru yang membuka ruang bagi kaum reformis untuk tampil di tingkat nasional.
Yang terjadi kemudian dan itu kenyataan hari ini kompromi itu menghasilkan
simbiosis yang aneh yang kemudian menjadi paradoks gerakan reformasi. Tak jelas
lagi siapa yang reformis dan siapa yang anti-reformasi.
Perubahan baru
yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan yang
cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi
antitesis karakteristik kepemimpinan gaya lama. Tapi, tentu saja kepemimpinan
baru itu tidak berpola pikir nihilis. Pasti ada sisi-sisi positif yang
dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa lalu. Hal-hal positif itu tentu saja
batu pijakan yang bagus untuk memulai step baru bagi perjalan bangsa ini ke
depan.
C.
PLANING
TAHUN-TAHUN BERIKUTNYA
Proses kelahiran
kepemimpinan baru saat ini sangat memungkinkan. Syarat-syarat yang ada, baik
berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik sudah lengkap. Tinggal satu faktor
penting yang belum ada, munculnya aktor yang berinisiatif menjadi penggerak
perubahan. Perlu orang yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki
komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan cita-cita perjuangan, serta sabar
dalam berjuang. Aktor perubah berkarakter seperti itulah yang dibutuhkan
sebagai pemimpin di hari ini. Jangan sampai bangsa ini seperti keledai. Selalu
mengulang kesalahan yang sama, memilih pemimpin bertipe makelar yang hanya
mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri. Namun kelahiran kepemimpinan
baru seperti itu di pentas nasional bukan tanpa kendala. Setidaknya masih ada
katup budaya yang perlu dijebol. Masyarakat kita masih berpola pikir
tradisional, masih menganggap pemimpin itu seperti manusia setengah dewa.
Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin adalah titisan dewa. Mitos
Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar
kebanyakan masyarakat kita. Karenanya, memunculkan kepemimpinan baru harus
dilakukan dengan merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus
diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah
disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang dimilikinya. Sehingga
dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang
pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi
yang mencoreng sejarah kepemimpinan bangsa ini.
Jika rasionalitas
masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan nasional akan terbentuk dari
sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule
of the game yang jelas. Di era tansisi seperti sekarang ini, kita
membutuhkan elite-elite kepemimpinan nasional yang waras. Pemimpin-pemimpin
yang visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan
masyarakat menjadi rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan
keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa menjadi suri
teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga
rasional. Bukan waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya.
Itu jika kita ingin Indonesia menjadi negara modern. Masyarakat berkali-kali
kecewa. Mereka membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari
lapisan generasi muda. Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat, pertama,
perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas
intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek,
sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua,
Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat
pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional,
menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang
kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap
pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak
dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan
menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.
Untuk menumbuhkan
tipe kepemimpinan baru, dibutuhkan proses belajar yang berkelanjutan dalam
berbagai dimensi. Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan
mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi
bangsa sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai
penggerak perubahan. Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak
nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia
kontemporer agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine.
Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai
lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai
dasar bagi pengembangan masa depan.
Namun kepemimpinan
baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi
dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis ekonomi-politik yang masih
terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi
yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial
yang terjadi silih berganti, korupsimerajalela, sehingga perlu hadir
tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati
dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi
membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi
kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya.
Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya
kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi
problema diri, keluarga, dan bangsanya. Tipe pemimpin baru seperti ini bukan
hanya dibutuhkan segera di pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena
itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses pengkaderan (baca: sekolah
kepemimpinan) yang output-nya bisa
diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan
peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas
kepemimpinan yang mumpuni.
Indonesia
Di Masa Depan
Tantangan
lingkungan Indonesia masa depan sangat beragam. Namun, kata kuncinya adalah
dinamika perubahan yang begitu cepat. Dinamika perubahan itu tercipta dari
isu-isu seperti globalisasi, regionalisasi, knowledge
economy, dan borderless world.
Dalam menghadapi situasi dunia yang dinamis seperti itu, bangsa ini harus punya
perspektif yang berbeda tentang tipe kepemimpinannya. Pemimpin di masa
mendatang bukan hanya pemimpin yang berkarateristik seperti diinginkan oleh
para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan bahwa Pemimpin di masa depan
mampu memenuhi dan memiliki kondisi-kondisi seperti berikut ini:
The
meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
Trust
in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan)
Keterbukaan (candor) merupakan
komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan
pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan
penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim
keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan
penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya
menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi
informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan
keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
A
sense of hope (memberikan harapan dan optimisme).
Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan
mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan
menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat
memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya
secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada
jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu
mengantisipasi hasil yang positif.
Result
(memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan, dan keberanian).
Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat
dirinya sebagai katalis yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari
dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang
seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin
dari seorang “entrepreneur”.
Selain empat
kondisi di atas, terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang
teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama, pemimpin harus punya integritas.
Bukanya kita selalu mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang
memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus mengakui akan adanya perbedaan dan
keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin masa depan negeri ini
mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan agama, serta
kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan
kelebihan. Jadi pemimpin masa depan adalah pemimpin ang berpikiran terbuka (open minded).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kepemimpinan
di Indonesia adalah salah satu contoh kepemimpinan yang kurang efektif. Memang
tidak bisa dipungkiri dalam setiap negara pasti masih ada kekurangan dan
kelebihannya. Akan tetapi setidaknya seorang pemimpin mampu mengarahkan dan
menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Banyak petinggi-petinggi Indonesia
yang seharusnya menjadi pengayom bagi masyarakat namun malah menjadi contoh
yang tak seharusnya diikuti oleh masyaraktnya. Seorang yang mampu menjadi suri
tauladan adalah pemimpin yang memiliki dasar tauhid yang kuat, yang tidak mudah
termakan oleh bujukan nafsunya. Karena sudah dicontokan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya mengenai pemimpin yang baik dan menjadi banggaan masyarakatnya,
namun bernbeda dengan sekarang di Indonesia khususnya, seorang pemimpin malah
menjadi bahan pembicaraan yang tidak seharusnya dibaicarakan. Untuk itu sebagai
calon pemimpin masyarakat kita harus tanamkan dalam diri kita yaitu dasar
tauhid yang kuat, yang mampu menjadi pemimpin dambaan masyarakat.
Bagaimana
fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini?
Kepemimpinan adalah
proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam
upaya mencapai tujuan organisasi
Gaya kepemimpinan Jokowi
sejak awal masa kepemimpinannya di DKI Jakarta terkesan otentik, tidak di
buat-buat. Sigap dan tanggap bertandang ke permukiman warga miskin yang terkena
bencana kebakaran atau banjir dengan tanpa ekspresi canggung, yang menguatkan
kesan otentik tersebut.
Bagaimana
hakikat menjadi seorang pemimpin?
Sejatinya seorang
pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain
menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem
solver masalah lingkungannya. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin
seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Yang memahami konsep kepemimpinan.
Apa
dan bagaimana rencana memperbaiki bangsa Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik. Islam dan Masyarakat, LP3ES,
Jakarta, 1987.
Ubaedillah,
Ahmad, Dkk, Pendidikan Kewargaan, ICCE
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,
Jakarta, 2000.
Karim,
M. Rusli. Dinamika Islam Di
Indonesia, PT. Hanindita, yogyakarta,1985.
Ngalim
Purwanto, Drs., M., Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja
Rosdakarya,
Bandung, 2005
MAKALAH KELOMPOK 1

Mata Kuliah : Sosiologi Politik
Dosen
Pengampu : Rusnaini
Oleh
:
1.
Anggi Yoga Pramanda K6414007
2.
Danang Prasetyo H K6414013
3.
Dicky Setiawan K64140
4.
Fenty Mustika Sari K6414024
5.
Rendi Setiya K K6414045
6.
Siti Munawaroh K6414052
7.
Wulandari K6414057
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar