Senin, 23 November 2015

Analisa Judicial Review Terhadap UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahhkamah Agung



ANALISA JUDICIAL REVIEW TERHADAP UU NO 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Untuk mata kuliah Teori Hukum Konstitusi
Dosen Pengampu:
Drs.Machmud Al Rasyid,SH.M.Si



Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007




PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA

P U T U S A N
Perkara Nomor 067/PUU-II/2004
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili,dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
1.DOMINGGUS MAURITS LUITNAN, S.H.
2. L.A . LADA, S.H.
3. H. AZI ALI TJASA, S.H., M.H.
AMAR PUTUSAN  : DIKABULKAN
TANGGAL PUTUSAN :  15 FEBRUARI 2005
v  PERMOHONAN :
1. Bahwa ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud seharusnya dengan berlakunya  UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif. Artinya ada dua badan yang melakukan pengawasan terhadap Advokat. Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama sekali tidakdirubah, sehingga masih tetap berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”di satu pihak, sedangkan menurut Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi Advokat;
2. Bahwa dengan adanya dua badan pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme hukum dan terjadinya pertentangan antara dua undang-undang yang berlaku. Akibatnya telah terjadi ketidakpastianhukum  dalam pengawasan terhadap Pemohon dan Advokat umumnya.
3. Seharusnya UU Nomor 5 Tahun 2004 dilahirkan juga berdasarkan semangat dan dijiwai  oleh UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut, tetapi kenyataannya UU Nomor 5 Tahun 2004 yang masih mempertahankan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Di sini tampak jelas bahwa UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan semangat dan jiwa UUD 1945 khususnya Pasal 24 ayat (1) dan (3) UUD 1945.
v  ALASAN PEMOHON
Bahwa pengawasan advokat oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah (eksekutif) karena adanya UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 (serta Penjelasannya) UU Nomor 14 Tahun 1985 maka keadaannya kembali kepada cara-cara lama seperti adanya, intimidasi, pengaruh, campur tangan dalam proses perkara, pengawasan, pengangkatan, penindakan, penghukuman jabatan hingga pemecatan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah (dalam hal ini Menteri Kehakiman), merupakan hal yang amat merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan advokat pada umumnya, karena seharusnya hak-hak Pemohon seperti pengangkatan, pengawasan, penindakan bahkan hingga pemecatan atau pencabutan izin praktik advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Advokat sendiri, tetapi kenyataannya berdasar UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 pengawasan, pengangkatan, penindakan hingga pemecatan atau pencabutan izin praktik advokat tetap saja dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah;
 Kerugian pemohon adalah jika pengawasan dan penindakan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah (di luar dari organisasi advokat), nyata-nyata berarti kemandirian advokat telah dicampurtangani oleh unsur Mahkamah Agung dan Eksekutif yang dapat bertindak sewenang-wenang dan menuruti selera Pemerintah yang berkuasa dan Mahkamah Agung sendiri, yang tentunya tidak sesuai dengan kemandirian dan kebebasan pelaksanaan tugas profesi dan tanggung jawab advokat yang kini juga selaku salah satu unsur penegak hukum berbeda jika pengawasan dan penindakan advokat yang dilakukan oleh organisasi advokat sendiri yang berdasarkan undang-undang Advokat dan Kode Etik Advokat yang bertujuan di samping penindakan tegas juga adalah pembinaan terhadap para anggota advokat untuk meningkatkan kualitas profesi advokat (Pasal 28 UU Advokat) dan agar advokat dalammenjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi advokat dan perundang-undangan yang berlaku
Dalam  UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985, di mana dalam Pasal 36 kata-kata Penasihat Hukum masih tetap dipertahankan. Dengan demikian antara UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dengan UU Nomor 8 Tahun 2004 junctoPasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 tidak sinkron, atau saling bertentangan. Demikian pula antara UU Nomor 18 Tahun 2003 dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 juga saling bertentangan. Hal ini menurutProf. Dr. Harun Al Rasjid, merupakan pelanggaran terhadap “tertib tata UU” yang sekaligus merupakan pertentangan antara tatahukum Indonesia yang saling bertentangan antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, yang harus dijaga oleh Mahkamah Konstitusi
Berdasar uraian di atas, ditinjau dari segi kedudukan hukum, hak konstitusional dan kerugian Pemohon, dapat disimpulkan bahwa keberadaan UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985, maupun ditinjau dari “tertib tata UU”, Pemohon telah cukup beralasan untuk mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sesuai makna Pasal  51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, dengan permohonan agar UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
v  ALASAN HAKIM
Bahwa sudah diterima doktrin yang menyatakan, dalam menafsirkan konstitusi tatkala terjadi pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain maka asas-asas yang berlaku dalam penafsiran hukum, yaitu (1) lex posteriore derogat legi priori, (2) lex superiore derogat lex inferiori, (3) lex specialis derogat lex generalis, juga berlaku. Hal demikian, antara lain, ditegaskan oleh Prof. Dr. H.C. Heinrich Scholler, “... the legal interpretation mentioned above (constitutional interpretation principles) is also the basis of the principles on constitutional interpretation; in reality we can support the idea that basically legal interpretation and constituional interpretation are grounded on the same principles”[“... penafsiran hukum sebagaimana disebutkan di atas (asas-asas penafsiran konstitusi) adalah juga merupakan landasan bagi penerapan asas-asas dalam penafsiran konstitusi; pada kenyataannya kita dapat menyetujui pemikiran bahwa pada dasarnya penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi berlandaskan pada asas-asas yang sama”]Bahwa dalam melakukan penafsiran dimaksud, terlepas dari metode penafsiran mana pun yang dipilih, Mahkamah berpegang pada sejumlah dalil (proposisi), yaitu:
1. bahwa konstitusi atau undang-undang dasar adalah seperangkat aturan;
2. bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang
dasar memiliki kedudukan tertinggi3. bahwa aturan-aturan yang dituangkan dalam undang-undang adalah lebih rendah kedudukannya;
4. bahwa dalam hal terjadipertentangan atau kontradiksi maka aturan yang lebih rendah harus memberi jalan kepada yang lebih tinggi;
5. bahwa dalam hal terjadi sengketa, adalah hakim yang menentukan standar penilaian konstitusionalitas berdasarkan konstitusi itu sendiri, bukan berdasarkan apa yang disukai oleh hakimyang diartikan sebagai apa yang dimaksud oleh konstitusi;
Bahwa dalil-dalil di atas, yang oleh Mahkamah dijadikan ukuran dalam menilai kewenangan Mahkamah atas permohonan a quo, karena terdapat dua atau lebih undang-undang yang saling bertentangan dan menimbulkan keragu-raguan dalam penerapannya yang bermuara pada tidak adanya kepastian.
Menimbang bahwa Para Pemohon mendalilkan, Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (dengan Penjelasannya) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (3) UUD 1945. Pasal 36 a quo berbunyi,  “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Dalam penjelasan Pasal 36 tersebut selanjutnya dinyatakan, “Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas PenasihatHukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati danmenjaga kemandirian Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian  sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”. Para Pemohon mendalilkan, pengawasan terhadap Penasihat Hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 dan penjelasannya di atas, telah merugikan hak konstitusional mereka karena menurutPara Pemohon hal itu bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003), yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Oleh karena Undang-undang Advokat dimaksud, dalam pandangan Para Pemohon, didasari oleh semangat dan dijiwai oleh makna Pasal 24 UUD 1945, maka Pasal 36 dimaksud juga berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan publik, adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan publik dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar publik yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang mengakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independen.
Menimbang bahwa, meskipun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (tentang Mahkamah Agung) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 36 ternyata tidak termasuk ketentuan yang mengalami perubahan, sehingga masih tetap sebagaimana rumusan aslinya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta lain yaitu tidak dimasukkannya substansi Pasal 36 tersebut  sebagai agenda yang akan dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah selama berlangsungnya proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana diterangkan oleh kuasa hukum DPR dalam persidangan.
 Menimbang bahwa keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dimaksud adalah berkait erat dengan perubahan pada sejumlah undang-undang lain yang disebabkan oleh adanya perubahan cara pandang dalam menilai keberadaan rejim hukum yang berkait dengan pengawasan, maka guna memahami esensi permohonan Para Pemohon dan alur pikir dalam menilai permohonan a quo, Mahkamah memandang perlu untuk terlebih dahulu memeriksa ketentuan terkait yang terdapat dalam sejumlah undang-undang tersebut
Menimbang bahwa berdasarkan analisis dan alurpikir sebagaimana diuraikan di atas, ternyata di satupihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36. Namun di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa pembentuk  undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya yang berakibatpada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dan undang-undang  lainnya. Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;
Menimbang bahwa kendatipun Mahkamah menerima prinsip universal lex specialis derogat lex generalissebagai salah satu asas dalam melakukan penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam keterangan tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 17 Januari 2005 yang menyatakan bahwa permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative review). Di samping itu pertentangan di antara kedua undang-undang tersebut tidaklah berkaitan dengan asas lex specialis derogat lex generalis sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah, karena kedua undang-undang dimaksud ternyata mengatur dua hal yang berbeda, sehingga yang satu bukan merupakan lex specialisdari yang lain;
Menimbang bahwa Mahkamah juga tidak sependapat dengan Para Pemohon yang dalam permohonannya menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang digunakan Para Pemohon untuk mendalilkan bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal 36 dimaksud memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untukmelakukan pengawasan terhadap advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) kewenangannya diberikan kepada Organisasi Advokat, adalah dengan maksud agar dalam menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Advokat
Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945,pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Advokat, seperti halnya pengawasanterhadap organisasi Advokat dan pengawasan terhadap Advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.
Mengingat Pasal 56 ayat (2), (3) dan Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
















