Minggu, 10 Januari 2016

Langkanya Jiwa Kepemimpinan



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia. Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini?
2.    Bagaimana hakikat menjadi seorang pemimpin?
3.    Apa dan bagaimana rencana memperbaiki bangsa Indonesia?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini.
2.    Untuk mengetahui hakikat menjadi seorang pemimpin.
3.    Untuk mengetahui cara dan rencana untuk memperbaiki bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  KEPEMIMPINAN DI INDONESIA
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Dalam perkembangan di Indonesia yang menjadi tolak ukur adalah pemimpin. Pemimpin yang baik sangat berpengaruh terhadap kemajuan negara. Tidak sedikit masalah yang muncul menurut masyarakat adalah kelalaian dari pada pemimpin, padahal disisi lain masyarakat lah yang kurang dalam memahami masalah tersebut. Namun jika kita berbicara kepemimpinan di Indonesia maka sebenarnya kita telah menghadapkan diri pada dua corak konsep tentang kesatuan sosial yang secara konkrit bisa berkaitan, tetapi secara konseptual berbeda, yaitu Indonesia dan Islam. Sebagai suatu komunitas “Indonesia” adalah suatu konsep yang berarti ganda, yaitu negara dan bangsa. Sebagai “negara”, Indonesia adalah ikatan sosial yang terbentuk karena adanya konsensus politik yang berlanjut. Karena adanya sistem kekuasaan yang sah. Dalam konteks ini maka hak dan kewajiban seseorangbahkan status dan kedudukannya ditentukan oleh hal-hal yang telah diletakkan oleh dasar konsensus politik teresebut. Dengan demikian, pengertian kepemimpinan semestinyalah diletakkan pada corak hubungan sosial yang ditentukan oleh jauh atau dekatnya seseorang pada nilai dasar dari masyarakat politik itu. Dengan kata lain, makin dekat seseorang kepada pusat kekuasaan politik, maka makin tinggilah ia dalam hirarki sosial. Dalam lingkungan kepegawaian, kepemimpinan berarti bahwa seseorang yang menduduki hirarki yang tinggi adalah “pemimpin” bagi mereka yang menduduki jenjang hirarki yang lebih rendah. Sebagai “bangsa”, kita tak hanya berhadapan dengan kesadaran politik baru yang telah melampaui batas-batas etnis, tetapi juga pada suatu komuitas yang dibina berdasarkan nilai-nilai yang diserap dari pengalaman sejarah. Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara. Yang masuk dalam kategori dan saluran kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan Joko Widodo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menciptakan tradisi baru pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja 2014-2019, yaitu dengan menggunakan baju batik. Bahkan sebelumnya saat pengumuman nama-nama menteri, Jokowi mengharuskan para pembantunya memakai baju dan celana putih di halaman Istana Negara, Jakarta. Tradisi ini baru pertama kali dalam sejarah pelantikan kabinet dari zaman Presiden Soeharto hingga SBY, yang umumnya menggunakan stelan jas rapi.
Tidaklah mengherankan dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang khas itu. Tanpa menafikan kenyataan bahwa Kepala Negara saat ini tengah menjadi sosok media darling, serangkaian gaya Jokowi sejak awal masa kepemimpinannya di DKI Jakarta terkesan otentik, tidak di buat-buat. Sigap dan tanggap bertandang ke permukiman warga miskin yang terkena bencana kebakaran atau banjir dengan tanpa ekspresi canggung, yang menguatkan kesan otentik tersebut.
Lihat saja usai pengucapan sumpah di MPR beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla (JK) langsung memulai tradisi baru, yaitu naik kereta kuda dari Bundaran HI hingga Istana Negara dengan diiringi ribuan warga Jakarta yang mengelu-elukan, bahkan berjabat tangan selama konvoi perjalanan bersejarah pemimpin baru di negeri ini.
Tak hanya itu. Jokowi tetap tampil dengan logat kental Jawa, tanpa usaha untuk mengubah. Kata,'' ... anu'' sering terlontar namun sungguh ''ajaib'' publik metropolitan terbesar di Indonesia itu terkesan menerima Jokowi apa adanya.
Menurut William George dalam buku Rediscovering the Secrets to Creating Lasting Value Leadership (2003), bahwa yang diperlukan zaman sekarang ini adalah pemimpin yang otentik. Model kepemimpinan ini adalah sosok berintegritas tinggi, memiliki komitmen untuk mengembangkan lembaga di mana dia berada. Pemimpin yang yang memiliki tekad kuat dan mendalam guna mewujudkan lembaganya berguna, bukan saja bagi segenap orang yang kena-mengena, melainkan juga bagi masyarakat yang lebih luas.
Salah satu karakter utama pemimpin otentik adalah mandiri dan swakarsa, menjadi sosok yang otonom dan penuh prakarsa. Untuk memiliki karakter utama ini, seseorang tentu harus berani menghadapi tantangan besar, harus mampu menenggang tekanan dari segala penjuru.
William menyebutkan, seorang pemimpin otentik harus siap mengalami ''kesepian seorang pelari jarak jauh'' (the loneliness of the long distance runner). Dengan seringnya pemimpin mengambil keputusan dan bertindak yang dianggap tak lazim maka dia harus siap kesepian. Kekukuhan sikap untuk berani berbeda dari mayoritas, demi tujuan baik yang diyakini, adalah syarat esensial seorang pemimpin otentik.
Tokoh selalu lahir dalam ruang dan saat yang tepat, tetapi tak semua orang yang hadir di ruang dan saat yang sama, menjadi tokoh. Hanya mereka yang mampu membaca situasi dan mengambil sikap tindakan yang menonjol akan menjadi tokoh. Stephen Covey dalam bukunya The 8th Habit menyebutkan, ''You will discover that such influence and leadership comes by choice, not from position or rank'', bahwa prakarsa adalah persoalan pilihan. Pilihan itulah yang disebut sebagai kepeloporan atau leadership.
Dalam kasus Jokowi tampaknya masyarakat telah merasakan otentitas kepemimpinannya. Semoga kepercayaan kepada Jokowi bukan hanya lahir dari kerinduan masyarakat yang sangat akut akan kehadiran pemimpin yang otentik di negeri ini. Ini tantangan terbesar Jokowi untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang otentik di tengah harapan masyarakat yang begitu besar. Adalah Kabinet Kerja 2014-2019 merupakan wujud nyata kepemimpinan Jokowi bersama JK.
Harapan yang begitu besar untuk pemecahan seabrek masalah pelik Indonesia, dapat berisiko menggelincirkan sosok Jokowi menjadi superhero, seperti superman atau spiderman, yang tidak boleh gagal dan salah. Padahal sesuai ungkapan rocker juga manusia, pastilah Jokowi juga manusia yang tidak pernah sempurna. Semoga dia dapat menyurusi alur perjalanan kepemimpinannya tanpa harus tergelincir akibat perilaku pembantunya.
Kelemahan Gaya Kepemimpinan Joko Widodo
1.      Sifat kenegarawanan belum tampak
Banyak yang mengatakan bahwa kenegaraan akan muncul secara alami. Tidak bisa di buat – buat. Sebuah karakter yang muncul secara reflek. Jika ada orang yang coba mengaku sebagai negarawan, maka yang menilainya adalah masyarakat yang melihatnya. Bicara tentang masyarakat Indonesia tentu banyak jumlahnya, ada 240 juta jiwa. Jika ditanya satu persatu, maka tidak akan mungkinsilontong.com lakukan. Maka kali ini silontong berdasarkan seorang mantan Ketua Umum Muhammadiyah, yakni Syafii Ma’arif yang memberikan penilaian.
Beliau yang bisa dipanggil buya adalah tokoh yang sudah kaya akan pengalaman dalam membaca karakter orang. Apakah penilaian si buya ini bisa salah? Ya tentu saja bisa,  namun di bandingkan dengan penilaian orang lain,mungkin penilai buya yang mengatakan Jokowi masih kurang pengalaman bisa masuk akal, karena di samping umur, Jokowi juga di nilai sebagai kutu loncat. Pantaskan seorang yang di katakan sebagai kutu loncat dijuluki sebagai negarawan?
2.      Belum Banyak Pengalaman
Ya bisa di bilang bahwa Jokowi adalah pemain baru di jakarta, karena dulu dia hanya Walikota Solo yang memimpin kota yang kecil. Lalu saat ini dia belum genap 2 tahun dalam menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju dibursa Capres 2014. Padahal dia sudah pernah berjanji kepada warga Jakarta untuk menyelesaikan masa tugas Gubernur DKI sampai selesai.
Jika menjadi Gubernur saja, Jokowi belum ada pengalaman, bagaimana mau memimpin negara Indonesia? Ya cocok di katakan bahwa beliau belum banyak pengalaman.
Apatah lagi banyak kerja-kejra di sebagai Gubernur yang belum tuntas, sehingga ini malah menambah masalah kota Jakarta yang sudah banyak. Kita semua tahu bahwa masalah banjir sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya, Belum lagi jika kita  bicara masalah macet, ditambah lagi masalah sampah dan banjir.
Selayaknya Jokowi menyelesaikan dulu amanahnya sebagai Guberenur, baru maju menjadi Capres 2014. Ya ukurannya adalah apakah beliau sukses dalam memimpin Jakarta, jika lulus,maka akan mudah baginya untuk menjadi Presiden, gak perlu banyak pencitraan lagi yang akan menghabiskan uang seperi sekarang ini. Bahkan rakyat juga dimintai uang oleh tim  atau relawan Jokowi untuk membantu kemenangan Jokowi.
3.      Citra Jokowi sebagai pemimpin muda akan luntur.
Banyak yang bilang bahwa dengan memilih Jusuf Kalla menjadi pasangan Jokowi dalam ajang Pilpres 2014 bisa memberikan keuntungan bagi pasangan ini untuk menaikkan elekltabilitas. Namun seorang pengamat politik malah menyatakan berbeda. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana menyatakan: “bahwa popularitas Jokowi akan pudar dan luntur jika mengambil JK menjadi pasangan”.
Mungkin karena orang melihat JK lebih banyak pengalaman dari pada Jokowi. Nah ini menjadi masalah pribadi Jokowi sendiri, di mana JK ternyata menjadi boomerang sendiri kepadanya. Lama sudah dia membangun citra diri, tapi bisa luntur dalam waktu cepat. Tentu bukan Jokowi saja yang akan rugi, juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ya sebuah Partai yang telah bekerja untuk menaikan elektabilitas Jokowi.
Membangun citra diri bukanlah perkara mudah, banyak orang yang sudah susah payah, bukan hanya tenaga, uang dan waktu juga sudah habis banyak, namun tetap saja Popularitasnya tidak naik juga. Contohnya seperti Abu Rizal Bakri dan pasangan Wiranto dan Hari Tano (WIN-HT).
4.      Petugas partai
Jokowi adalah jokowi, manusia biasa dan seorang tukang kayu yang karirnya melejit dari walikota sampai jadi seorang presiden. Kekurangan utama dari seorang jokowi adalah tidak mempunyai partai. Efek samping dari hal ini tentunya sebagian besar keputusan jokowi di recoki oleh pihak partai. Jokowi sebagai presiden tidak lagi menjadi seorang presiden yang mengambil keputusan secara tegas namun lebih sering keputusan itu sebagai titipan partainya. 
Solusi untuk permasalahan ini adalah jokowi membuat partai baru misalkan dari relawan kemarin yang mati matian membela jokowi dengan partai projokowi. Kalau itu tidak mungkin, jokowi harus berani maju sebagai calon Ketua PDIP, walaupun ini sangat sulit ditembus karena walaupun PDIP adalah partai "DEMOKRASI" indonesia, namun kepemimpinannya cenderung oligarki. 
Jika kedua hal itu susah, maka jokowi bisa menyebrang ke KMP dan minta dukungan kepada lawannya yaitu Prabowo dan Kawan kawannya. Ini adalah solusi yang efektif sehingga jokowi bisa lebih independent dalam mengambil keputusan. 
Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa Seorang pemimpin harus punya pengaruh di lingkungan atau komunitas yang dibangun. Jokowi itu bisa dikatakan 100% dompleng PDIP, itu repotnya. Berbeda dengan Prabowo dengan Himpunan taninya, perannya sebagai pengusaha atau di komunitas pencak silat. Jokowi hanya tukang kayu. SBY juga sama, sebelum di demokrat, SBY sudah kenyang di dunia militer dan pemerintahan, tentunya pendukungnya juga banyak. Perhatikan juga dengan Gusdur, walaupun bukan pemimpin partai, namun Gusdur adalah tokoh INTI dari NU serta PKB waktu itu. Sudah saatnya jokowi membangun "Komunitas" pendukungnya sendiri seperti Nasdem atau Partai baru Perindo Hary tanoe. 
Sungguh heran bagaimana seorang presiden masih dicap sebagai petugas Partai bahkan di pertegas oleh elite Partai pengusungnya. Jokowi harus berani secara tegas memberikan keterangan press bahwa dirinya seorang presiden indonesia yang tidak bisa ditekan oleh siapapun, cap petugas partai sudah saatnya ditanggalkan, 
Jokowi juga harus berani menjewer para elit yang berani mengecap dia hanya petugas partai dan berani mengambil keputusan yang bersebrangan dengan partai pengusungnya jika keinginan partai berseberangan dengan keinginan rakyat. 

5.      Presiden “Boneka”

Jokowi boneka megawati sudah dari dulu menjadi rahasia umum, hal terbaru yang menjadi bukti adalah pernyataan jokowi bahwa Calon kapolri bukan pilihannya? WTF! Dari pengakuan ini jelas bahwa hak Prerogatif presiden sudah dirampas oleh partai pengusungnya. Seharusnya partai pengusungnya memberi saran dan masukan, bukan memaksakan "MASUKAN" tadi. 
Jokowi bisa lepas dari predikat boneka jika beliau berani mengambil keputusan yang bersebrangan dengan keinginan megawati. Saya yakin jika keputusan jokowi pro rakyat  dan tidak mengikuti keinginan partai atau terlihat di setir oleh megawati, Jokowi akan lepas dari status boneka. . 
6.      cara bicara dan pidato
Cara bicara dan pidato jokowi tidak tampak sebagai seorang presiden, banyaknya kata yang diulang, kalimat yang tidak tersusun rapih, dan terlalu lambat dan nadanya kurang tegas. Jokowi juga tidak seharusnya banyak basa basi ketika mengumumkan sesuatu lewat media. Jokowi tidak perlu harus bisa bahasa inggris, yang penting, Perbaiki gaya bicara agar tampak berwibawa. Perhatikan SBY, Suharto atau sukarno. Seorang presiden sudah sepantasnya berdiri tegap dan lantang dalam berucap. Kalau boleh jujur, kalimat yang keluar dari mulut Megawati jauh lebih terasa rohnya ketimbang seorang jokowi. 
Jika jokowi tidak bisa mengubah cara bicara, minimal cari juru bicara atau sudah seharusnya istana merekrut ahli pidato dan bahasa tubuh. 

B.                      PERMASALAHAN TAHUN SEBELUMNYA
Sampai detik ini sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa ini. Di bidang politik, hukum dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Rumah bangsa ini tidak punya pagar. Kapal-kapal asing bebas keluar masuk menjarah ikan di perut laut pedalaman. Bahkan negara tetangga tanpa rasa takut memindahkan patok-patok batas negara. Maklum, peralatan perang tentara kita lawas. Sementara, budaya koruptif begitu akut dan sistemik ada di seluruh struktur urusan publik. Di sektor kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang. Angka kemiskinan tinggi, pendidikan dan kesehatan mahal,  anak-anak busung lapar belum hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu lambat penanganannya. Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya. Belum lagi konflik horizontal, baik yang bermotif sara ataupun bermotif ekonomi. Ini pertanda negara tidak hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban. Di bidang ekonomi, kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Bahkan, kalah nyali dengan pemodal asing dalam setiap negosiasi membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita krisis energi, antre minyak menjadi pemandangan sehari-hari, antre bensin, pemadaman listrik, dan masih banyak yang lain.
Yang jadi pertanyaan, kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya. Tapi, ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu kegagalan para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem solver masalah lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade kepemimpinan bangsa ini justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika pun ada, masih malas berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya masih tambal sulam. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang terselesaikan secara tuntas. Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat, tercetak di surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang keluarga rumah kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre minyak tanah untuk kompor mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir adalah penyakit akut yang entah kapan akan enyah dari kehidupan keseharian warga kota.
Repotnya lagi jika pemimpin yang terpilih justru menjadi problem bagi bangsa ini. Setiap hari rakyat digempur dengan masalah-masalah yang tidak perlu tapi dibuat pemimpin jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir semua pemimpin di negeri ini masa akhir jabatannya adalah tragedi. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada hanya sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media massa, atau setidaknya dengan kata “akan” lewat statemen di forum kenegaraan. Dengan kata “akan” itu seolah-olah masalah telah terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang ABG yang mendempul wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas jerawat. Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap ada.
Karena itu, bangsa ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Yang memahami konsep kepemimpinan.Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu. Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi baru karena memang diganti dengan yang baru. Banyak cara melakukan perubahan. Ada yang mengambil jalan radikal revolusioner. Perubahan radikal. Terbuka juga model persuasif gradual. Hanya saja cara terakhir ini ternuansa kompromi. Di tahun 1998 bangsa ini memilih cara kompromi. Reformasi adalah buah kompromi rejim Orde Baru yang membuka ruang bagi kaum reformis untuk tampil di tingkat nasional. Yang terjadi kemudian dan itu kenyataan hari ini kompromi itu menghasilkan simbiosis yang aneh yang kemudian menjadi paradoks gerakan reformasi. Tak jelas lagi siapa yang reformis dan siapa yang anti-reformasi.
Perubahan baru yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan yang cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi antitesis karakteristik kepemimpinan gaya lama. Tapi, tentu saja kepemimpinan baru itu tidak berpola pikir nihilis. Pasti ada sisi-sisi positif yang dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa lalu. Hal-hal positif itu tentu saja batu pijakan yang bagus untuk memulai step baru bagi perjalan bangsa ini ke depan.
C.                     PLANING TAHUN-TAHUN BERIKUTNYA
Proses kelahiran kepemimpinan baru saat ini sangat memungkinkan. Syarat-syarat yang ada, baik berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik sudah lengkap. Tinggal satu faktor penting yang belum ada, munculnya aktor yang berinisiatif menjadi penggerak perubahan. Perlu orang yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan cita-cita perjuangan, serta sabar dalam berjuang. Aktor perubah berkarakter seperti itulah yang dibutuhkan sebagai pemimpin di hari ini. Jangan sampai bangsa ini seperti keledai. Selalu mengulang kesalahan yang sama, memilih pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri. Namun kelahiran kepemimpinan baru seperti itu di pentas nasional bukan tanpa kendala. Setidaknya masih ada katup budaya yang perlu dijebol. Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar kebanyakan masyarakat kita. Karenanya, memunculkan kepemimpinan baru harus dilakukan dengan merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah kepemimpinan bangsa ini.
Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan nasional akan terbentuk dari sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the game yang jelas. Di era tansisi seperti sekarang ini, kita membutuhkan elite-elite kepemimpinan nasional yang waras. Pemimpin-pemimpin yang visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya. Itu jika kita ingin Indonesia menjadi negara modern. Masyarakat berkali-kali kecewa. Mereka membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda. Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat, pertama, perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.
Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru, dibutuhkan proses belajar yang berkelanjutan dalam berbagai dimensi. Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan. Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine. Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan.
Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti, korupsimerajalela, sehingga  perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya. Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi problema diri, keluarga, dan bangsanya. Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses pengkaderan (baca: sekolah kepemimpinan) yang output-nya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.

Indonesia Di Masa Depan
Tantangan lingkungan Indonesia masa depan sangat beragam. Namun, kata kuncinya adalah dinamika perubahan yang begitu cepat. Dinamika perubahan itu tercipta dari isu-isu seperti globalisasi, regionalisasi, knowledge economy, dan borderless world. Dalam menghadapi situasi dunia yang dinamis seperti itu, bangsa ini harus punya perspektif yang berbeda tentang tipe kepemimpinannya. Pemimpin di masa mendatang bukan hanya pemimpin yang berkarateristik seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan bahwa Pemimpin di masa depan mampu memenuhi dan memiliki kondisi-kondisi seperti berikut ini:
The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan) Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme). Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif.
Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan, dan keberanian). Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat dirinya sebagai katalis yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”.
Selain empat kondisi di atas, terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama, pemimpin harus punya integritas. Bukanya kita selalu mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan kelebihan. Jadi pemimpin masa depan adalah pemimpin ang berpikiran terbuka (open minded).














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kepemimpinan di Indonesia adalah salah satu contoh kepemimpinan yang kurang efektif. Memang tidak bisa dipungkiri dalam setiap negara pasti masih ada kekurangan dan kelebihannya. Akan tetapi setidaknya seorang pemimpin mampu mengarahkan dan menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Banyak petinggi-petinggi Indonesia yang seharusnya menjadi pengayom bagi masyarakat namun malah menjadi contoh yang tak seharusnya diikuti oleh masyaraktnya. Seorang yang mampu menjadi suri tauladan adalah pemimpin yang memiliki dasar tauhid yang kuat, yang tidak mudah termakan oleh bujukan nafsunya. Karena sudah dicontokan oleh Rasulullah dan para sahabatnya mengenai pemimpin yang baik dan menjadi banggaan masyarakatnya, namun bernbeda dengan sekarang di Indonesia khususnya, seorang pemimpin malah menjadi bahan pembicaraan yang tidak seharusnya dibaicarakan. Untuk itu sebagai calon pemimpin masyarakat kita harus tanamkan dalam diri kita yaitu dasar tauhid yang kuat, yang mampu menjadi pemimpin dambaan masyarakat.
Bagaimana fenomena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini?
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi
Gaya kepemimpinan Jokowi sejak awal masa kepemimpinannya di DKI Jakarta terkesan otentik, tidak di buat-buat. Sigap dan tanggap bertandang ke permukiman warga miskin yang terkena bencana kebakaran atau banjir dengan tanpa ekspresi canggung, yang menguatkan kesan otentik tersebut.
Bagaimana hakikat menjadi seorang pemimpin?
Sejatinya seorang pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem solver masalah lingkungannya. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Yang memahami konsep kepemimpinan.
Apa dan bagaimana rencana memperbaiki bangsa Indonesia?

















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987.
Ubaedillah, Ahmad, Dkk, Pendidikan Kewargaan, ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2000.
Karim, M. Rusli. Dinamika Islam Di Indonesia, PT. Hanindita, yogyakarta,1985.
Ngalim Purwanto, Drs., M., Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2005










MAKALAH KELOMPOK 1
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4uak80xl9L0AxpTXJqDvad417ypKCXk2IFc6ZRV5KaUv0L68iGED0tTiWYbUC15uG9opaHK70XRxrjQ5Lj5CPJlsOyH4gnWf63vL983OFsarKPoIFV2xlDurCh2pXz8SWG7y14Lv2hVE/s1600/logo-uns.jpgLANGKANYA JIWA KEPEMIMPINAN







Mata Kuliah            : Sosiologi Politik
Dosen Pengampu           :  Rusnaini
                                                   Oleh    :
1.                       Anggi Yoga Pramanda                       K6414007
2.                       Danang Prasetyo H                             K6414013
3.                       Dicky Setiawan                                   K64140
4.                       Fenty Mustika Sari                              K6414024
5.                       Rendi Setiya K                                    K6414045
6.                       Siti Munawaroh                                  K6414052
7.                       Wulandari                                           K6414057

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar