PENERAPAN
ASAS LEGALITAS DALAM PENANGANAN KASUS ASUSILA di SRAGEN
Dosen Pengampu:
Dr.Triana Rejekiningsih,SH.KN.M,Pd
Disusun oleh:
Nama : Anggi Yoga Pramanda
Nim : K6414007
PRODI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Hukum
di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Setiap
hari dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum yang diberitakan melalui media
massa. Sepertinya persoalan hukum di Indonesia telah merasuk hingga ke
sendi-sendi dan mungkin telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar di negeri
ini. Ada beberapa contoh kasus hukum di Indonesia yang melibatkan para
pejabat negara dan ada pula contoh kasus hukum di Indonesia yang
melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Tak sedikit pula yang hukum yang
melibatkan rakyat-rakyat “kecil”. Memang hukum tidak berpandang bulu. Siapa
saja, dihadapan hukum berkedudukan sama. Itulah dasar penegakan hukum yang adil
di Indonesia.
Terdapat
sejumlah contoh kasus hukum di Indonesia termasuk cara penyelesaiannya
yang mungkin belum pernah kita jumpai terjadi di negara lain. Selain itu
terdapat pula contoh kasus hukum di Indonesia yang hingga saat ini
belum dituntaskan, seperti kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan
kejahatan kemanusiaan.
Masalah
kejahatan terhadap kemanusiaan di era globalisasi ini merupakan masalah yang
menuntut perhatian dan langkah serius dari seluruh warga negara. Dalam upaya
penanggulangan kejahatan tersebut tentunya bukan merupakan pekerjaan mudah,
sehingga memerlukan visi dan misi serta kebijakan dan langkah koordinatif dalam
pelaksanaannya, bukan hanya pada tingkat nasional atau regional melainkan juga
tingkat internasional.
Selain
itu di Indonesia juga telah pernah terjadi citizen lawsuit, dimana warga negara
melakukan gugatan melawan pemerintah. Ini sesungguhnya adalah contoh kasus yang
sangat baik dan dapat dijadikan contoh bagi warga negara lainnya saat ingin
memperjuangkan hak yang seharusnya diberikan oleh negara terhadap warganya.
Kasus hukum ini pernah dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
menghukum para tergugat, yakni Presiden dan Wakil Presiden, Ketua DPR RI dan
beberapa menteri untuk membuat Undang-undang yang mengatur mengenai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Maka
disini sangat diperlukan penyelesaian kasus-kasus dengan menggunakan asas-asas
hukum pidana agar kedudukan hukum tersebut dapat berdiri tegak dan tidak berat
sebelah,yang artinya hukum itu adil untuk orang yang melanggarnya.
2.
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
cara menyelesaikan masalah asusila yang telah disajikan dengan benar?
b. Bagaimana
penggunaan asas legalitas terhadap kasus asusila yang telah disajikan?
3.
Tujuan
a. Dapat
menyelesaikan masalah asusila yang ditampilkan dengan benar berdasarkan hukum
yang berlaku
b. Dapat
mengkaji penggunaan asas legalitas dalam menyelesaikan kasus asusila yang
disajikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Asas
Legalitas
Asas
legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya ynag asli
dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka
akan berbunyi :”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidanakan selain
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahului”.
Perlu
pula diperhatikan bahwa istilah feit itu
disalin orang juga dengan kata “peristiwa” , karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang
melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu
yang diharuskan.
Penerapan
hukum pidana atau sesuatu perundang- undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan yang dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana
dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika sesuatu perbuatan (feit) yang mencocoki rumusan delik yang
dilakukan sebelum berlakunya ketentuan untuk orang yang bersangkutan sama
sekali tidak dapat dipidana.
Asas
legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan dalam bahasa
latin: “Nulum delictum nulla poena sine
praevia legi poenali” yang dapat di salin ke dalam bahasa Indonesia kata
demi kata dengan :” Tidak ada dlik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah latin: “crimen sine lege stricta” yang dapat disalin kata demi kata pula
dengan “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Dari
ketentuan asas legalitas ini muncul tiga aturan menurut von Feuerbach, yaitu ;
a.
Setiap pengenaan pidana didasarkan
hanya pada undang-undang (nulla poena sine lege).
b.
Pengenaan pidana hanya mungkin jika
perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana (nulla poena sine crimine).
c.
Perbuatan yang diancam dengan
pidana berdasarkan undang-undang mempunyai akibat hukum bahwa oleh
undang-undang ada pidana untuk itu (nullum
crimen sine poena legali).
Moeljatno
juga menulis bahwa asas legalitas juga mempunyai tiga pengertian:
a. Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu peraturan undang –undang.
b. Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiasan).
c. Aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.
2.
Contoh
kasus
Koran
O Kamis 11 April 2013
Tersangka
Asusila di Vonis Bebas Mahkamah Agung
SRAGEN-Seorang
remaja putri warga Desa Mojopuro,Sumberlawang ,berinisial NAW,16 , melaporkan
pacarnya yang berinisial IS ,21, ke Polres Sragen karena tak mau bertanggung
jawab atas kehamilannya.
Ketua
Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen,Sugiarsi, mendampingi NAW melapor
ke Mapolres Sragen bersama ibu NAW dan pendamping APPS Sumberlawang.
Anak
yatim itu mengaku hamil empat bulan. Dia mengatakan ayah dari janin yang
dikandungannya adalah tetangga yang jadi pacarnya IS. Laki-laki ini bekerja
sebagai anggota satpam salah satu toko swalayan di Solo.
NAW
mengenal IS 2,5 tahun lalu tepatnya akhir 2010. Mereka menjalin cinta sebagai
sepasang kekasih. NAW mengaku pernah melakukan hubungan layaknya suami-istri di
rumah IS. Kali terakhir melakukan di siang hari.
NAW menuntut pertanggungjawaban
karena merasa ditipu oleh rayuan pasangannya. Kemudian wanita tersebut
melaporkan kejadian itu ke polisi. Polisi menyelidiki kasus tersebut sampai
akhirnya diterima dan diajukan di muka pengadilan. Kemudian terdakwa di dalam
tahanan sementara sejak tanggal 13 Maret 2013.
Di Pengadilan Negeri, Jaksa Penuntut
Umum menuntut IS dengan pasal 378 tentang penipuan. Hakim Pengadilan Negeri memutuskan bahwa pria
tersebut bersalah melakukan kejahatan penipuan sebagaimana diancam pasal 378
KUHP. Menghukum dengan hukuman penjara selama 6 bulan.
Terdakwa mengajukan banding ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi
dari pemohon kasasi untuk membatalkan putusan Pengadilan dan menyatakan bahwa
kesalahan terdakwa tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya. Mahkamah Agung
akhirnya membebaskan terdakwa dari dakwaan primer tersebut dan memulihkan hak
terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
3.
Penyelesaian
Masalah
Asas Legalitas yang terkandung dalam
pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki 3 unsur di dalamnya. Pertama
tiada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu oleh undang-undang. Kedua, asas rektroaktif dan terakhir untuk
menentukannya ada perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi. Tetapi,
pada praktiknya seringkali terjadinya penyimpangan terhadap asas legalitas
tersebut.
Hal ini dapat terlihat dari kasus
yang dialami oleh IS dengan NAW di Sragen yang
menimbulkan lahirnya dua putusan berbeda dari Pengadilan Negeri Sragen
dan Mahkamah Agung. Hal ini bermula dari perkara yang dialami oleh Terdakwa IS
yang menjanjikan diri untuk menikahi NAW setelah melakukan hubungan intim.
Rangkaian janji sering diucapkan tetapi pernikahan tak terealisasikan, sehingga
menggerakan NAW melayangkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri di Sragen.
Pengadilan Negeri Sragen memeriksa hal tersebut dan memutuskan dakwaan primer
kepada Terdakwa IS pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Jika dijabarkan unsur dari bunyi
pasal diatas, yakni sebagai berikut. “Barangsiapa” adalah subyek yang melakukan
yaitu Terdakwa IS. “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain” adalah tujuan dari si subyek melakukan tindakan, dalam hal ini Terdakwa
IS melakukan penipuan hanya untuk dapat memenuhi nafsu seksnya tanpa harus
menikahi sang wanita. “Dengan memakai nama palsu/martabat palsu dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain” adalah
cara bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut, Terdakwa IS sendiri telah
menjanjikan berkali-kali kepada NAW untuk menikahkannya segera. “Untuk
menyerahkan suatu benda kepadanya” adalah obyek yang diinginkan subyek, dalam
hal ini Pengadilan Negeri Sragen menafsirkan “kehormatan” sebagai suatu benda.
Sehingga, Pengadilan Negeri Sragen menjatuhkan hukuman kepada terdakwa IS 6
bulan penjara.
Dari putusan tersebut, Mahkamah
Agung mengeluarkan putusan tentang keberatannya atas hukuman yang dijatuhkan
kepada terdakwa IS karena penafsiran “barang” yang terdapat dalam unsur pasal
378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidaklah tepat. Barang yang dimaksudkan
dalam pasal tersebut memiliki pengertian yaitu objek yang dapat dikuasai dengan
nilai ekonomis. Sedangkan dalam kasus ini, anggota tubuh manusia dipersamakan
dengan makna barang tersebut dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai peri kemanusiaaan.
Dari hal tersebut dapat terlihat
bahwa penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Sragen adalah penafsiran
analogi yang memiliki pengertian “penafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas
hukumnya sehingga suatu peristiwa sebenarnya tidak termasuk kedalamnya.” Yang
seharusnya digunakan dalam penafsiran kasus ini adalah penafsiran ekstensif
yang masih tetap berpegang pada arti dalam perundang-undangan dan tidak menghilangkan
makna dalam perundang-undangan tersebut.
Penggunaan asas analogi seharusnya
tidak digunakan karena hal tersebut menyimpang dari asas legalitas yang
terkandung dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seharusnya, kasus
tersebut tidak diajukkan ke Pengadilan Negeri tetapi diajukkan kepada
lingkungan masyarakat setempat yang memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sesuai
dan pemberian sanksi yang tepat terhadap kasus yang telah dialami oleh Terdakwa
IS dengan NAW. Meskipun, sebenarnya tujuan utama hakim Pengadilan Negeri Sragen
tersebut adalah untuk mengisi kekosongan hukum dan menjamin hak-hak orang lain yang sebenarnya
belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian fakta dalam
dakwaan subsider, Jaksa Penuntut Umum ingin menjerat terdakwa dengan tindak
pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, dimana yang menjadi
objek tindak pidana adalah “barang” dalam bentuk alat kelamin wanita. Hal ini
dilakukan Jaksa Penuntut Umum karena belum ada ketentuan perundang-undangan
yang mengatur pertanggungjawaban oleh seorang pria yang menghamili seorang
wanita di luar perkawinan, serta adanya fakta hukum bahwa perbuatan tersebut
dilakukan dengan adanya suatu upaya tipu muslihat maupun perkataan bohong,
seperti: akan menikahi wanita tersebut.
Jika melihat unsur-unsur dari asas
legalitas antara lain adanya peraturan tertulis,tidak boleh berlaku surut dan
tidak boleh menggunakan analogi, kasus diatas sangat berkaitan dengan asas ini,
sehingga dalam memutuskan kasus ini, Mahkamah Agung melihatnya dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan tertentu agar tidak menyalahi aturan yang ada dalam
asas legalitas.
Jika melihat dari unsur yang pertama
yaitu adanya peraturan yang mengaturnya, hal ini tidak dapat melihat dalam
kasus karena pokok permasalahannya adalah
putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri menggunakan pertimbangan
lain dengan menafsirkan pengertian barang secara meluas yaitu di dalamnya
termasuk kemaluan manusia. Sehingga kemudian muncul banding hingga kasasi yang dilakukan
pemohon agar mendapatkan kepastian hukum dari Mahkamah Agung. Dan pada intinya
terkait dengan hal ini masih belum ada sebelumnya aturan tertulis yang
menyatakan dengan tegas kemaluan wanita memilki arti yang sama dengan
pengertian barang yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
Unsur yang kedua adalah larangan
penggunaan analogi. Pada unsur inilah yang menjadikan suatu pertimbangan berat
apakah putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara
menggunakan analogi atau tidak, sehingga Mahkamah Agung perlu mengkaji secara
mendalam terkait dengan pengertian barang yang didakwakan kepada terdakwa atas
tuduhan penipuan yang terdapat dalam pasal 378 KUHP
Berdasarkan pertimbangan yang
diberikan oleh Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung tidak sepakat
dengan keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa kemaluan manusia masuk
dalam pengertian barang yang sesuai dengan pasal 378 KUHP. Mahkamah Agung
mempunyai pandangan sendiri ketika bicara tentang salah satu organ manusia, termasuk
alat vitalnya, maka organ tersebut tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
eksistensi manusia sebagai totalitas yang terdiri dari jasmani,rohani, dan
pikiran, serta manusia sebagai totalitas
makhluk Tuhan yang harus dibedakan dari makhluk lainnya. Dengan demikian
Mahkamah Agung melihat dari sudut pandang yang lebih jauh bahwa bagian- bagian
dari organ manusia bukanlah suatu barang seperti yang dimaksudkan dalam
pengertian barang.
Sehinnga dapat kita lihat disini
bahwa Mahkamah Agung melihat putusan Pengadilan Negeri yang menganalogikan
kemaluan manusia sebagi suatu barang dalam pasal 378 KUHP tidak dapat
dibenarkan. Analogi berbeda dengan penafsiaran ektensif jika penafsiran
ektensif hakim meluaskan lingkungan kaedah yang lebih tinggi sehingga perkara
yang bersangkutan termasuk juga didalamnya, sadangkan analogi hakim membawa
perkara yang baru diselesaikan kedalam lingkungan kaedah yang lebih tinggi.
Sehingga Mahkamah Agung menyatakan pembebasan
pembebasan terdakwa dari dakwaan karena hal berikut:
a.
belum ada sebelumnya aturan tertulis yang menyatakan
dengan tegas kemaluan wanita memilki arti yang sama dengan pengertian barang
yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
b.
Belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur
pertanggung jawaban oleh seorang pria yang menghamili seorang wanita di luar
perkawinan,
c.
Penggunaan analogi, bahwa kemaluan manusia juga di
artiakn kedalam pengertian barang menurut pasal 378 KUHP. Namun dalam hal ini
penggunaan analogi tidak boleh dilakukan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan kasus di atas dapat kita
rasakan bahwa asas legalitas dalam pidana bagaikan pedang bermata dua. Satu
sisi ia memberikan kepastian hukum pada seluruh masyarakat, di lain pihak
masyarakat juga menjadi tidak pasti di saat terjadi kekosongan hukum.Kembali
kepada teori pembentukan hukum maka asas legalitas ini merupakan turunan dari
pandangan aliran hukum positivisme yang mengedepankan pada prinsip hukum itu
“ada” apabila di wujudkan dalam undang-undang, Hukum itu di buat oleh penguasa,
selain itu hukum bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme adanya pemisahan antara hukum dengan
moral.Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme,
berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
Dalam kasus ini telah terjadi
pelanggaran moral kesusilaan yang di lakukan oleh kedua belah pihak baik si
pria atau wanita. Akan tetapi si wanitalah yang paling di rugikan karena ke
“hormatannya” telah di renggut oleh si pria melalui sebuah tipu daya. Untuk mendapatkan
rasa keadilan maka tentu harus di lakukan sebuah upaya yang berujung ke
pengadilan. Kembali lagi ke asas legalitas atau positvime maka apakah terjadi
pelanggaran atas undang-undang. Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hal di tersebut bukan merupakan hal yang
melanggar atau bahkan diatur. Oleh karena itu
bila di lihat dari sudut asas legalitas maka putusan mahkamah agung
sangatlah tepat. Penafsiran extensif yang cendrung menganalogikan telah melanggar
teori asas legalitas hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir1990, Hukum
Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
Hamzah,Andi,2010,Asas-Asas
Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta
Koran O 11 April 2013
Mohon izin untuk bertanya, jika dilihat dalam kasus di atas terdapatnya ke kosongan hukum sehingga pihak perempuan yg merasa di rugikan tidak mendapatkan hak ke adilan yg semestinya di dapatkan yang ingin saya tanyakan bagai mana cara agar pihak wanita mendapatkan keadilan yg semestinya? dan bagai mana cara mematahkan asas legalitas tersebut? Trimakasih
BalasHapus