Selasa, 05 Mei 2015

Penerapan asas legalitas dalam penanganan kasus di Sragen



PENERAPAN ASAS LEGALITAS DALAM PENANGANAN KASUS ASUSILA di SRAGEN
Dosen Pengampu:
Dr.Triana Rejekiningsih,SH.KN.M,Pd
Disusun oleh:

Nama   : Anggi Yoga Pramanda
                                    Nim     : K6414007






PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Setiap hari dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum yang diberitakan melalui media massa. Sepertinya persoalan hukum di Indonesia telah merasuk hingga ke sendi-sendi dan mungkin telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar di negeri ini. Ada beberapa contoh kasus hukum di Indonesia yang melibatkan para pejabat negara dan ada pula contoh kasus hukum di Indonesia yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Tak sedikit pula yang hukum yang melibatkan rakyat-rakyat “kecil”. Memang hukum tidak berpandang bulu. Siapa saja, dihadapan hukum berkedudukan sama. Itulah dasar penegakan hukum yang adil di Indonesia.
Terdapat sejumlah contoh kasus hukum di Indonesia termasuk cara penyelesaiannya yang mungkin belum pernah kita jumpai terjadi di negara lain. Selain itu terdapat pula contoh kasus hukum di Indonesia yang hingga saat ini belum dituntaskan, seperti kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan kemanusiaan.
Masalah kejahatan terhadap kemanusiaan di era globalisasi ini merupakan masalah yang menuntut perhatian dan langkah serius dari seluruh warga negara. Dalam upaya penanggulangan kejahatan tersebut tentunya bukan merupakan pekerjaan mudah, sehingga memerlukan visi dan misi serta kebijakan dan langkah koordinatif dalam pelaksanaannya, bukan hanya pada tingkat nasional atau regional melainkan juga tingkat internasional.
Selain itu di Indonesia juga telah pernah terjadi citizen lawsuit, dimana warga negara melakukan gugatan melawan pemerintah. Ini sesungguhnya adalah contoh kasus yang sangat baik dan dapat dijadikan contoh bagi warga negara lainnya saat ingin memperjuangkan hak yang seharusnya diberikan oleh negara terhadap warganya. Kasus hukum ini pernah dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menghukum para tergugat, yakni Presiden dan Wakil Presiden, Ketua DPR RI dan beberapa menteri untuk membuat Undang-undang yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Maka disini sangat diperlukan penyelesaian kasus-kasus dengan menggunakan asas-asas hukum pidana agar kedudukan hukum tersebut dapat berdiri tegak dan tidak berat sebelah,yang artinya hukum itu adil untuk orang yang melanggarnya.

2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana cara menyelesaikan masalah asusila yang telah disajikan dengan benar?
b.      Bagaimana penggunaan asas legalitas terhadap kasus asusila yang telah disajikan?

3.      Tujuan
a.       Dapat menyelesaikan masalah asusila yang ditampilkan dengan benar berdasarkan hukum yang berlaku
b.      Dapat mengkaji penggunaan asas legalitas dalam menyelesaikan kasus asusila yang disajikan.






BAB II
PEMBAHASAN
1.      Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya ynag asli dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi :”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidanakan selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahului”.
Perlu pula diperhatikan bahwa istilah feit itu disalin orang juga dengan kata “peristiwa” , karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Penerapan hukum pidana atau sesuatu perundang- undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan yang dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika sesuatu perbuatan (feit) yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan dalam bahasa latin: “Nulum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang dapat di salin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan :” Tidak ada dlik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah latin: “crimen sine lege stricta” yang dapat disalin kata demi kata pula dengan “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Dari ketentuan asas legalitas ini muncul tiga aturan menurut von Feuerbach, yaitu ;
a.      Setiap pengenaan pidana didasarkan hanya pada undang-undang  (nulla poena sine lege).
b.      Pengenaan pidana hanya mungkin jika perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana (nulla poena sine crimine).
c.       Perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang mempunyai akibat hukum bahwa oleh undang-undang ada pidana untuk itu (nullum crimen sine poena legali).
Moeljatno juga menulis bahwa asas legalitas juga mempunyai tiga pengertian:
a.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu peraturan undang –undang.
b.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiasan).
c.       Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

2.      Contoh kasus
Koran O Kamis 11 April 2013
Tersangka Asusila di Vonis Bebas Mahkamah Agung
SRAGEN-Seorang remaja putri warga Desa Mojopuro,Sumberlawang ,berinisial NAW,16 , melaporkan pacarnya yang berinisial IS ,21, ke Polres Sragen karena tak mau bertanggung jawab atas kehamilannya.
Ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen,Sugiarsi, mendampingi NAW melapor ke Mapolres Sragen bersama ibu NAW dan pendamping APPS Sumberlawang.
Anak yatim itu mengaku hamil empat bulan. Dia mengatakan ayah dari janin yang dikandungannya adalah tetangga yang jadi pacarnya IS. Laki-laki ini bekerja sebagai anggota satpam salah satu toko swalayan di Solo.
NAW mengenal IS 2,5 tahun lalu tepatnya akhir 2010. Mereka menjalin cinta sebagai sepasang kekasih. NAW mengaku pernah melakukan hubungan layaknya suami-istri di rumah IS. Kali terakhir melakukan di siang hari.
NAW menuntut pertanggungjawaban karena merasa ditipu oleh rayuan pasangannya. Kemudian wanita tersebut melaporkan kejadian itu ke polisi. Polisi menyelidiki kasus tersebut sampai akhirnya diterima dan diajukan di muka pengadilan. Kemudian terdakwa di dalam tahanan sementara sejak tanggal 13 Maret 2013.
Di Pengadilan Negeri, Jaksa Penuntut Umum menuntut IS dengan pasal 378 tentang penipuan. Hakim  Pengadilan Negeri memutuskan bahwa pria tersebut bersalah melakukan kejahatan penipuan sebagaimana diancam pasal 378 KUHP. Menghukum dengan hukuman penjara selama 6 bulan.
Terdakwa mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi untuk membatalkan putusan Pengadilan dan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya. Mahkamah Agung akhirnya membebaskan terdakwa dari dakwaan primer tersebut dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

3.      Penyelesaian Masalah
Asas Legalitas yang terkandung dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki 3 unsur di dalamnya. Pertama tiada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu oleh undang-undang. Kedua, asas rektroaktif dan terakhir untuk menentukannya ada perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi. Tetapi, pada praktiknya seringkali terjadinya penyimpangan terhadap asas legalitas tersebut.
Hal ini dapat terlihat dari kasus yang dialami oleh IS dengan NAW di Sragen yang  menimbulkan lahirnya dua putusan berbeda dari Pengadilan Negeri Sragen dan Mahkamah Agung. Hal ini bermula dari perkara yang dialami oleh Terdakwa IS yang menjanjikan diri untuk menikahi NAW setelah melakukan hubungan intim. Rangkaian janji sering diucapkan tetapi pernikahan tak terealisasikan, sehingga menggerakan NAW melayangkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri di Sragen. Pengadilan Negeri Sragen memeriksa hal tersebut dan memutuskan dakwaan primer kepada Terdakwa IS pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Jika dijabarkan unsur dari bunyi pasal diatas, yakni sebagai berikut. “Barangsiapa” adalah subyek yang melakukan yaitu Terdakwa IS. “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah tujuan dari si subyek melakukan tindakan, dalam hal ini Terdakwa IS melakukan penipuan hanya untuk dapat memenuhi nafsu seksnya tanpa harus menikahi sang wanita. “Dengan memakai nama palsu/martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain” adalah cara bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut, Terdakwa IS sendiri telah menjanjikan berkali-kali kepada NAW untuk menikahkannya segera. “Untuk menyerahkan suatu benda kepadanya” adalah obyek yang diinginkan subyek, dalam hal ini Pengadilan Negeri Sragen menafsirkan “kehormatan” sebagai suatu benda. Sehingga, Pengadilan Negeri Sragen menjatuhkan hukuman kepada terdakwa IS 6 bulan penjara.
Dari putusan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan tentang keberatannya atas hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa IS karena penafsiran “barang” yang terdapat dalam unsur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidaklah tepat. Barang yang dimaksudkan dalam pasal tersebut memiliki pengertian yaitu objek yang dapat dikuasai dengan nilai ekonomis. Sedangkan dalam kasus ini, anggota tubuh manusia dipersamakan dengan makna barang tersebut dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai peri kemanusiaaan.
Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Sragen adalah penafsiran analogi yang memiliki pengertian “penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya sehingga suatu peristiwa sebenarnya tidak termasuk kedalamnya.” Yang seharusnya digunakan dalam penafsiran kasus ini adalah penafsiran ekstensif yang masih tetap berpegang pada arti dalam perundang-undangan dan tidak menghilangkan makna dalam perundang-undangan tersebut.
Penggunaan asas analogi seharusnya tidak digunakan karena hal tersebut menyimpang dari asas legalitas yang terkandung dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seharusnya, kasus tersebut tidak diajukkan ke Pengadilan Negeri tetapi diajukkan kepada lingkungan masyarakat setempat yang memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sesuai dan pemberian sanksi yang tepat terhadap kasus yang telah dialami oleh Terdakwa IS dengan NAW. Meskipun, sebenarnya tujuan utama hakim Pengadilan Negeri Sragen tersebut adalah untuk mengisi kekosongan hukum dan  menjamin hak-hak orang lain yang sebenarnya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian fakta dalam dakwaan subsider, Jaksa Penuntut Umum ingin menjerat terdakwa dengan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, dimana yang menjadi objek tindak pidana adalah “barang” dalam bentuk alat kelamin wanita. Hal ini dilakukan Jaksa Penuntut Umum karena belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pertanggungjawaban oleh seorang pria yang menghamili seorang wanita di luar perkawinan, serta adanya fakta hukum bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan adanya suatu upaya tipu muslihat maupun perkataan bohong, seperti: akan menikahi wanita tersebut.
Jika melihat unsur-unsur dari asas legalitas antara lain adanya peraturan tertulis,tidak boleh berlaku surut dan tidak boleh menggunakan analogi, kasus diatas sangat berkaitan dengan asas ini, sehingga dalam memutuskan kasus ini, Mahkamah Agung melihatnya dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan tertentu agar tidak menyalahi aturan yang ada dalam asas legalitas.
Jika melihat dari unsur yang pertama yaitu adanya peraturan yang mengaturnya, hal ini tidak dapat melihat dalam kasus karena pokok permasalahannya adalah  putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri menggunakan pertimbangan lain dengan menafsirkan pengertian barang secara meluas yaitu di dalamnya termasuk kemaluan manusia. Sehingga kemudian muncul banding hingga kasasi yang dilakukan pemohon agar mendapatkan kepastian hukum dari Mahkamah Agung. Dan pada intinya terkait dengan hal ini masih belum ada sebelumnya aturan tertulis yang menyatakan dengan tegas kemaluan wanita memilki arti yang sama dengan pengertian barang yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
Unsur yang kedua adalah larangan penggunaan analogi. Pada unsur inilah yang menjadikan suatu pertimbangan berat apakah putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara menggunakan analogi atau tidak, sehingga Mahkamah Agung perlu mengkaji secara mendalam terkait dengan pengertian barang yang didakwakan kepada terdakwa atas tuduhan penipuan yang terdapat dalam pasal 378 KUHP
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung tidak sepakat dengan keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa kemaluan manusia masuk dalam pengertian barang yang sesuai dengan pasal 378 KUHP. Mahkamah Agung mempunyai pandangan sendiri ketika bicara tentang salah satu organ manusia, termasuk alat vitalnya, maka organ tersebut tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan eksistensi manusia sebagai totalitas yang terdiri dari jasmani,rohani, dan pikiran, serta manusia sebagai totalitas  makhluk Tuhan yang harus dibedakan dari makhluk lainnya. Dengan demikian Mahkamah Agung melihat dari sudut pandang yang lebih jauh bahwa bagian- bagian dari organ manusia bukanlah suatu barang seperti yang dimaksudkan dalam pengertian barang.
Sehinnga dapat kita lihat disini bahwa Mahkamah Agung melihat putusan Pengadilan Negeri yang menganalogikan kemaluan manusia sebagi suatu barang dalam pasal 378 KUHP tidak dapat dibenarkan. Analogi berbeda dengan penafsiaran ektensif jika penafsiran ektensif hakim meluaskan lingkungan kaedah yang lebih tinggi sehingga perkara yang bersangkutan termasuk juga didalamnya, sadangkan analogi hakim membawa perkara yang baru diselesaikan kedalam lingkungan kaedah yang lebih tinggi.
Sehingga Mahkamah Agung menyatakan pembebasan pembebasan terdakwa dari dakwaan karena hal berikut:
a.       belum ada sebelumnya aturan tertulis yang menyatakan dengan tegas kemaluan wanita memilki arti yang sama dengan pengertian barang yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
b.      Belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pertanggung jawaban oleh seorang pria yang menghamili seorang wanita di luar perkawinan,
c.       Penggunaan analogi, bahwa kemaluan manusia juga di artiakn kedalam pengertian barang menurut pasal 378 KUHP. Namun dalam hal ini penggunaan analogi tidak boleh dilakukan.

















BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Berdasarkan kasus di atas dapat kita rasakan bahwa asas legalitas dalam pidana bagaikan pedang bermata dua. Satu sisi ia memberikan kepastian hukum pada seluruh masyarakat, di lain pihak masyarakat juga menjadi tidak pasti di saat terjadi kekosongan hukum.Kembali kepada teori pembentukan hukum maka asas legalitas ini merupakan turunan dari pandangan aliran hukum positivisme yang mengedepankan pada prinsip hukum itu “ada” apabila di wujudkan dalam undang-undang, Hukum itu di buat oleh penguasa, selain itu hukum bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme  adanya pemisahan antara hukum dengan moral.Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
Dalam kasus ini telah terjadi pelanggaran moral kesusilaan yang di lakukan oleh kedua belah pihak baik si pria atau wanita. Akan tetapi si wanitalah yang paling di rugikan karena ke “hormatannya” telah di renggut oleh si pria melalui sebuah tipu daya. Untuk mendapatkan rasa keadilan maka tentu harus di lakukan sebuah upaya yang berujung ke pengadilan. Kembali lagi ke asas legalitas atau positvime maka apakah terjadi pelanggaran atas undang-undang.           Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hal di tersebut bukan merupakan hal yang melanggar atau bahkan diatur. Oleh karena itu  bila di lihat dari sudut asas legalitas maka putusan mahkamah agung sangatlah tepat. Penafsiran extensif yang cendrung menganalogikan telah melanggar teori asas legalitas hukum pidana.






DAFTAR PUSTAKA

P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir1990, Hukum Pidana Indonesia,  Sinar Baru, Bandung,
Hamzah,Andi,2010,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta
Koran O 11 April 2013

1 komentar:

  1. Mohon izin untuk bertanya, jika dilihat dalam kasus di atas terdapatnya ke kosongan hukum sehingga pihak perempuan yg merasa di rugikan tidak mendapatkan hak ke adilan yg semestinya di dapatkan yang ingin saya tanyakan bagai mana cara agar pihak wanita mendapatkan keadilan yg semestinya? dan bagai mana cara mematahkan asas legalitas tersebut? Trimakasih

    BalasHapus