ANALISA
.
Persoalan hukum adalah masalah pelik yang menyita segala hal dari pihak yang terlibat. Materi adalah tuntutan utama ketika memasuki ranah peradilan. Sehingga tak jarang kita menemukan adanya upaya damai yang gencar dilakukan guna menghindari besarnya biaya yang akan dikeluarkan. Selain itu kemampuan dan penguasaan hukum turut menjadi tuntutan ketika persoalan telah menjadi perkara dipersidangan.
Keberadaan pengadilan sebagai institusi pemutus dan pemaksa menjadi pilihan bagi masyarakat bilama mereka tidak mencapai kesepakatan dalam upaya damai, apalagi jika persoalan mereka terkait dengan sesuatu yang telah mempunyai dasar hukum, misalnya saja persoalan klaim hak atas tanah. di mana kedua belah pihak saling mengklaim dengan dasar sertifikat yang jelas.
Dalam konteks tersebut, gugatan ke pengadilan adalah satu-satunya jalan keluar dalam menyelesaian persoalan dan mau tak mau masyarakat dihadapkan pada pilihan akan sidang sendiri tanpa kuasa hukum dengan resiko kekalahan yang besar ataukah bersidang dengan menggunakan jasa pengacara/advokat dengan rasio kecilnya kemungkinan kalah ?
Pilihan sulit tersebut, cendrung membawa masyarakat untuk memilih beracara dengan menggunakan jasa bantuan hukum yang diberikan seorang advokat.
Peran Advokat tersebut penting artinya bagi masyarakat dalam mencari keadilan dengan harapan kedudukan mereka akan semakin kuat dengan bantuan dari pihak yang mahir dalam beracara di Pengadilan dan memahami persoalan hukum.
Advokat sebagai profesi terhormat, dalam menjalankan tugasnya diatur dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, salah satu ketentuan Pasalnya antara lain menyebutkan Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.
Namun jika ditelah lebih jauh, ternyata pengawasan terhadap advokat secara hukum pun juga tidak sinergis antara yang diatur dalam UU Advokat dengan UU Mahkamah Agung. Pada UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahmamah Agung Pasal 36 menyebutkan Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.
 Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 12 UU Advokat mengamanatkan pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Meskipun dalam penerapannya dapat dipakai asas lex spesialis derogat lex generalis.
Namun dalam pelaksanaan pengawasannya pun juga muncul persoalan, karena yang berhak untuk melaporkan tentunya adalah pihak yang berpentingan dan merasa dirugikan. Bagaimana masyarakat yang jelas-jelas dirugikan oleh tindakan advokat justru merasa tidak dirugikan, hanya disebabkan karena lemahnya pengetahuan hukum masyarakat untuk menganalisis pertimbangan hakim yang mengalahkan mereka (konteks kekalahan disebabkan keterlambatan menyerahkan memori kasasi oleh advokat).
 Akibatnya mereka tidak akan pernah melaporkan si advokat tersebut.
Di sinilah peran seorang advokat mestinya, tidak hanya memberi bantuan hukum tapi juga membagi pengetahuan hukum, sehingga kliennya adalah klien yang " melek" hukum termasuk melek terhadap kelalaian yang dilakukan kuasa hukumnya.
Bagi masyarakat sendiri sudah saatnya meningkatkan pengetahuan hukum karena dengan menyerahkan penyelesaian perkara kepada kuasa hukum bukan berarti bebas dari masalah. Atau dengan kata lain penegakan hukum dan upaya mencari keadilan sejati perlu kerjasama segenap elemen masyarakat.

Ketika DPR menyusun Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA) muncul pemikiran agar selaku penegak hukum, advokat bersifat mandiri. Dalam konteks pengawasan, pasal 12 UUA menyatakan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Sebelumnya, pengawasan itu dilakukan pengadilan, dalam hal ini hakim.

Tengok misalnya Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman No. KMA/005/SKB/VII/1987 dan No. M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum. Pasal 2 jelas mengatakan bahwa pelaksanaan pengawasan sehari-hari atas penasehat hukum dilakukan Ketua PN setempat dan secara hierarkis dilakukan Ketua MA dan Menteri Kehakiman. Namun, setelah UU Advokat disahkan, SKB ini dianggap tidak berlaku.

Celakanya, saat menyusun revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA), kalangan DPR dan Pemerintah bisa jadi tidak merujuk pada UUA. Buktinya, pasal 36 UUMA tidak ikut direvisi. Sehingga pasal itu masih tetap berlaku seiring pengesahan revisi UUMA menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Pasal 36 menegaskan Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris.  

Menurut Dominggus Maurits Luitnan, telah terdapat dua undang-undang yang tidak sinkron atau tidak konsisten mengatur pengawasan advokat. Jika menggunakan asas lex specialis drogat legi generalis, yang berlaku adalah UUA. Tetapi bagaimana kalau yang digunakan asas lex posteriori drogat legi anteriori, UUMA yang lahir 2004 mengesampingkan UUA yang lahir pada 2003? Masalahnya, hingga sekarang pasal 36 UUMA belum pernah dicabut atau dinyatakan tidak berlaku.

Kedua aturan itu tidak sinkron dan menyebabkan ketidakjelasan siapa yang berwenang mengawasi advokat, ujar Dominggus.  Direktur Eksekutif Lembaga Advokat dan Pengacara Dominika itu menduga hal ini terjadi karena keteledoran pembuat undang-undang.

Itu sebabnya, Dominggus bersama dua advokat lain H.Azi Ali Tjasa dan L.A Lada mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon meminta agar MK menyelesaian pertentangan kedua pasal itu, dan secara khusus meminta pasal 36 UUMA tidak berlaku.

Panel hakim konstitusi yang beranggotakan Achmad Rustandi, Maruarar Siahaan dan I Dewa Gede Palguna masih memberi kesempatan kepada Dominggus Cs untuk memperbaiki materi permohonan.  Palguna mengingatkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi bukan menguji suatu undang-undang terhadap undang-undang lain, melainkan terhadap UUD 1945.

Kini, menjadi tugas ketiga pemohon untuk mengungkapkan sebanyak mungkin dalil yang menguatkan ketidaksinkronan kedua Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Setelah pemohon melakukan revisi terhadap gugatannya dua kali maka para hakim konstitusi menerima gugatan dan dibahas dalam persidangan.
Hasil persidangan hakim konstitusi mengabulkan permohonan dengan alasan terlepas dari kekurangan Para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah  dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon harus dikabulkan
KESIMPULAN
Hasil dari judicial review yang diajukan oleh para pemohon, hakim konstitusi memutuskan bahwa UU No 5 Tahun 2004 Pasal 36 telah melanggar pasal 28 D ayat 1 “setiap orang berhak atas pengakuan ,jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Yang mana dalam pasal 36 UUMA pengawasan terhadap profesi advokat diawasi oleh pemerintah dan Mahkamah agung sedangkan dalam UU Advokat, Advokat diawasi oleh organisasi profesi yang independen tanpa intervensi dari pemerintah sehingga dengan alasan itulah hakim memutuskan tidak adanya kepastian hukum terhadap pengawasan Advokat dan UUMA pasal 36 melanggar UUD 1945 pasal 28 D ayat 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar