ANALISA JUDICIAL REVIEW TERHADAP UU NO 5 TAHUN
2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Untuk mata kuliah Teori Hukum Konstitusi
Dosen Pengampu:
Drs.Machmud Al Rasyid,SH.M.Si

Disusun oleh:
Nama : Anggi Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
P U T U S A N
Perkara Nomor 067/PUU-II/2004
DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang
memeriksa, mengadili,dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun
2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
1.DOMINGGUS
MAURITS LUITNAN, S.H.
2.
L.A . LADA, S.H.
3.
H. AZI ALI TJASA, S.H., M.H.
AMAR PUTUSAN : DIKABULKAN
TANGGAL PUTUSAN : 15 FEBRUARI 2005
v PERMOHONAN :
1.
Bahwa ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud seharusnya dengan
berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif.
Artinya ada dua badan yang melakukan pengawasan terhadap Advokat. Dengan
berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal
36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama sekali tidakdirubah, sehingga masih tetap
berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan
atas Penasihat Hukum dan Notaris”di satu pihak, sedangkan menurut Pasal 12 UU
Nomor 18 Tahun 2003 bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi
Advokat;
2.
Bahwa dengan adanya dua badan pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang
berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme
hukum dan terjadinya pertentangan antara dua undang-undang yang berlaku.
Akibatnya telah terjadi ketidakpastianhukum
dalam pengawasan terhadap Pemohon dan Advokat umumnya.
3.
Seharusnya UU Nomor 5 Tahun 2004 dilahirkan juga berdasarkan semangat dan
dijiwai oleh UUD 1945 yang telah
diamandemen tersebut, tetapi kenyataannya UU Nomor 5 Tahun 2004 yang masih
mempertahankan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak sesuai lagi dengan
situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Di sini tampak jelas bahwa UU
Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 tidak sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan semangat dan jiwa UUD 1945 khususnya Pasal 24
ayat (1) dan (3) UUD 1945.
v ALASAN PEMOHON
Bahwa
pengawasan advokat oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah (eksekutif) karena adanya
UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 (serta Penjelasannya) UU Nomor 14 Tahun
1985 maka keadaannya kembali kepada cara-cara lama seperti adanya, intimidasi,
pengaruh, campur tangan dalam proses perkara, pengawasan, pengangkatan,
penindakan, penghukuman jabatan hingga pemecatan dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Pemerintah (dalam hal ini Menteri Kehakiman), merupakan hal yang amat
merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan advokat pada umumnya, karena
seharusnya hak-hak Pemohon seperti pengangkatan, pengawasan, penindakan bahkan
hingga pemecatan atau pencabutan izin praktik advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan
Advokat sendiri, tetapi kenyataannya berdasar UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal
36 UU Nomor 14 Tahun 1985 pengawasan, pengangkatan, penindakan hingga pemecatan
atau pencabutan izin praktik advokat tetap saja dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Pemerintah;
Kerugian pemohon adalah jika pengawasan dan
penindakan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah (di luar dari organisasi
advokat), nyata-nyata berarti kemandirian advokat telah dicampurtangani oleh
unsur Mahkamah Agung dan Eksekutif yang dapat bertindak sewenang-wenang dan
menuruti selera Pemerintah yang berkuasa dan Mahkamah Agung sendiri, yang
tentunya tidak sesuai dengan kemandirian dan kebebasan pelaksanaan tugas
profesi dan tanggung jawab advokat yang kini juga selaku salah satu unsur
penegak hukum berbeda jika pengawasan dan penindakan advokat yang dilakukan
oleh organisasi advokat sendiri yang berdasarkan undang-undang Advokat dan Kode
Etik Advokat yang bertujuan di samping penindakan tegas juga adalah pembinaan
terhadap para anggota advokat untuk meningkatkan kualitas profesi advokat
(Pasal 28 UU Advokat) dan agar advokat dalammenjalankan profesinya selalu menjunjung
tinggi advokat dan perundang-undangan yang berlaku
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU
Nomor 14 Tahun 1985, di mana dalam Pasal 36 kata-kata Penasihat Hukum masih
tetap dipertahankan. Dengan demikian antara UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal
36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dengan UU Nomor 8 Tahun 2004 junctoPasal 54 UU Nomor
2 Tahun 1986 tidak sinkron, atau saling bertentangan. Demikian pula antara UU
Nomor 18 Tahun 2003 dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun
1985 juga saling bertentangan. Hal ini menurutProf. Dr. Harun Al Rasjid,
merupakan pelanggaran terhadap “tertib tata UU” yang sekaligus merupakan
pertentangan antara tatahukum Indonesia yang saling bertentangan antara aturan
hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, yang harus dijaga oleh Mahkamah
Konstitusi
Berdasar
uraian di atas, ditinjau dari segi kedudukan hukum, hak konstitusional dan
kerugian Pemohon, dapat disimpulkan bahwa keberadaan UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto
Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985, maupun ditinjau dari “tertib tata UU”, Pemohon
telah cukup beralasan untuk mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia sesuai makna Pasal 51
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, dengan permohonan agar
UU Nomor 5 Tahun 2004 junctoPasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
v ALASAN HAKIM
Bahwa
sudah diterima doktrin yang menyatakan, dalam menafsirkan konstitusi tatkala
terjadi pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain maka
asas-asas yang berlaku dalam penafsiran hukum, yaitu (1) lex posteriore derogat
legi priori, (2) lex superiore derogat lex inferiori, (3) lex specialis derogat
lex generalis, juga berlaku. Hal demikian, antara lain, ditegaskan oleh Prof.
Dr. H.C. Heinrich Scholler, “... the legal interpretation mentioned above
(constitutional interpretation principles) is also the basis of the principles
on constitutional interpretation; in reality we can support the idea that basically
legal interpretation and constituional interpretation are grounded on the same
principles”[“... penafsiran hukum sebagaimana disebutkan di atas (asas-asas
penafsiran konstitusi) adalah juga merupakan landasan bagi penerapan asas-asas
dalam penafsiran konstitusi; pada kenyataannya kita dapat menyetujui pemikiran
bahwa pada dasarnya penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi berlandaskan
pada asas-asas yang sama”]Bahwa dalam melakukan penafsiran dimaksud, terlepas
dari metode penafsiran mana pun yang dipilih, Mahkamah berpegang pada sejumlah
dalil (proposisi), yaitu:
1.
bahwa konstitusi atau undang-undang dasar adalah seperangkat aturan;
2.
bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang
dasar
memiliki kedudukan tertinggi3. bahwa aturan-aturan yang dituangkan dalam
undang-undang adalah lebih rendah kedudukannya;
4.
bahwa dalam hal terjadipertentangan atau kontradiksi maka aturan yang lebih
rendah harus memberi jalan kepada yang lebih tinggi;
5.
bahwa dalam hal terjadi sengketa, adalah hakim yang menentukan standar penilaian
konstitusionalitas berdasarkan konstitusi itu sendiri, bukan berdasarkan apa
yang disukai oleh hakimyang diartikan sebagai apa yang dimaksud oleh
konstitusi;
Bahwa
dalil-dalil di atas, yang oleh Mahkamah dijadikan ukuran dalam menilai
kewenangan Mahkamah atas permohonan a quo, karena terdapat dua atau lebih
undang-undang yang saling bertentangan dan menimbulkan keragu-raguan dalam
penerapannya yang bermuara pada tidak adanya kepastian.
Menimbang
bahwa Para Pemohon mendalilkan, Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
(dengan Penjelasannya) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (UUMA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (3) UUD
1945. Pasal 36 a quo berbunyi, “Mahkamah
Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”.
Dalam penjelasan Pasal 36 tersebut selanjutnya dinyatakan, “Pada umumnya
pembinaan dan pengawasan atas PenasihatHukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah.
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat
Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan
pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati danmenjaga kemandirian
Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing.
Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau
seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk
pemberhentian sementara, organisasi
profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”. Para Pemohon
mendalilkan, pengawasan terhadap Penasihat Hukum yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 dan penjelasannya di
atas, telah merugikan hak konstitusional mereka karena menurutPara Pemohon hal
itu bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003), yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat. Oleh karena Undang-undang Advokat dimaksud, dalam pandangan
Para Pemohon, didasari oleh semangat dan dijiwai oleh makna Pasal 24 UUD 1945,
maka Pasal 36 dimaksud juga berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang
bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani
kepentingan publik, adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal
yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan
terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan publik
dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar publik yang dilayani oleh
profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian
suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan
juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dibedakan
dengan campur tangan yang terlalu jauh yang mengakibatkan seseorang yang
menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat
dalam melaksanakan fungsinya secara independen.
Menimbang
bahwa, meskipun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 (tentang Mahkamah Agung) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 36
ternyata tidak termasuk ketentuan yang mengalami perubahan, sehingga masih
tetap sebagaimana rumusan aslinya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta lain
yaitu tidak dimasukkannya substansi Pasal 36 tersebut sebagai agenda yang akan dibicarakan dalam
rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah selama berlangsungnya
proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana diterangkan
oleh kuasa hukum DPR dalam persidangan.
Menimbang bahwa keberadaan Undang-undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dimaksud adalah berkait erat dengan
perubahan pada sejumlah undang-undang lain yang disebabkan oleh adanya
perubahan cara pandang dalam menilai keberadaan rejim hukum yang berkait dengan
pengawasan, maka guna memahami esensi permohonan Para Pemohon dan alur pikir
dalam menilai permohonan a quo, Mahkamah memandang perlu untuk terlebih dahulu
memeriksa ketentuan terkait yang terdapat dalam sejumlah undang-undang tersebut
Menimbang
bahwa berdasarkan analisis dan alurpikir sebagaimana diuraikan di atas,
ternyata di satupihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional
sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya
ketentuan Pasal 36. Namun di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa
pembentuk undang-undang tidak cermat
dalam melaksanakan kewenangannya yang berakibatpada timbulnya inkonsistensi
antara satu undang-undang dan undang-undang
lainnya. Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan dalam
implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya
ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan pelanggaran terhadap
hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk menegakkan
prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana
kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;
Menimbang
bahwa kendatipun Mahkamah menerima prinsip universal lex specialis derogat lex
generalissebagai salah satu asas dalam melakukan penafsiran hukum dan
penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), Mahkamah tidak
sependapat dengan pandangan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam keterangan
tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 17 Januari 2005 yang
menyatakan bahwa permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative
review). Di samping itu pertentangan di antara kedua undang-undang tersebut
tidaklah berkaitan dengan asas lex specialis derogat lex generalis sebagaimana
dikemukakan oleh Pemerintah, karena kedua undang-undang dimaksud ternyata
mengatur dua hal yang berbeda, sehingga yang satu bukan merupakan lex
specialisdari yang lain;
Menimbang
bahwa Mahkamah juga tidak sependapat dengan Para Pemohon yang dalam
permohonannya menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal
24 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang digunakan Para Pemohon untuk
mendalilkan bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan
prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal 36 dimaksud memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untukmelakukan pengawasan
terhadap advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut Pasal 12 ayat (1)
Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) kewenangannya
diberikan kepada Organisasi Advokat, adalah dengan maksud agar dalam
menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (2)
Undang-undang Advokat
Menimbang
bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD
1945,pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa
Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar
organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya
tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk
melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Advokat, seperti halnya pengawasanterhadap organisasi Advokat dan
pengawasan terhadap Advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.
Mengingat
Pasal 56 ayat (2), (3) dan Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
M
E N G A D I L I:
Mengabulkan
permohonan Para Pemohon;
Menyatakan
Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan
Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
ANALISA
.
Persoalan
hukum adalah masalah pelik yang menyita segala hal dari pihak yang terlibat.
Materi adalah tuntutan utama ketika memasuki ranah peradilan. Sehingga tak
jarang kita menemukan adanya upaya damai yang gencar dilakukan guna menghindari
besarnya biaya yang akan dikeluarkan. Selain itu kemampuan dan penguasaan hukum
turut menjadi tuntutan ketika persoalan telah menjadi perkara dipersidangan.
Keberadaan
pengadilan sebagai institusi pemutus dan pemaksa menjadi pilihan bagi
masyarakat bilama mereka tidak mencapai kesepakatan dalam upaya damai, apalagi
jika persoalan mereka terkait dengan sesuatu yang telah mempunyai dasar hukum,
misalnya saja persoalan klaim hak atas tanah. di mana kedua belah pihak saling
mengklaim dengan dasar sertifikat yang jelas.
Dalam
konteks tersebut, gugatan ke pengadilan adalah satu-satunya jalan keluar dalam
menyelesaian persoalan dan mau tak mau masyarakat dihadapkan pada pilihan akan
sidang sendiri tanpa kuasa hukum dengan resiko kekalahan yang besar ataukah
bersidang dengan menggunakan jasa pengacara/advokat dengan rasio kecilnya
kemungkinan kalah ?
Pilihan sulit tersebut, cendrung membawa
masyarakat untuk memilih beracara dengan menggunakan jasa bantuan hukum yang
diberikan seorang advokat.
Peran Advokat tersebut penting artinya
bagi masyarakat dalam mencari keadilan dengan harapan kedudukan mereka akan
semakin kuat dengan bantuan dari pihak yang mahir dalam beracara di Pengadilan
dan memahami persoalan hukum.
Advokat sebagai profesi terhormat, dalam
menjalankan tugasnya diatur dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, salah
satu ketentuan Pasalnya antara lain menyebutkan Advokat dapat dikenai tindakan
dengan alasan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.
Namun jika ditelah lebih jauh, ternyata
pengawasan terhadap advokat secara hukum pun juga tidak sinergis antara yang
diatur dalam UU Advokat dengan UU Mahkamah Agung. Pada UU No.5 Tahun 2004
tentang Mahmamah Agung Pasal 36 menyebutkan Mahkamah Agung dan Pemerintah
melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.
Hal
ini berbeda dengan ketentuan Pasal 12 UU Advokat mengamanatkan pengawasan
terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Meskipun dalam penerapannya
dapat dipakai asas lex spesialis derogat lex generalis.
Namun dalam pelaksanaan pengawasannya pun
juga muncul persoalan, karena yang berhak untuk melaporkan tentunya adalah
pihak yang berpentingan dan merasa dirugikan. Bagaimana masyarakat yang
jelas-jelas dirugikan oleh tindakan advokat justru merasa tidak dirugikan,
hanya disebabkan karena lemahnya pengetahuan hukum masyarakat untuk
menganalisis pertimbangan hakim yang mengalahkan mereka (konteks kekalahan
disebabkan keterlambatan menyerahkan memori kasasi oleh advokat).
Akibatnya mereka tidak akan pernah melaporkan
si advokat tersebut.
Di sinilah peran seorang advokat mestinya, tidak hanya memberi bantuan hukum tapi juga membagi pengetahuan hukum, sehingga kliennya adalah klien yang " melek" hukum termasuk melek terhadap kelalaian yang dilakukan kuasa hukumnya.
Di sinilah peran seorang advokat mestinya, tidak hanya memberi bantuan hukum tapi juga membagi pengetahuan hukum, sehingga kliennya adalah klien yang " melek" hukum termasuk melek terhadap kelalaian yang dilakukan kuasa hukumnya.
Bagi masyarakat sendiri sudah saatnya
meningkatkan pengetahuan hukum karena dengan menyerahkan penyelesaian perkara
kepada kuasa hukum bukan berarti bebas dari masalah. Atau dengan kata lain
penegakan hukum dan upaya mencari keadilan sejati perlu kerjasama segenap
elemen masyarakat.
Ketika DPR menyusun Undang-Undang
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA) muncul pemikiran agar selaku penegak
hukum, advokat bersifat mandiri. Dalam konteks pengawasan, pasal 12 UUA
menyatakan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat.
Sebelumnya, pengawasan itu dilakukan pengadilan, dalam hal ini hakim.
Tengok misalnya Surat Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman No. KMA/005/SKB/VII/1987 dan
No. M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan
Pembelaan Diri Penasehat Hukum. Pasal 2 jelas mengatakan bahwa pelaksanaan
pengawasan sehari-hari atas penasehat hukum dilakukan Ketua PN setempat dan
secara hierarkis dilakukan Ketua MA dan Menteri Kehakiman. Namun, setelah UU
Advokat disahkan, SKB ini dianggap tidak berlaku.
Celakanya, saat menyusun revisi
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA), kalangan DPR dan
Pemerintah bisa jadi tidak merujuk pada UUA. Buktinya, pasal 36 UUMA tidak ikut
direvisi. Sehingga pasal itu masih tetap berlaku seiring pengesahan revisi UUMA
menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Pasal 36 menegaskan Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan
pengawasan atas penasehat hukum dan notaris.
Menurut Dominggus Maurits Luitnan,
telah terdapat dua undang-undang yang tidak sinkron atau tidak konsisten
mengatur pengawasan advokat. Jika menggunakan asas lex specialis drogat legi generalis, yang berlaku adalah UUA.
Tetapi bagaimana kalau yang digunakan asas lex
posteriori drogat legi anteriori, UUMA yang lahir 2004 mengesampingkan UUA
yang lahir pada 2003? Masalahnya, hingga sekarang pasal 36 UUMA belum pernah
dicabut atau dinyatakan tidak berlaku.
Kedua aturan itu tidak sinkron dan
menyebabkan ketidakjelasan siapa yang berwenang mengawasi advokat, ujar
Dominggus. Direktur Eksekutif Lembaga
Advokat dan Pengacara Dominika itu
menduga hal ini terjadi karena keteledoran pembuat undang-undang.
Itu sebabnya, Dominggus bersama dua
advokat lain H.Azi Ali Tjasa dan L.A Lada mengajukan permohonan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon meminta agar MK menyelesaian pertentangan
kedua pasal itu, dan secara khusus meminta pasal 36 UUMA tidak berlaku.
Panel hakim konstitusi yang
beranggotakan Achmad Rustandi, Maruarar Siahaan dan I Dewa Gede Palguna masih
memberi kesempatan kepada Dominggus Cs untuk memperbaiki materi
permohonan. Palguna mengingatkan bahwa
kewenangan Mahkamah Konstitusi bukan menguji suatu undang-undang terhadap
undang-undang lain, melainkan terhadap UUD 1945.
Kini,
menjadi tugas ketiga pemohon untuk mengungkapkan sebanyak mungkin dalil yang
menguatkan ketidaksinkronan kedua Undang-Undang tersebut bertentangan dengan
Konstitusi. Setelah pemohon melakukan revisi terhadap gugatannya dua kali maka
para hakim konstitusi menerima gugatan dan dibahas dalam persidangan.
Hasil
persidangan hakim konstitusi mengabulkan permohonan dengan alasan terlepas dari
kekurangan Para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung
dalil-dalilnya, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses
perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004, yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud,
telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga setelah
berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan
keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon
harus dikabulkan
KESIMPULAN
Hasil
dari judicial review yang diajukan
oleh para pemohon, hakim konstitusi memutuskan bahwa UU No 5 Tahun 2004 Pasal
36 telah melanggar pasal 28 D ayat 1 “setiap
orang berhak atas pengakuan ,jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Yang mana dalam pasal 36
UUMA pengawasan terhadap profesi advokat diawasi oleh pemerintah dan Mahkamah
agung sedangkan dalam UU Advokat, Advokat diawasi oleh organisasi profesi yang
independen tanpa intervensi dari pemerintah sehingga dengan alasan itulah hakim
memutuskan tidak adanya kepastian hukum terhadap pengawasan Advokat dan UUMA
pasal 36 melanggar UUD 1945 pasal 28 D ayat 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar